Langsung ke konten utama

KONSEP MANUSIA DALAM HUMANISME DAN AL-QUR’AN


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.
Membicarakan tentang manusia adalah tentang diri kita sendiri, suatu pembicaraan yang tidak pernah kering dan berakhir. Manusia telah mampu memahami dirinya sendiri selama beribu-ribu tahun. Tetapi gambaran yang pasti dan meyakinkan tidak mampu mereka peroleh hanya dengan mengandalkan daya nalarnya yang subjektif. Oleh karena itu mereka memerlukan pengetahuan dari pihak lain yang dapat memandang dirinya secaraa utuh. Allah sang pencipta telah menurunkan Kitab suci Al-Qur’an di antara ayat-ayatnya adalah gambaran-gambaran konkrit manusia dengan keabsolutannya. Sedangkan psikologi humanisme dengan hasil pemikiran manusia belaka berusaha juga memberikan pandangan tentang manusiadengan berkaca pada psikologi humanisme tentunya bersifat relatif. Dengan kerakteristik yang berbeda baik dari kajian bentuk tubuh hingga kajian yang sangat mendalam tentang primordialnya dengan tuhan saat di alam rahim. Oleh karena itulah makalah ini akan membahas tentang bagimana konsep manusia dalam humanisme dan Al-Qur’an.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Definisi Manusia Menurut Psikologi Humanisme ?
2.      Apa saja istilah manusia dalam perspektif al-Quran ?
3.      Apakah ada relasi antara psikologi humanisme dengan al-Quran dalam memandang manusia ?

C.    Tujuan

untuk mengetahui definisi manusia menurut humanisme, istilah manusia dalam Al-Quran serta relasi antara psikolgi humanisme dan Al-quran mengenai manusia


