BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.
Membicarakan
tentang manusia adalah tentang diri kita sendiri, suatu pembicaraan
yang tidak pernah kering dan berakhir. Manusia telah mampu memahami dirinya
sendiri selama beribu-ribu tahun. Tetapi gambaran yang pasti dan meyakinkan
tidak mampu mereka peroleh hanya dengan mengandalkan daya nalarnya yang
subjektif. Oleh karena itu mereka memerlukan pengetahuan dari pihak lain yang
dapat memandang dirinya secaraa utuh. Allah sang pencipta telah menurunkan
Kitab suci Al-Qur’an di antara ayat-ayatnya adalah gambaran-gambaran konkrit
manusia
dengan keabsolutannya.
Sedangkan psikologi humanisme dengan hasil pemikiran manusia belaka berusaha
juga memberikan pandangan tentang manusiadengan berkaca pada psikologi
humanisme tentunya bersifat relatif. Dengan kerakteristik yang berbeda baik
dari kajian bentuk tubuh hingga kajian yang sangat mendalam tentang
primordialnya dengan tuhan saat di alam rahim. Oleh karena itulah makalah ini akan membahas tentang
bagimana konsep manusia dalam humanisme dan Al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa Definisi
Manusia Menurut Psikologi Humanisme ?
2.
Apa saja istilah
manusia dalam perspektif al-Quran ?
3.
Apakah ada
relasi antara psikologi humanisme dengan al-Quran dalam memandang manusia ?
C. Tujuan
untuk
mengetahui definisi manusia menurut humanisme, istilah manusia dalam Al-Quran
serta relasi antara psikolgi humanisme dan Al-quran mengenai manusia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Manusia menurut humanisme
Istilah humanisme berasal dari humanitas, yang berarti pendidikan manusia. Dalam bahasa Yunani
disebut paideia. Kata ini poopuler
pada masa Cicero dan Varro. Adapun humanisme pada pertenganhan abad ke-14
adalah gerakan filsafat yang timbul di Italia dan kemudian berkembang ke
seluruh Eropa. Humanisme menegaskan bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu.
Kebesaran manusia harus dihidupkan kembali, yang selama ini terkubur pada abad
pertengahan. Oleh karena itu, warisan filsafat klasik harus dihidupkan dan
warisan abad pertengahan ditinggalkan. Pico adalah seorang tokoh humanisme
berkata, “manusia dianugerahi kebebasan memilih oleh Tuhan dan menjadikannya
pusat perhatian dunia. Dengan posisi itu dia bebas memandang dan memilih yang
terbaik.”
Villa, salah seorang tokoh humanisme, menolak
superioritas agama atas manusia. Manusia, menurut Villa berhak menjadi dirinya
sekaligus menentukan nasibnya. Tujuan manusia adalah menikmati manusia dan
bersenang-senang.
Humanisme pada awalnya tidak anti agama tidak anti agama.
Humanisme ingin mengurangi peranan istitusi gereja dan kerajaan yang begitu
besar, sehingga pada makhluk Tuhan kehilangan kebebasan.
Humanisme pada awal Ranaisans berbeda dengan humanisme
pada abad ke-19 dan 20, kendati dalam beberapa hal ada kesamaannya. Humanisme
pada waktu itu bertujuan untuk meningkatkan perkembangan yang harmonis dari
sifat-sifat dan kecakapan alamiah manusia. Pada waktu itu para humanis tidak
menyangkal adanya Zat Yang aha Tinggi. Hanya saja mereka berpendapat bahwa
hal-hal yang alamiah dalam diri manusia telah memiliki nilai cukup untuk
dijadikan sasaran pengenalan manusia. Tanpa wahyu pun, seseorang mampu berkarya
dengan beik dan sempurna. Setelah beberapa abad kemudian, baru muncul gerakan
mhumanisme yang melepaskan segala hal yang berkaitan dengan Tuhan dan akhirat
dan hanya menerima hidup di dunia seperti apa adanya.[1]
Aliran humanisme
memandang bahwa “ manusia adalah mahluk yang mulia, yang semua kebutuhan pokok
diperuntukkan untuk memperbaiki spisiesnya. Aliran ini terdapat asas-asas
penting mengenai manusia sebagai berikut:
1. Manusia
adalah mahkluk yang memiliki kehendak bebas.
