Semenjak menjadi santri Abdurrahman Wahid begitu gemar dan tertarik terhadap buku-buku bacaan. Didukung dengan penguasaan bahasa inggris ketika berumur 15 tahun ia sudah menguasai Das Kapital Karl Markx, Filsafat Plato, Thalles, novel-novel William Bochner dan lainnya. Setelah tamat dari SMEP, ia melanjutkan untuk menimba ilmu agama di Pesantren Tegalrejo, Magelang selama tiga tahun. Selepas itu ia kembali lagi ke Jombang untuk mondok di Pesantren Denanyar. Di pesantren yang diasuh oleh kakeknya Kiyai Bishri Syansuri ini di samping belajar ia juga diberi kesempatan untuk mengajar di Pesantren Tambakberas, sekaligus diserahi tugas sebagai sekretaris pesantren. Pada tahun 1960an ia berumur 23 tahun dan memperoleh kesempatan untuk menimba ilmu di Mesir melalui beasiswa Departemen Agama, ketika itu ia mampu menyelesaikan gramatikal sastra Bahasa Arab seribu bait yang di hafal di luar kepala. Setelah di Mesir ia terus mendalami ilmu-ilmu Islam, di sana juga ia mengambil spesialisasi bidang syariah, namun setelah 7 tahun ia merasa hal itu sangat singkat karena sama seperti berada di Pesantren. Kemudian ia memilih untuk aktif di Perhimpunan Mahasiswa Indonesia dari pada menekuni belajar, akhirnya ia berpindah ke Irak untuk mengikuti kuliah di Universitas Baghdad pada fakultas sastra. Di tempat inilaj bakat empirisnya tumbuh dengan pesat. Ia banyak membaca karya-karya pemikiran seperti Emile Durkheim dan kemudian di kota itu ia diminta untuk meneliti asal usul historis Islam di Indonesia.
Abdurrahman Wahid banyak sekali tertarik pada pemikiran-pemikiran kritis baik dari kalangan Muslim maupun non Muslim. Dia tepesona pada pemikiran Paul Tillich, seorang teolog Kristen yang masyhur, renungan filsafat Muhammad Abduh, juga tertarik pada pemikiran Hasan Hanafi. Namun jika dibandingkan dengan para pemikir itu yang paling di kagumi oleh Abdurrahman Wahid adalah Muhammed Arkoun yang mencoba melihat Islam secara utuh. Selain itu juga ia banyak dipengaruhi oleh pemikiran Al Ghazali melalui karyya-karyanya salah satunya yaitu Ihya Ulumuddin yang sanggup mengembangkan intuisi begitu jauh.
Sepulang dari Timur tahun 1970an ia kembali ke Pesantren dan kemudian mengajar di Pesantren Tebuireng Jombang dan sekaligus menjadi dekan Fakultas Ushuluddin, Universitas Hasyim Asy'ari, Jombang hingga tahun 1974. Sejak tahun 1976, ia menjadi konsultan di berbagai departemen antara lain: Departemen Koperasi, Departemen Agama, dan Departemen Hankam. Dia juga menjadi konsultan di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3S), dan organisasi lembaga swadaya masyarakat (LSM) di dalam maupun di luar negeri. Pada tahun 1983 ia menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta, kemudian pada tahun 1984 ia terpilih menjadi ketua umum PBNU ditambah lagi pada tahun 1986 ia terpilih menjadi Ketua Festival Film Indonesia, dan anggota Dewan Pers. Kemudian pada Muktamar NU di Krapyak pada tahun 1989 bertempat di Yogyakarta ia terpilih menjadi ketua umum PBNU untuk yang kedua kalinya ditambah lagi ketika Muktamar NU ke-29 di Cipasung 1995 ia tepilih lagi untuk yang ketiga kalinya menjadi ketua PBNU.
Ia aktif melakukan seminar nasional maupun internasional. Tampil sebagai juru bicara LSM Indonesia di forum Internasional semacam Ocford yang bertempat di Bangkok. Sebagai seorang pemikir sekaliber Internasional ia sering mendapatkan penghargaan bergengsi seperti dinobatkan menjadi "Tokoh 1989", new maker sehingga menjadi "Tokoh 1990" dan pada Maret 1999", dan ia diprediksi sebagai kingmaker untuk Indonesia masa depan oleh sebuah majalah Singapura. Abdurrahman Wahid dan empat orang Asia yaitu Noboru Imamura (Jepang), Banoo Coyaji (India), Vo-Tong Xuan dari Vietnam dan Brienvenido Lumbrera (Filipina) menerima hadiah Ramon Magsaysay di Manila, Filipina pada tanggall 13 Agustus 1993. Penghargaan itu diberikan karena keterlibatannya yang begitu besar dalam menanamkan nilai toleransi keberagamaan di Indonesia. Ditambah lagi pada konfrensi (World Conference Of Religion and Peace-WRCR) ia dinobatkan sebagai presiden organisasi itu pada November 1994, dan terakhir pada tanggal 20 Oktober 1999, ia terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia ke-4.