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Manusia menurut humanisme
Istilah humanisme berasal dari humanitas, yang berarti pendidikan manusia. Dalam bahasa Yunani disebut paideia. Kata ini poopuler pada masa Cicero dan Varro. Adapun humanisme pada pertenganhan abad ke-14 adalah gerakan filsafat yang timbul di Italia dan kemudian berkembang ke seluruh Eropa. Humanisme menegaskan bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu. Kebesaran manusia harus dihidupkan kembali, yang selama ini terkubur pada abad pertengahan. Oleh karena itu, warisan filsafat klasik harus dihidupkan dan warisan abad pertengahan ditinggalkan. Pico adalah seorang tokoh humanisme berkata, “manusia dianugerahi kebebasan memilih oleh Tuhan dan menjadikannya pusat perhatian dunia. Dengan posisi itu dia bebas memandang dan memilih yang terbaik.”
Villa, salah seorang tokoh humanisme, menolak superioritas agama atas manusia. Manusia, menurut Villa berhak menjadi dirinya sekaligus menentukan nasibnya. Tujuan manusia adalah menikmati manusia dan bersenang-senang.
Humanisme pada awalnya tidak anti agama tidak anti agama. Humanisme ingin mengurangi peranan istitusi gereja dan kerajaan yang begitu besar, sehingga pada makhluk Tuhan kehilangan kebebasan.
Humanisme pada awal Ranaisans berbeda dengan humanisme pada abad ke-19 dan 20, kendati dalam beberapa hal ada kesamaannya. Humanisme pada waktu itu bertujuan untuk meningkatkan perkembangan yang harmonis dari sifat-sifat dan kecakapan alamiah manusia. Pada waktu itu para humanis tidak menyangkal adanya Zat Yang aha Tinggi. Hanya saja mereka berpendapat bahwa hal-hal yang alamiah dalam diri manusia telah memiliki nilai cukup untuk dijadikan sasaran pengenalan manusia. Tanpa wahyu pun, seseorang mampu berkarya dengan beik dan sempurna. Setelah beberapa abad kemudian, baru muncul gerakan mhumanisme yang melepaskan segala hal yang berkaitan dengan Tuhan dan akhirat dan hanya menerima hidup di dunia seperti apa adanya.[1]
Aliran humanisme memandang bahwa “ manusia adalah mahluk yang mulia, yang semua kebutuhan pokok diperuntukkan untuk memperbaiki spisiesnya. Aliran ini terdapat asas-asas penting mengenai manusia sebagai berikut:
1.      Manusia adalah mahkluk yang memiliki kehendak bebas.
2.      Manusia adalah mahkluk yang sadar atau berfikir.
3.      Manusia adalah mahkluk yang mempunyai cita-cita dan merindukan sesuatu ideal.
4.      Manusia adalah mahkluk yang kreatif.
5.      Manusia adalah mahkluk yang bermoral.
6.      Manusia adalah mahkluk yang sadar akan dirinya sendiri.
7.      Manusia adalah mahkluk yang memiliki esensi kesucian.[2]
Salah satu tokoh dari aliran ini – Abraham Maslow – mengkritik Freud dengan mengatakan bahwa Freud hanya meneliti mengapa setengah jiwa itu sakit, bukannya meneliti mengapa setengah jiwa yang lainnya bisa tetap sehat.
Salah satu bagian dari humanistik adalah logoterapi. Adalah Viktor Frankl yang mengembangkan teknik psikoterapi yang disebut sebagai logotherapy (logos = makna). Pandangan ini berprinsip:
a)      Hidup memiliki makna, bahkan dalam situasi yang paling menyedihkan sekalipun.
b)      Tujuan hidup kita yang utama adalah mencari makna dari kehidupan kita itu sendiri.
c)      Kita memiliki kebebasan untuk memaknai apa yang kita lakukan dan apa yang kita alami bahkan dalam menghadapi kesengsaraan sekalipun.
Frankl mengembangkan teknik ini berdasarkan pengalamannya lolos dari kamp konsentrasi Nazi pada masa Perang Dunia II, di mana dia mengalami dan menyaksikan penyiksaan-penyiksaan di kamp tersebut. Dia menyaksikan dua hal yang berbeda, yaitu para tahanan yang putus asa dan para tahanan yang memiliki kesabaran luar biasa serta daya hidup yang perkasa. Frankl menyebut hal ini sebagai kebebasan seseorang memberi makna pada hidupnya.
Logoterapi ini sangat erat kaitannya dengan SQ, yang bisa kita kelompokkan berdasarkan situasi-situasi berikut ini:
a)      Ketika seseorang menemukan dirinya (self-discovery). Sa’di (seorang penyair besar dari Iran) menggerutu karena kehilangan sepasang sepatunya di sebuah masjid di Damaskus. Namun di tengah kejengkelannya itu ia melihat bahwa ada seorang penceramah yang berbicara dengan senyum gembira. Kemudian tampaklah olehnya bahwa penceramah tersebut tidak memiliki sepasang kaki. Maka tiba-tiba ia disadarkan, bahwa mengapa ia sedih kehilangan sepatunya sementara ada orang yang masih bisa tersenyum walau kehilangan kedua kakinya.
b)      Makna muncul ketika seseorang menentukan pilihan. Hidup menjadi tanpa makna ketika seseorang tak dapat memilih. Sebagai contoh: seseorang yang mendapatkan tawaran kerja bagus, dengan gaji besar dan kedudukan tinggi, namun ia harus pindah dari Yogyakarta menuju Singapura. Di satu sisi ia mendapatkan kelimpahan materi namun di sisi lainnya ia kehilangan waktu untuk berkumpul dengan anak-anak dan istrinya. Dia menginginkan pekerjaan itu namun sekaligus punya waktu untuk keluarganya. Hingga akhirnya dia putuskan untuk mundur dari pekerjaan itu dan memilih memiliki waktu luang bersama keluarganya. Pada saat itulah ia merasakan kembali makna hidupnya.
c)      Ketika seseorang merasa istimewa, unik dan tak tergantikan. Misalnya: seorang rakyat jelata tiba-tiba dikunjungi oleh presiden langsung di rumahnya. Ia merasakan suatu makna yang luar biasa dalam kehidupannya dan tak akan tergantikan oleh apapun. Demikian juga ketika kita menemukan seseorang yang mampu mendengarkan kita dengan penuh perhatian, dengan begitu hidup kita menjadi bermakna.
d)     Ketika kita dihadapkan pada sikap bertanggung jawab. Seperti contoh di atas, seorang bendahara yang diserahi pengelolaan uang tunai dalam jumlah sangat besar dan berhasil menolak keinginannya sendiri untuk memakai sebagian uang itu untuk memuaskan keinginannya semata. Pada saat itu si bendahara mengalami makna yang luar biasa dalam hidupnya.
e)       Ketika kita mengalami situasi transendensi (pengalaman yang membawa kita ke luar dunia fisik, ke luar suka dan duka kita, ke luar dari diri kita sekarang). Transendensi adalah pengalaman spiritual yang memberi makna pada kehidupan kita.[3]
Mazhab prikologi ini tidak memusatkan perhatian untuk mencari sebab mengapa seseorang berprestasi rendah, tetapi perhatian diarahkan pada cara - cara meningkatkan prestasi dengan memanfaatkan potensi manusiawi yang dimiliki setiap orang. Konsep Mazhab Psikologi Ini Tidak mengkesampingkan kemungkinan terjadinya perbedaan- perbedaan genetik yang dibawa sejak seseorang lahir,namun konsepsi itu juga mengakui adanyakemampun – kemampuan bersifat umum pada seluruh spesies. Kemampuan – kemampuan hebatini pasti ada didalam manusia tetapi sukar diukur. Kata maslow “kita tidak dapat mengukur sampai berapa tinggi seserang akan tumbuh, kita hanya bisa mengukur berapa tinggi badannya saat ini. Kita tidak akan pernah mengukur seberapa pintar seseorang akan dapat berkembang dalam kondisi- kodisi yang serba terbaik, kita hanya bisa mengukur seberapa pintar ia dalam kondisi-kondisi yang nyata ada.”
Potensi manusia  manusia jauh lebih besar dari pada wujud yang dimanfaatkan. Ini disebabkan manusia sebenarnya, seperti jembatan yang dibangun oleh para insinyur, mempunya kapasitas yang jauh lebih besar dibanding kekutan yang harus ditopangnya. Dengan demikian potensi manusia menurut psikologi humanistik adalah sejumlah unsur yang terdapat dalamdirimanusia yang dapat dioptimalakan fungsinya, dan ptensi tersebut tidak sama dengan makhluklainnya atau yang membedakannya dari makhluk lain terutama hewan.[4]