2. Manusia
adalah mahkluk yang sadar atau berfikir.
3. Manusia
adalah mahkluk yang mempunyai cita-cita dan merindukan sesuatu ideal.
4. Manusia
adalah mahkluk yang kreatif.
5. Manusia
adalah mahkluk yang bermoral.
6. Manusia
adalah mahkluk yang sadar akan dirinya sendiri.
7. Manusia
adalah mahkluk yang memiliki esensi kesucian.[2]
Salah satu tokoh dari
aliran ini – Abraham Maslow – mengkritik Freud dengan mengatakan bahwa Freud
hanya meneliti mengapa setengah jiwa itu sakit, bukannya meneliti mengapa
setengah jiwa yang lainnya bisa tetap sehat.
Salah satu bagian dari
humanistik adalah logoterapi. Adalah Viktor Frankl yang mengembangkan teknik
psikoterapi yang disebut sebagai logotherapy (logos = makna). Pandangan ini
berprinsip:
a) Hidup
memiliki makna, bahkan dalam situasi yang paling menyedihkan sekalipun.
b) Tujuan
hidup kita yang utama adalah mencari makna dari kehidupan kita itu sendiri.
c) Kita
memiliki kebebasan untuk memaknai apa yang kita lakukan dan apa yang kita alami
bahkan dalam menghadapi kesengsaraan sekalipun.
Frankl mengembangkan
teknik ini berdasarkan pengalamannya lolos dari kamp konsentrasi Nazi pada masa
Perang Dunia II, di mana dia mengalami dan menyaksikan penyiksaan-penyiksaan di
kamp tersebut. Dia menyaksikan dua hal yang berbeda, yaitu para tahanan yang
putus asa dan para tahanan yang memiliki kesabaran luar biasa serta daya hidup
yang perkasa. Frankl menyebut hal ini sebagai kebebasan seseorang memberi makna
pada hidupnya.
Logoterapi ini sangat
erat kaitannya dengan SQ, yang bisa kita kelompokkan berdasarkan
situasi-situasi berikut ini:
a) Ketika
seseorang menemukan dirinya (self-discovery). Sa’di (seorang penyair besar dari
Iran) menggerutu karena kehilangan sepasang sepatunya di sebuah masjid di
Damaskus. Namun di tengah kejengkelannya itu ia melihat bahwa ada seorang
penceramah yang berbicara dengan senyum gembira. Kemudian tampaklah olehnya
bahwa penceramah tersebut tidak memiliki sepasang kaki. Maka tiba-tiba ia
disadarkan, bahwa mengapa ia sedih kehilangan sepatunya sementara ada orang
yang masih bisa tersenyum walau kehilangan kedua kakinya.
b) Makna
muncul ketika seseorang menentukan pilihan. Hidup menjadi tanpa makna ketika
seseorang tak dapat memilih. Sebagai contoh: seseorang yang mendapatkan tawaran
kerja bagus, dengan gaji besar dan kedudukan tinggi, namun ia harus pindah dari
Yogyakarta menuju Singapura. Di satu sisi ia mendapatkan kelimpahan materi
namun di sisi lainnya ia kehilangan waktu untuk berkumpul dengan anak-anak dan
istrinya. Dia menginginkan pekerjaan itu namun sekaligus punya waktu untuk
keluarganya. Hingga akhirnya dia putuskan untuk mundur dari pekerjaan itu dan
memilih memiliki waktu luang bersama keluarganya. Pada saat itulah ia merasakan
kembali makna hidupnya.
c) Ketika
seseorang merasa istimewa, unik dan tak tergantikan. Misalnya: seorang rakyat
jelata tiba-tiba dikunjungi oleh presiden langsung di rumahnya. Ia merasakan
suatu makna yang luar biasa dalam kehidupannya dan tak akan tergantikan oleh
apapun. Demikian juga ketika kita menemukan seseorang yang mampu mendengarkan
kita dengan penuh perhatian, dengan begitu hidup kita menjadi bermakna.
d) Ketika
kita dihadapkan pada sikap bertanggung jawab. Seperti contoh di atas, seorang
bendahara yang diserahi pengelolaan uang tunai dalam jumlah sangat besar dan
berhasil menolak keinginannya sendiri untuk memakai sebagian uang itu untuk
memuaskan keinginannya semata. Pada saat itu si bendahara mengalami makna yang
luar biasa dalam hidupnya.
e) Ketika
kita mengalami situasi transendensi (pengalaman yang membawa kita ke luar dunia
fisik, ke luar suka dan duka kita, ke luar dari diri kita sekarang).