Jika dilihat karya-karya yang ditulis begitu banyak seperti buku dan bunga rampai pesantren tahun 1970, Muslim di Tengah Pergumulan (1981), dan Kiyai Nyentrik Membela Pemerintah (1997), karya-karya terjemahan yang ditulis dengan judul Islam, Cita dan Fakta yang ditulis oleh Syed Hossein Nasr, disamping itu ia juga banyak menulis sebagai pengantar sebuah buku seperti pengantar pada buku Nahdhatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia yang diedit Greg Barton dan Greg Fealy, Martin Van Bruinessen dan pencariannya, sebagai pengantar kuku Kitab Kuning dan Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Martin Van Bruinessen. "Hasan Hanafi dan Eksperimentasinya" pada Kiri Islam antara Modernisme dan Posmodernisme: Telaah Kritis atas Pemikiran Hasan Hanafi, karya Kazuo Shimogaki, dan kata pengantar terhadap Nahdhatul Ulama dan Pancasila, karya Einar M. Sitompul dan masih banyak lainnya yang tersebar di berbagai majalah, surat kabar seperti aula, kompas, prisma dan lain sebagainya.
Mengenal sosok Abdurrahman Wahid tidak akan lengkap jika tidak mengenal esensi pemikirannya, Muhammad A.S Hikam memandang sosok Abdurrahman Wahid adalah individu yang kompleks dimana dalam melakukan kajian atas wawasan intelektualnya merupakan kegiatan yang tidak sederhana. M. Arief Hakim mencoba mengungkapkan rahasia cara memahami pemikiran Abdurrahman Wahid, ia menyatakan ada tiga kunci yang dapat dipertimbangkan dalam memahami pemikiran Abdurrahman Wahid yaitu, Liberalisme, Demokrasi dan Universalisme. Dengan tiga kata kunci itu kita dapat memaklumi dan meletakan diri dalam memberikan nilai dari langkah-langkahnya. Melihat kualitas keilmuan dan segudang prestasi yang dimiliki Abdurrahman Wahid membuat sebagian orang yang tidak kenal dengan Abdurrahman Wahid berfikir ulang akan stigma negatif pada toleransi keberagamaan yang dilakukan di Indonesia.
Adapun sebagaimana ditulis oleh Mujamil Qomar tentang pandangan Abdurrahman Wahid terhadap kesempurnaan Islam sebagaimana yang ditegaskan dalam Q.S Al Maidah Ayat 3: "Pada hari ini telah aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridhai Islam menjadi agamamu", ia sangat meyakini ayat ini namun ia memiliki pandangan yang cendrung berbeda dengan kebanyakan ulama pada umumnya. Bagi Abdurrahman Wahid hakikat kesempurnaan Islam justru terletak pada potensinya menampung masukan-masukan secara kontinuitas sebagai bagian dari proses penghadapan Islam pada ketentuan dan keadaan zaman. Artinya potensi Islam adalah keterbukaan terhadap pengembangan wawasan baru secara terus menerus dalam menjawab tantangan zaman, bukan ketentuan-ketentuan terperinci yang ditetapkannya. Islam tidak menetapkan kata demi kata pada setiap masalah kehidupan, tetapi lebih mengungkapkan substansinya. Substansi itu adalah sifat keterbukaan terhadap pemikiran-pemikiran. Hal ini tentu saja bersumber bahkan didorong dari dan oleh Al Quran itu sendiri.
Masih banyak lagi argumentasi-argumentasi Abdurrahman Wahid yang cendrung berbeda dengan kebanyakan ulama pada umumnya seperti ungkapan kafir bagi kaum Yahudi dan Nashrani, namun semua itu tidaklain adalah proses intelektual yang tidak mudah dan tidak biasa bagi kalangan awam namun semua hal itu biasa bagi kalangan akademisi. Uraian diatas hanya ingin memberikan wawasan bagi kita untuk sedikit mengenal K.H. Abdurrahman Wahid.
Wallahu 'alam....
Good
BalasHapus