B.     Istilah Manusia dalam Al-Qur’an
Manusia menurut Al-Qur’an dimaknai dengan menggunakan beberapa istilah, yaitu Bani (Banu) adam atau Dzurriyat Adam (keturunan, anak Cucu Adam), al-insan, al-ins, an-nas, atau unas atau al-basyar. Sejalan dengan fungsinya sebagai khalifah dimuka bumi ini, manusia dibekali dengan berbagai instrumen sebagai modal dasar dalam menjalankan tugas kekhalifahan. Pada sisi ini manusia berbeda dengan hewan sehingga dalam perspektif Islam manusia tidak menjadi objek selayaknya hewan.
Manusia disebut sebagai bani Adam karena dia menunjukkan asal usul yang bermula dari nabi Adam as sehingga dia tahu dan sadar akan jati dirinya. Misalnya, darimana ia berasal, untuk apa ia hidup, dan kemana dia akan kembali. Penggunaan istilah bani Adam menunjukkan bahwa manusia bukan hasil dari evolusi makhluk anthropus (sejenis kera).
Abdurrahman An-Nahlawi mengatakan manusia menurut pandangan islam meliputi:
1.      Manusia sebagai makhluk yang dimuliakan, artinya Islam tidak memposisikan manusia dalam kehinaan, kerendahan atau tidak berharga seperti binatanag, benda mati atau makhluk lainnya ( QS. Al-Isro:70 dan al Hajj: 65)
2.      Manusia sebagai makhluk istimewa dan terpilih. Salah satu anugrah Allah SWT yang diberikan kepada manusia adalah menjadikan manusia mampu membedakan kebaikkan dan kejahatan atau kedurhakaan dari ketakwaan
Manusia diciptakan oleh Allah dengan segala kesempurnaannya. Manusia diberi akal pikiran sehingga dengan akal tersebut mereka dapat berpikir. Dengan berpikir, manusia mampu mengajukan pertanyaan serta memecahkan masalah. Dengan adanya akal pula, manusia berbeda dari makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. Islam mendorong manusia agar menggunakan potensi yang dimiliki secara seimbang. Akal yang berlebihan mendorong manusia pada kemajuan materiil yang hebat, namun mengalami kekosongan dalam hal ruhaniyah, sehingga manusia terjebak dalam segala kesombongan yang merusak dirinya sendiri.
Dalam menggunakan potensi-potensinya, manusia harus menjadi makhluk psiko-fisik, berbudaya, dan beragama untuk tetap mempertahankan kapasitas dirinya sebagai makhluk yang paling mulia. Al-Quran menegaskan kualitas dan nilai manusia dengan menggunakan tiga macam istilah yang saling berhubungan satu sama lain, yaitu al-insan, an-nas, al-basyar, dan bani Adam.[5]
Manusia dalam persepektif islam berbeda dengan konsep manusia dalam pandangan agama-agama selain islam. al-qur’an telah mengungkapkan dan menjelaskan istilah-istilah menusia, yaitu:
1.      Al-Insan dan al-Nas
Kata al-insan, berakar kata uns yang berarti jinak dan harmonis. Kata insan ini tampak sebagai Iawan dari makna ”binatang liar”. Kata insan digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan segala totalitasnya, jiwa, dan raga. Manusia berbeda dengan binatang. Manusia memiliki rasa malu, jika melanggar aturan. Manusia adalah makhluk terhormat dan mulia.
Kata insan disebut sebanyak 65 kali dipakai untuk sebutan manusia tunggal (individu), sedangkan kata al-nas disebut 241 kali untuk sebutan manusia jamak (sosial). Pemakaian kata insan ditujukan kepada seluruh manusia secara individu menyangkut dimensi karakter, seperti menerima pelajaran dari Tuhan, (QS Al-Alaq [95]: 4), amanat yang dipikul dari Tuhan, (QS Al-Ahzab [33]: 72); waktu yang harus digunakan supaya tidak merugi (QS.Al-’Ashr [103]: 2); balasan dari apa yang dikerjakannya (QS An-Najm [53]: 39; An-Naazi’aat [79]: 35), musuh yang nyata dengan setan (QS AI-Anbiyaa’ [21]: 5; AI-Israa’ [17]: 53); sopan santun dan etika (QS Al-Ankabut [29]: 8; Luqman [31]: 14; Al-Ahqaf [46]: 15).
Manusia menerima pelajaran dari Allah Ta’ala sehingga memiliki ilmu pengetahuan yang luas. Dengan ilmu pengetahuan manusia menjadi tinggi derajatnya; manusia dapat mengatasi masalah hidup dengan baik. Segala fenomena dan kejadian ditampakkan oleh Allah Swt. untuk menjadi pelajaran bagi manusia. Dalam setiap kejadian sekecil apa pun terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal. Itulah al-Insml namanya.