Transendensi adalah pengalaman spiritual yang memberi makna pada kehidupan
kita.[3]
Mazhab
prikologi ini tidak memusatkan perhatian untuk mencari sebab mengapa seseorang
berprestasi rendah, tetapi perhatian diarahkan pada cara - cara meningkatkan
prestasi dengan memanfaatkan potensi manusiawi yang dimiliki setiap orang.
Konsep Mazhab Psikologi Ini Tidak mengkesampingkan kemungkinan terjadinya
perbedaan- perbedaan genetik yang dibawa sejak seseorang lahir,namun konsepsi
itu juga mengakui adanyakemampun – kemampuan bersifat umum pada seluruh
spesies. Kemampuan – kemampuan hebatini pasti ada didalam manusia tetapi sukar
diukur. Kata maslow “kita tidak dapat mengukur sampai berapa tinggi seserang
akan tumbuh, kita hanya bisa mengukur berapa tinggi badannya saat ini. Kita
tidak akan pernah mengukur seberapa pintar seseorang akan dapat berkembang
dalam kondisi- kodisi yang serba terbaik, kita hanya bisa mengukur seberapa
pintar ia dalam kondisi-kondisi yang nyata ada.”
Potensi manusia
manusia jauh lebih besar dari pada wujud yang dimanfaatkan. Ini
disebabkan manusia sebenarnya, seperti jembatan yang dibangun oleh para insinyur,
mempunya kapasitas yang jauh lebih besar dibanding kekutan yang harus
ditopangnya. Dengan demikian potensi manusia menurut psikologi humanistik
adalah sejumlah unsur yang terdapat dalamdirimanusia yang dapat dioptimalakan
fungsinya, dan ptensi tersebut tidak sama dengan makhluklainnya atau yang
membedakannya dari makhluk lain terutama hewan.[4]
B. Istilah Manusia dalam Al-Qur’an
Manusia menurut
Al-Qur’an dimaknai dengan menggunakan beberapa istilah, yaitu Bani (Banu) adam
atau Dzurriyat Adam (keturunan, anak Cucu Adam), al-insan, al-ins, an-nas, atau
unas atau al-basyar. Sejalan dengan fungsinya sebagai khalifah dimuka bumi ini,
manusia dibekali
dengan berbagai instrumen sebagai modal dasar dalam menjalankan tugas
kekhalifahan. Pada sisi ini manusia berbeda dengan hewan sehingga dalam
perspektif Islam manusia tidak menjadi objek selayaknya hewan.
Manusia disebut sebagai
bani Adam karena dia menunjukkan asal usul yang bermula dari nabi Adam as
sehingga dia tahu dan sadar akan jati dirinya. Misalnya, darimana ia berasal,
untuk apa ia hidup, dan kemana dia akan kembali. Penggunaan istilah bani Adam
menunjukkan bahwa manusia bukan hasil dari evolusi makhluk anthropus (sejenis
kera).
Abdurrahman An-Nahlawi
mengatakan manusia menurut pandangan islam meliputi:
1. Manusia
sebagai makhluk yang dimuliakan, artinya Islam tidak memposisikan manusia dalam
kehinaan, kerendahan atau tidak berharga seperti binatanag, benda mati atau
makhluk lainnya ( QS. Al-Isro:70 dan al Hajj: 65)
2. Manusia
sebagai makhluk istimewa dan terpilih. Salah satu anugrah Allah SWT yang
diberikan kepada manusia adalah menjadikan manusia mampu membedakan kebaikkan
dan kejahatan atau kedurhakaan dari ketakwaan
Manusia diciptakan oleh
Allah dengan segala kesempurnaannya. Manusia diberi akal pikiran sehingga
dengan akal tersebut mereka dapat berpikir. Dengan berpikir, manusia mampu
mengajukan pertanyaan serta memecahkan masalah. Dengan adanya akal pula,
manusia berbeda dari makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. Islam mendorong
manusia agar menggunakan potensi yang dimiliki secara seimbang. Akal yang
berlebihan mendorong manusia pada kemajuan materiil yang hebat, namun mengalami
kekosongan dalam hal ruhaniyah, sehingga manusia terjebak dalam segala
kesombongan yang merusak dirinya sendiri.
Dalam menggunakan
potensi-potensinya, manusia harus menjadi makhluk psiko-fisik, berbudaya, dan
beragama untuk tetap mempertahankan kapasitas dirinya sebagai makhluk yang
paling mulia. Al-Quran menegaskan kualitas dan nilai manusia dengan menggunakan
tiga macam istilah yang saling berhubungan satu sama lain, yaitu al-insan,
an-nas, al-basyar, dan bani Adam.[5]
Manusia dalam persepektif islam berbeda dengan konsep
manusia dalam pandangan agama-agama selain islam. al-qur’an telah mengungkapkan
dan menjelaskan istilah-istilah menusia, yaitu:
1. Al-Insan
dan al-Nas
Kata al-insan, berakar
kata uns yang berarti jinak dan harmonis. Kata insan ini tampak sebagai Iawan
dari makna ”binatang liar”. Kata insan digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk
kepada manusia dengan segala totalitasnya, jiwa, dan raga. Manusia berbeda
dengan binatang. Manusia memiliki rasa malu, jika melanggar aturan. Manusia
adalah makhluk terhormat dan mulia.
Kata
insan disebut sebanyak 65 kali dipakai untuk sebutan manusia tunggal
(individu), sedangkan kata al-nas disebut 241 kali untuk sebutan manusia jamak
(sosial). Pemakaian kata insan ditujukan kepada seluruh manusia secara individu
menyangkut dimensi karakter, seperti menerima pelajaran dari Tuhan, (QS Al-Alaq
[95]: 4), amanat yang dipikul dari Tuhan, (QS Al-Ahzab [33]: 72); waktu yang
harus digunakan supaya tidak merugi (QS.Al-’Ashr [103]: 2); balasan dari apa
yang dikerjakannya (QS An-Najm [53]: 39; An-Naazi’aat [79]: 35), musuh yang
nyata dengan setan (QS AI-Anbiyaa’ [21]: 5; AI-Israa’ [17]: 53); sopan santun
dan etika (QS Al-Ankabut [29]: 8; Luqman [31]: 14; Al-Ahqaf [46]: 15).
Manusia
menerima pelajaran dari Allah Ta’ala sehingga memiliki ilmu pengetahuan yang
luas. Dengan ilmu pengetahuan manusia menjadi tinggi derajatnya; manusia dapat
mengatasi masalah hidup dengan baik. Segala fenomena dan kejadian ditampakkan
oleh Allah Swt. untuk menjadi pelajaran bagi manusia. Dalam setiap kejadian
sekecil apa pun terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal. Itulah
al-Insml namanya.
Manusia
yang baik adalah manusia yang amanah. Amanah pertama adalah amanah iman yang
pernah diberikan oleh Allah Swt. ketika'di alam roh dalam perjanjian
primordial. Amanah iman harus dijaga agar tidak kotor bercampur dengan
kemusyrikan. Iman yang bersih adalah iman yang sesuai dengan rukun iman, jangan
dicampurkan dengan bentuk-bentuk kepercayaan yang tumbuh dalam tradisi. Amanah
kedun adalah amanah Islam yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad Saw. Islam
yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. tidak boleh dinodai dengan label-label
yang memecah kesatuan Islam. Label organisasi sering kali menodai amanah Islam,
sehingga masing-masing organisasi terpecah belah. Umat menjadi terpecah-pecah
oleh label-label organisasi Islam baik ormas (organisasi massa) maupun orsospol
(organisasi sosial politik). Setiap organisasi memiliki pemimpin, namun tidak
amanah Islam. Amanah ketign adalah amanah umur yang diberikan Allah Swt. kepada
manusia, sehingga dengan umur mendapat kesempatan untuk beribadah dan menikmati
nikmatnya dunia. Umur berkaitan dengan masa muda, masa sehat, dan masa lapang.
Manusia harus memanfaatkan masa muda sebelum tua dengah tenaga, pikiran, dan
jiwa muda dalam membangun peradaban sehingga menjadi bangsa yang maju. Manusia
hams memanfaatkan masa sehat sebelum sakit dengan cara melakukan
pekerjaan-pekerjaan panting. Manusia hams memanfaatkan masa lapang sebelum
merasakan sesak dan sempitnya diri karena dililit oleh berbagai masalah. Harta
yang dimiliki sebagai amanah hams dijaga agar benar-benar digunakan pada jalan
yang diridai Allah Ta’ala.