Manusia yang baik adalah manusia yang amanah. Amanah pertama adalah amanah iman yang pernah diberikan oleh Allah Swt. ketika'di alam roh dalam perjanjian primordial. Amanah iman harus dijaga agar tidak kotor bercampur dengan kemusyrikan. Iman yang bersih adalah iman yang sesuai dengan rukun iman, jangan dicampurkan dengan bentuk-bentuk kepercayaan yang tumbuh dalam tradisi. Amanah kedun adalah amanah Islam yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad Saw. Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. tidak boleh dinodai dengan label-label yang memecah kesatuan Islam. Label organisasi sering kali menodai amanah Islam, sehingga masing-masing organisasi terpecah belah. Umat menjadi terpecah-pecah oleh label-label organisasi Islam baik ormas (organisasi massa) maupun orsospol (organisasi sosial politik). Setiap organisasi memiliki pemimpin, namun tidak amanah Islam. Amanah ketign adalah amanah umur yang diberikan Allah Swt. kepada manusia, sehingga dengan umur mendapat kesempatan untuk beribadah dan menikmati nikmatnya dunia. Umur berkaitan dengan masa muda, masa sehat, dan masa lapang. Manusia harus memanfaatkan masa muda sebelum tua dengah tenaga, pikiran, dan jiwa muda dalam membangun peradaban sehingga menjadi bangsa yang maju. Manusia hams memanfaatkan masa sehat sebelum sakit dengan cara melakukan pekerjaan-pekerjaan panting. Manusia hams memanfaatkan masa lapang sebelum merasakan sesak dan sempitnya diri karena dililit oleh berbagai masalah. Harta yang dimiliki sebagai amanah hams dijaga agar benar-benar digunakan pada jalan yang diridai Allah Ta’ala.
Istilah nl-nas, berkaitan dengan interaksi kehidupan manusia yang bersifat kolektif, seperti: kepemimpinan (QS Al-Baqarah [2]:124), perubahan sosial (QS Ali-Imran [3]:140; Al-Anfal [81:26), dan perubahan alam (QS Al-Baqarah [2]:164). Manusia selalu membutuhkan orang lain dalam berinteraksi, sehingga tercipta saling memberikan manfaat antara satu dengan lainnya. Soal kepemimpinan harus profesional. Manusia jangan sombong merasa berkuasa ketika diberi amanah pimpinan. Hakikat jadi pemimpin adalah menjadi pelayan yang melayani kebutuhan rakyat dan/ atau bawahannya. Setiap manusia adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Ta’ala. Jadilah pemimpin (khalifah) yang amanah sebagai al-nas yang digambarkan oleh Allah Swt. dalam Al-Qur’an.
Umat Islam sebagai hamba Allah yang taat pada ajaran agama harus menjadi pemimpin. Sebab, kepemimpinan yang tidak berdasarkan pada agama akan menimbulkan kebohongan publik. Kebohongan publik semata-mata demi mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan dipertahankan dengan menghalalkan berbagai cara. Hal ini tidak ada manfaatnya bagi hamba Allah yang saleh, meraih dunia dengan cara mengorbankan agama.
Manusia sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qut’an dapat melakukan perubahan sosial dan perubahan alam. Perubahan suatu bangsa adalah karena bangsa yang mau berubah. Perubahan itu pasti adanya, sehingga tidak ada yang tetap kecuali perubahan itu sendiri. Namun yang penting dipahami adalah bahwa perubahan harus selalu menuju ke posisi yang lebih baik. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan esok lebih baik daripada har ini. Manusia menurut Al-Qur’an maupun hadis-hadis dapat melakukan perubahan posisi dan alam.
2.      Al-Basyar
Al-anyar adalah gambaran manusia secara materi yang dapat dilihat, makan dan minum, berjalan dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Atau berarti menampakkan sesuatu dengan baik dan indah. Kata bnsynr diulang dalam Al-Qur’an sebanyak 36 kali, dipakai untuk menyebut manusia dalam kaitannya dengan aspek-aspek jasmaniah. ”Dan ingntlah, ketika Rab-mu berfirman kepnda para malaikat. Sesungguhnyn aku akan menciptakan manusia drm' tanah liat kering (yang bemsal) dari lumpur hitnm yang diberi bentuk.” (Q5. Al-Hijr [15]: 28, Q5 Al-Nali [16]: 103, QS Al-Isra [17]: 93, Q5 Maryam [19]: 26).
Menurut Asy-Syathi, pemakaian kata bnsyar di seluruh isi Al-Qur’ an memberikan pengertian bahwa yang dimaksud adalah anak Adam yang biasa makan, minum, dan berjalan di pasar-pasar yang saling bertemu atas dasar persamaan.3 Nabi Muhammad Saw., dalam Al-Qur’an juga disebut nl-bnsyar (manusia) seperti kita, hanya saja beliau menerima wahyu dari Allah Ta’ala, (QS Al-Kahfi [18]: 110). Dalam konteks ini: al-basyar adalah manusia berdimensi biologis, yang banyak dikaji oleh ilmu biologi dan kedokteran. Hasilnya dapat dimanfaatkan oleh manusia sendiri.