Istilah nl-nas, berkaitan dengan interaksi
kehidupan manusia yang bersifat kolektif, seperti: kepemimpinan (QS Al-Baqarah
[2]:124), perubahan sosial (QS Ali-Imran [3]:140; Al-Anfal [81:26), dan
perubahan alam (QS Al-Baqarah [2]:164). Manusia selalu
membutuhkan orang lain dalam berinteraksi, sehingga tercipta saling memberikan
manfaat antara satu dengan lainnya. Soal kepemimpinan harus profesional.
Manusia jangan sombong merasa berkuasa ketika diberi amanah pimpinan. Hakikat
jadi pemimpin adalah menjadi pelayan yang melayani kebutuhan rakyat dan/ atau
bawahannya. Setiap manusia adalah pemimpin yang akan dimintai
pertanggungjawabannya oleh Allah Ta’ala. Jadilah pemimpin (khalifah) yang
amanah sebagai al-nas yang digambarkan oleh Allah Swt. dalam Al-Qur’an.
Umat
Islam sebagai hamba Allah yang taat pada ajaran agama harus menjadi pemimpin.
Sebab, kepemimpinan yang tidak berdasarkan pada agama akan menimbulkan
kebohongan publik. Kebohongan publik semata-mata demi mempertahankan kekuasaan.
Kekuasaan dipertahankan dengan menghalalkan berbagai cara. Hal ini tidak ada
manfaatnya bagi hamba Allah yang saleh, meraih dunia dengan cara mengorbankan
agama.
Manusia
sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qut’an dapat melakukan perubahan sosial dan
perubahan alam. Perubahan suatu bangsa adalah karena bangsa yang mau berubah.
Perubahan itu pasti adanya, sehingga tidak ada yang tetap kecuali perubahan itu sendiri.
Namun yang penting dipahami adalah bahwa perubahan harus selalu menuju ke
posisi yang lebih baik. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan esok
lebih baik daripada har ini. Manusia menurut Al-Qur’an maupun hadis-hadis dapat
melakukan perubahan posisi dan alam.
2. Al-Basyar
Al-anyar adalah
gambaran manusia secara materi yang dapat dilihat, makan dan minum, berjalan
dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Atau berarti menampakkan
sesuatu dengan baik dan indah. Kata bnsynr diulang dalam Al-Qur’an sebanyak 36
kali, dipakai untuk menyebut manusia dalam kaitannya dengan aspek-aspek
jasmaniah. ”Dan ingntlah, ketika Rab-mu berfirman kepnda para malaikat.
Sesungguhnyn aku akan menciptakan manusia drm' tanah liat kering (yang bemsal)
dari lumpur hitnm yang diberi bentuk.” (Q5. Al-Hijr [15]: 28, Q5 Al-Nali [16]:
103, QS Al-Isra [17]: 93, Q5 Maryam [19]: 26).
Menurut Asy-Syathi, pemakaian kata bnsyar di seluruh isi
Al-Qur’ an memberikan pengertian bahwa yang dimaksud adalah anak Adam yang
biasa makan, minum, dan berjalan di pasar-pasar yang saling bertemu atas dasar
persamaan.3 Nabi Muhammad Saw., dalam Al-Qur’an juga disebut nl-bnsyar
(manusia) seperti kita, hanya saja beliau menerima wahyu dari Allah Ta’ala, (QS
Al-Kahfi [18]: 110). Dalam konteks ini: al-basyar adalah
manusia berdimensi biologis, yang banyak dikaji oleh ilmu biologi dan
kedokteran. Hasilnya dapat dimanfaatkan oleh manusia sendiri.
3. Bani Adam
Bani adam artinya keturunan Adam yang menunjukkan manusia
dilihat dari sudut keturunanya. Manusai keturunan nabii Adam a.s. jika ada yang
mengaku bukan keturunan dari nabi Adam a.s berarti bukan manusia. Oleh karena
itu, bagi umat beragama (islam) tidak perlu memperdebatkan teori-teori yang
mengaku ilmiah tentang asal-usul manusia berasal bukan dari Nabi Adam a.s.