3.      Bani Adam
Bani adam artinya keturunan Adam yang menunjukkan manusia dilihat dari sudut keturunanya. Manusai keturunan nabii Adam a.s. jika ada yang mengaku bukan keturunan dari nabi Adam a.s berarti bukan manusia. Oleh karena itu, bagi umat beragama (islam) tidak perlu memperdebatkan teori-teori yang mengaku ilmiah tentang asal-usul manusia berasal bukan dari Nabi Adam a.s.
Sebegian ahli memahami bahwa sebelum nabi Adam a.s sudah ada makhluk sejenis manusia. Hal ini dapat dipahami berdasarkan Al-Qur’an tentang dialog para malaikat bahwa akan dijadikan khalifah di muka bumi ini. Para malaikat bertanya tetang kelayakan adam untuk menjadi khalifah. Hal ini dipahami oleh sebagian ahli bahwa para malaikat sudah memiliki pengalaman tentang makhluk-makhluk sebelumnya. Walaupun, pada akhirnya Allah Ta’ala tetap sesuai dengan desainnya bahwa Adam layak menjadi para malaikat. Dengan demikian. Dapat dibenarkan adanya makhluk sebelum Nabi Adam a.s menjadi khalifah.
Para mufassir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “khalifah” tersebut diatas adalah “Adam”. Akan tetapi, para pakar bahasa berpandapat bahwa “khalifah” dalam pandangan mereka berasal dari kata (khalafa) artinya belakang. Namun demikian, kata “khalifah” menurut mereka tidak selamanya diartikan dengan belakang, tapi juga diterjemahkan dengan pengganti.
Kata “pengganti” dapat dipahami dengan menggantikan atau menempati posisi yang telah ditinggalkan orang sebelumnya. Orang yang menggantikan biasanya datang belakangan. Jadi, pengganti adalah orang yang datang kemudian atau belakangan. Demikian gambaran pengertian dalam arti pengganti. Al-Raghib al-Isfahani dalam mufrodat fi Gharib Al-Qur’an sebagaimana dikutif oleh M.Quraish Shihab mengatakan kata khalifah atau pengganti adalah menggantikan orang lain untuk melaksanakan suatu tugas atas naama yang digantikan, baik bersama yang digantikannya maupun sesudahnya.
Nabi Adam sebagai manusia pertamaa dan kita merupakan keturunan Nabi Adam tetap dapat dibenarkan, yaitu bahwa manusia sekarang yang hidup dan ada merupakan keturuan Nabi Adam a.s. Hal ini pun berdasarkan firman-firman Allah dalam Al-Qur’an. Walaupun ada mahkluk lain sebelum Nabi Adam, tidak berarti manusia sekarang ini keturunan dari makhluk sebelumnya tersebut. hal itu berkaitan dengan periodisasi kehidupan di alam semesta ini. Kelak setelah terjadi hari kiamat pun, akan ada kehidupan makhluk Allah yang baru dengan segala hukum dan aturan yang baru.”Tidaklah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan hak ? jika dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kamu dan mengganti (mu) dengan makluk yang baru”. Akan tetapi, hal ini bukan untuk generasi manusia yang ada sekarang. Hal ini akan dibatasi dengan apa yang disebut hari kiamat, akhir kehidupan semua mahkluk yang ada. Kewajiban manusia sekarang adalah menjalankan aturan-aturan yang berlaku sekarang yang telah disampaikan oleh para Nabi dan Rasul Allah Muhammad SAW.
Allah Swt. berfirman, ”Dan seszmgguhnya Kami telah memuliakun annk-anak Adam (manusia). Kasmi angkat mereka di damtan dun di lautan. Kami beri mereku dari rezeki yang buik~baik dun Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempuma atas kebanyakan makhluk yang telnh Kami ciptakan.” (QS Al-Isra. [17]: 61, 70).
Semua agama sepakat bahwa manusia yang pertama adalah Adam. Pernyataan tersebut dalam agama Yahudi dan Nasrani atau Kristen dapat ditemukan dalam kitab suci mereka yakni dalam ”Biblia” atau sering disebut ”al-Kitab”. Al-Kitab dalam agama Kristen populer dengan sebutan ”Old Testament” yaitu Perjanjian Lama. Dalam kitab tersebut yaitu pada Kitab Kejadian (Genesis) mulai dari Pasa] I sampai Pasal X, diterangkan tentang cerita kejadian alam semesta, kejadian Adam dan Hawa serta kisah keturunan Adam hingga Nuh yang dilanda angin Topan Besar (Great Deluge) yang berakhir dengan hancurnya semua pada waktu itu kecuali Nabi Nuh, keluarga dan pengikutnya yang setia dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Nuh. Dalam kitab tersebut juga diinformasikan secara detail turunan Adam sampai kepada N uh.
Agama Islam mengajarkan bahwa manusia yang pertama adalah ”Adam”. Adam merupakan khalifah di muka bumi ini. Firman Allah Swt dalam surah Al-Baqarah (2):30