Sebegian
ahli memahami bahwa sebelum nabi Adam a.s sudah ada makhluk sejenis manusia.
Hal ini dapat dipahami berdasarkan Al-Qur’an tentang dialog para malaikat bahwa
akan dijadikan khalifah di muka bumi ini. Para malaikat bertanya tetang
kelayakan adam untuk menjadi khalifah. Hal ini dipahami oleh sebagian ahli
bahwa para malaikat sudah memiliki pengalaman tentang makhluk-makhluk
sebelumnya. Walaupun, pada akhirnya Allah Ta’ala tetap sesuai dengan desainnya
bahwa Adam layak menjadi para malaikat. Dengan demikian. Dapat dibenarkan
adanya makhluk sebelum Nabi Adam a.s menjadi khalifah.
Para
mufassir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “khalifah” tersebut diatas
adalah “Adam”. Akan tetapi, para pakar bahasa berpandapat bahwa “khalifah”
dalam pandangan mereka berasal dari kata (khalafa) artinya belakang. Namun
demikian, kata “khalifah” menurut mereka tidak selamanya diartikan dengan
belakang, tapi juga diterjemahkan dengan pengganti.
Kata
“pengganti” dapat dipahami dengan menggantikan atau menempati posisi yang telah
ditinggalkan orang sebelumnya. Orang yang menggantikan biasanya datang
belakangan. Jadi, pengganti adalah orang yang datang kemudian atau belakangan.
Demikian gambaran pengertian dalam arti pengganti. Al-Raghib al-Isfahani dalam
mufrodat fi Gharib Al-Qur’an sebagaimana dikutif oleh M.Quraish Shihab
mengatakan kata khalifah atau pengganti adalah menggantikan orang lain untuk
melaksanakan suatu tugas atas naama yang digantikan, baik bersama yang
digantikannya maupun sesudahnya.
Nabi
Adam sebagai manusia pertamaa dan kita merupakan keturunan Nabi Adam tetap
dapat dibenarkan, yaitu bahwa manusia sekarang yang hidup dan ada merupakan
keturuan Nabi Adam a.s. Hal ini pun berdasarkan firman-firman Allah dalam
Al-Qur’an. Walaupun ada mahkluk lain sebelum Nabi Adam, tidak berarti manusia
sekarang ini keturunan dari makhluk sebelumnya tersebut. hal itu berkaitan
dengan periodisasi kehidupan di alam semesta ini. Kelak setelah terjadi hari
kiamat pun, akan ada kehidupan makhluk Allah yang baru dengan segala hukum dan
aturan yang baru.”Tidaklah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah telah
menciptakan langit dan bumi dengan hak ? jika dia menghendaki, niscaya Dia
membinasakan kamu dan mengganti (mu) dengan makluk yang baru”. Akan tetapi, hal
ini bukan untuk generasi manusia yang ada sekarang. Hal ini akan dibatasi
dengan apa yang disebut hari kiamat, akhir kehidupan semua mahkluk yang ada.
Kewajiban manusia sekarang adalah menjalankan aturan-aturan yang berlaku
sekarang yang telah disampaikan oleh para Nabi dan Rasul Allah Muhammad SAW.
Allah
Swt. berfirman, ”Dan seszmgguhnya Kami telah memuliakun annk-anak Adam
(manusia). Kasmi angkat mereka di damtan dun di lautan. Kami beri mereku dari
rezeki yang buik~baik dun Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempuma
atas kebanyakan makhluk yang telnh Kami ciptakan.” (QS Al-Isra. [17]: 61, 70).
Semua
agama sepakat bahwa manusia yang pertama adalah Adam. Pernyataan tersebut dalam
agama Yahudi dan Nasrani atau Kristen dapat ditemukan dalam kitab suci mereka
yakni dalam ”Biblia” atau sering disebut ”al-Kitab”. Al-Kitab dalam agama
Kristen populer dengan sebutan ”Old Testament” yaitu Perjanjian Lama. Dalam
kitab tersebut yaitu pada Kitab Kejadian (Genesis) mulai dari Pasa] I sampai
Pasal X, diterangkan tentang cerita kejadian alam semesta, kejadian Adam dan
Hawa serta kisah keturunan Adam hingga Nuh yang dilanda angin Topan Besar
(Great Deluge) yang berakhir dengan hancurnya semua pada waktu itu kecuali Nabi
Nuh, keluarga dan pengikutnya yang setia dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi
Nuh. Dalam kitab tersebut juga diinformasikan secara detail turunan Adam sampai
kepada N uh.