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirnmn kepada para mnlaiknt: "Seszmgguhnya Aku hendak menjadikan seomng klmlifnh di muka  bumi”. Mereka berkata: “mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mengucikan-Mu ?”Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui “ (QS.Al-Baqarah (2):30.
Para Mufassirin (pakar tafsir Al-Qur’an) seperti ibnu Katsir, al-Qurthubi, dan al-Maraghi mengatakan yang dimaksud dengan “khalifah” dalam ayat tersebut adalah “Adam” menurut mufassirin tersebut, Adamlah manusia yang pertama sekali dijadikan Allah SWT, diatas bumi ini. Dan Adam pula manusia yang petama kali diamanahi oleh Allah untuk mengelola, mengatur dan menata bumi ini dengan sebaik-baiknya. Bahkan adam bukan hanya manusia yang pertama, tetapi dia nuga merupakan utusan atau Rasul dan Nabi yaang pertama klai yang membawa ajaran untuk mentauhidkan (meng-Esa-kan) Allah. Pernyataan tersebut didasari kepada ucapan Nabi Saw., dalam sebuah sabdanya sebagai berikut:”Adam merupakan Rasul yang pertama dari sekalian Rasul dan Muhammad adalah Rasul yang terahir dari semua Rasul” (HR. Al-Hakim dari Abu dzar).[6]