Agama Islam mengajarkan
bahwa manusia yang pertama adalah ”Adam”. Adam merupakan khalifah di muka bumi
ini. Firman Allah Swt dalam surah
Al-Baqarah (2):30
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirnmn kepada para
mnlaiknt: "Seszmgguhnya Aku hendak menjadikan seomng klmlifnh di muka bumi”. Mereka berkata: “mengapa engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan
mengucikan-Mu ?”Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui “ (QS.Al-Baqarah
(2):30.
Para
Mufassirin (pakar tafsir Al-Qur’an) seperti ibnu Katsir, al-Qurthubi, dan
al-Maraghi mengatakan yang dimaksud dengan “khalifah” dalam ayat tersebut
adalah “Adam” menurut mufassirin tersebut, Adamlah manusia yang pertama sekali
dijadikan Allah SWT, diatas bumi ini. Dan Adam pula manusia yang petama kali
diamanahi oleh Allah untuk mengelola, mengatur dan menata bumi ini dengan
sebaik-baiknya. Bahkan adam bukan hanya manusia yang pertama, tetapi dia nuga
merupakan utusan atau Rasul dan Nabi yaang pertama klai yang membawa ajaran
untuk mentauhidkan (meng-Esa-kan) Allah. Pernyataan tersebut didasari kepada
ucapan Nabi Saw., dalam sebuah sabdanya sebagai berikut:”Adam merupakan Rasul
yang pertama dari sekalian Rasul dan Muhammad adalah Rasul yang terahir dari
semua Rasul” (HR. Al-Hakim dari Abu dzar).[6]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Aliran humanisme
memandang bahwa “ manusia adalah mahluk yang mulia, yang semua kebutuhan pokok
diperuntukkan untuk memperbaiki spisiesnya. Aliran ini terdapat asas-asas
penting mengenai manusia sebagai berikut:
1.
Manusia adalah
mahkluk yang memiliki kehendak bebas.
2.
Manusia adalah
mahkluk yang sadar atau berfikir.
3.
Manusia adalah
mahkluk yang mempunyai cita-cita dan merindukan sesuatu ideal.
4.
Manusia adalah
mahkluk yang kreatif.
5.
Manusia adalah
mahkluk yang bermoral.
6.
Manusia adalah
mahkluk yang sadar akan dirinya sendiri.
7.
Manusia adalah mahkluk yang
memiliki esensi kesucian
Mazhab
prikologi ini tidak memusatkan perhatian untuk mencari sebab mengapa seseorang
berprestasi rendah, tetapi perhatian diarahkan pada cara - cara meningkatkan
prestasi dengan memanfaatkan potensi manusiawi yang dimiliki setiap orang.
Manusia menurut
Al-Qur’an dimaknai dengan menggunakan beberapa istilah, yaitu Bani (Banu) adam
atau Dzurriyat Adam (keturunan, anak Cucu Adam), al-insan, al-ins, an-nas, atau
unas atau al-basyar. Sejalan dengan fungsinya sebagai khalifah dimuka bumi ini,
manusia dibekali
dengan berbagai instrumen sebagai modal dasar dalam menjalankan tugas
kekhalifahan. Pada sisi ini manusia berbeda dengan hewan sehingga dalam
perspektif Islam manusia tidak menjadi objek selayaknya hewan.
DAFTAR
PUSTAKA
Bakhtiar,Amsal. 2007. Filsafat Agama Wisata Pemikiran
dan Kepercayaan Manusia.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Makbuloh,
Deden.2011.Pendidikan Agama Islam Arah
Baru dan Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nurhilaliati.
2011. pendidikan islam, dan psikologi
humanistik relasi atau negasi ?.Mataram : Alam Tara institute.
[1]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama Wisata
Pemikiran dan Kepercayaan Manusia ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007)
h.145
[4] Nurhilaliati, pendidikan islam,
dan psikologi humanistik relasi atau negasi ?, (Mataram : Alam Tara institute,
2011), h. 100-103
[6]
Deden Makbuloh, Pendidikan Agama
Islam Arah Baru dan Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di Perguruan Tinggi, (
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011) h.42
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan baik, bijak dan konstruktif !