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Aliran humanisme memandang bahwa “ manusia adalah mahluk yang mulia, yang semua kebutuhan pokok diperuntukkan untuk memperbaiki spisiesnya. Aliran ini terdapat asas-asas penting mengenai manusia sebagai berikut:
1.      Manusia adalah mahkluk yang memiliki kehendak bebas.
2.      Manusia adalah mahkluk yang sadar atau berfikir.
3.      Manusia adalah mahkluk yang mempunyai cita-cita dan merindukan sesuatu ideal.
4.      Manusia adalah mahkluk yang kreatif.
5.      Manusia adalah mahkluk yang bermoral.
6.      Manusia adalah mahkluk yang sadar akan dirinya sendiri.
7.       Manusia adalah mahkluk yang memiliki esensi kesucian

Mazhab prikologi ini tidak memusatkan perhatian untuk mencari sebab mengapa seseorang berprestasi rendah, tetapi perhatian diarahkan pada cara - cara meningkatkan prestasi dengan memanfaatkan potensi manusiawi yang dimiliki setiap orang.
Manusia menurut Al-Qur’an dimaknai dengan menggunakan beberapa istilah, yaitu Bani (Banu) adam atau Dzurriyat Adam (keturunan, anak Cucu Adam), al-insan, al-ins, an-nas, atau unas atau al-basyar. Sejalan dengan fungsinya sebagai khalifah dimuka bumi ini, manusia dibekali dengan berbagai instrumen sebagai modal dasar dalam menjalankan tugas kekhalifahan. Pada sisi ini manusia berbeda dengan hewan sehingga dalam perspektif Islam manusia tidak menjadi objek selayaknya hewan.




DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar,Amsal. 2007. Filsafat Agama Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Makbuloh, Deden.2011.Pendidikan Agama Islam Arah Baru dan Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nurhilaliati. 2011. pendidikan islam, dan psikologi humanistik relasi atau negasi ?.Mataram : Alam Tara institute.


    [1] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007) h.145
    [4] Nurhilaliati, pendidikan islam, dan psikologi humanistik relasi atau negasi ?, (Mataram : Alam Tara institute, 2011), h. 100-103
    [6] Deden Makbuloh, Pendidikan Agama Islam Arah Baru dan Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di Perguruan Tinggi, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011) h.42

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian Metode Pendidikan, Dasar, Tujuan, Tugas dan Fungsi

PENDAHULUAN Dalam pendidikan Islam, metode mempunyai kedudukan yang sangatpenting dalam upaya mencapai tujuan, karena ia menjadi sarana yangmembermaknakan materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum pendidikan,sehingga dapat dipahami atau diserap oleh peserta didik menjadi pengertianpengertianyang fungsional terhadap tingkah lakunya. Dalam pendidikan Islam, metode yang tepat guna bila ia mengandung nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik sejalan dengan materi pelajaran dan secara fungsional dapat dipakai untuk merealisasikan nilai-nilai ideal yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam. Antara metode, kurikulum (materi) dan tujuan pendidikan Islam mengandung relevansi ideal dan oprasional dalam proses kependidikan. Oleh karena itu proses kependidikan Islam mengandung makna nternalisasi dan transformasi nilai-nilai Islam ke dalam pribadi peserta didik dalam upaya membentuk pribadi muslim yang beriman bertakwa dan berilmu pengetahuan yang amaliah mengacu kepada tuntunan agama dan tu

Pengertian Pendidik

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Di dalam mempelajari   keguruan maka kita tidak akan terlepas dari pendidik dan tenaga kependidikan. Pendidik dan tenaga kependidikan merupakan komponen yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya terutama pendidik sangat mempunyai peran penting di dalamnya. D engan pendidik tersebut , dunia kependidikan dapat menciptakan generasi-generasi yang intelektual. Ketika kita berbicara tentang pendidik, maka kita tidak akan terlepas dengan kompetensi dan kualifikasi yang harus ada dalam pendidik tersebut. Dengan adanya kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pendidik, maka secara tidak langsung seorang pendidik dituntut untuk memiliki kualifikasi ilmu yang sesuai dengan keahliannya. Sehingga dalam makalah ini kami akan memaparkan materi tentang pendidik, apa saja kempetensi-kompetensi dan kualifikasinya. B.      Rumusan Masalah 1.       Apakah pengertian pendidik ? 2.       Apa saja kompetensi-kompetensi yang di miliki oleh pen