Langsung ke konten utama

Apa Yang dapat diketahui Oleh wahyu Pada Aliran Asy’ariyah

Apa Yang dapat diketahui Oleh wahyu Pada Aliran Asy’ariyah
           

           
Dalam pemahaman Mu’tadzilah dan Asy’ariyah bahwa akal dan wahyu sama-sama penting bagi kedua aliran ini. Tetapi memiliki sisi perbedaan persoalan yang  timbul dari akal dan wahyu antara perbuatan baik dan buruk manusia dan perbuatan tuhan. Sehingga pada aliran As’ariyah lebih mengutamakan Wahyu daripada Akal.[1]
    Dengan diciptakannya manusia Oleh Allah SWT dan Belas Kasihan Allah atas keterbatasan akal Manusia sehingga Allah menurunkan Wahyu yang dapat memberikan Informasi atau petunjuk yang dapat memberikan pemahaman dan tuntunan dalam kehidupan Manusia Melalui nabi-nabi dan rasul-Nya Seperti Al-Qur’an dan Al-Hadits.  
    Dari aliran Asy’ariyah memiliki pandangan yang sebagian menolak dari pendapat kaum Mu’tadzilah, dimana menurut Asy’ariyah segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu.[2] Contohnya : Seperti Sholat, Puasa, Haji dan Lainnya.
      Perintah Sholat Dalam Qs. Al-Isra’ Ayat 78 yang artinya : “ dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).
Ayat 79 yang Artinya: “dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji”. Ayat ini menerangkan waktu-waktu shalat yang lima. tergelincir matahari untuk waktu shalat Zhuhur dan Ashar, gelap malam untuk waktu Magrib dan Isya.
 
            Dalam hal di atas kita tidak bisa mengetahuinya secara akal. Tanpa adanya wahyu dan jikalau kita menalarkannya dengan akal maka tidak akan sampainya akal kita untuk menjawabnya, seperti apa itu Sholat? Bagaimana cara Sholat? dan lain sebagainya, sehingga disinilah kita harus menggunakan wahyu menurut Asy’ariyah untuk menjawab hal tersebut dan dengan wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui tuhan dan berterimakasih kepada-Nya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak patuh kepada-Nya akan mendapatkan hukuman.

 

            Didalam Kitab Al-Luma’ al-Asy’ariyah menulis  “ jika seseorang mengatakan : “Berdusta adalah jahat karena tuhan menentukan demikian, kita akan jelaskan kepadanya: “ Tentu saja, dan jika tuhan sekiranya menyatakan perbuatan itu baik, maka itu mestilah baik, dan jika itu ia wajibkan , tidak ada orang yang dapat menentangnya.” Jelas bahwa uraian Asy’ari yang ringkas ini mengandung arti bahwa kebaikan dan keburukan hanya dapat diketahui dengan wahyu dan wahyulah yang dapat menjelaskan kedua itu.

 

    Bagi kaum Asy'ariah wahyu mempunyai kedudukan yang sangat penting. Manusia mengetahui baik dan buruk dan mengetahui kewajiban-kewajibannya hanya karena turunnya wahyu. Dengan demikian jika sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan tahu kewajiban-kewajibannya. Sekiranya syariat tidak ada, kata al-Ghazali, manusia tidak akan berkewajiban mengetahui Tuhan dan tidak akan berkewajiban berterima kasih kepada-Nya atas nikmat-nikmat yang diturunkan-Nya kepada manusia. Demikian juga soal baik dan buruk. Kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan buruk, diketahui dari perintah-perintah dari larangan-larangan Tuhan. Segala kewajiban dan larangan, kata al-Baghdadi, diketahui melalui wahyu. Sekiranya tidak ada wahyu, tak ada kewajiban dan tak ada larangan bagi manusia.

 

    Jelas bahwa dalam pendapat aliran Asy’ariah wahyu mempunyai fungsi yang banyak sekali. Wahyu menentukan boleh dikata segala hal. Sekiranya wahyu tak ada, manusia akan bebas berbuat apa saja yang dikehendakinya, dan sebagai akibatnya masyarakat akan berada dalam kekacauan. Wahyu perlu untuk mengatur masyarakat manusia dan memang demikian pendapat kaum Asyiariah. Salah satu fungsi wahyu, kata al-Dawwani, ialah “memberi tuntunan kepada manusia Untuk mengatur hidupnya di dunia.”

 

     Oleh karena itu pengiriman Rasul-rasul dalam teologi Asy'ariah seharusnya merupakan suatu kemestian dan bukan hanya suatu hal yang boleh terjadi (ja 'iz) sebagaimana ditegaskan al-Ghazali?” dan al-Syahrastani.

 

           



[1] Abdul Rozak Dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam Edisi Revisi,  ( Bandung: Cv. Pustaka Setia, 2013 ). Cet. 5 hlm. 149

[2] Harun Nasution, Teologi Islam, ( Jakarta : UI-Pres, 2015 ). Hlm. 83

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Subjek dan Objek Evaluasi Pendidikan

PENDAHULUAN A.     Latar Belakang      Setiap usaha atau kegiatan yang telah dilakukan sebaiknya diikuti dengan tindak lanjut, atau kegiatan evaluasi, terutama pada dunia pendidikan. Menurut UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peseta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam dunia pendidikan evaluasi ini sangat penting utuk dilakukan agar kegiatan baru yang akan dilakukan bisa berjalan lancar tanpa mengulangi kesalahan yang pernah terjadi atau sesuai dengan tujuan pendidikan. Evaluasi dalam kegiatan belajar mengajar atau pengajaran adalah penilaian/penaksiran terhadap pertumbuhan dan kemajuan peserta didik ke arah tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam hukum. Hasil p

Jarimah Hudud dan Macam-Macamnya

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang bahaya bagi agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal. Sebagian fuqaha menggunakan kata jinayah untuk perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan sebagainya. Dengan demikian istilah fiqh jinayah sama dengan hukum pidana. Untuk mempersempit pembahasan maka disisni pemakalah hanya akan membahas masalah yang berkenan dengan hudud Jarimah hudud adalah tindak pidana yang diancam hukuman had, yakni hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlah (berat-ringan) sanksinya yang menjadi hak Allah SWT, dan tidak dapat diganti dengan macam hukuman lain atau dibatalkan sama sekali oleh manusia. Ada tujuh macam perbuatan jarimah hudud yaitu, zina, menuduh orang lain berbuat zina (qazaf), meminum minuman keras, mencuri, menggangu keamanan (hirabah), murtad, dan pemberontakan (al-bagyu). Adapun jarimah ta’zir Secara bahasa ta’zir merupakan mashdar (kata dasar) dari ‘azzaro yang berarti menolak dan mencegah keja

Pengertian Metodik Khusus PAI

PENDAHULUAN            A.     Latar Belakang Guru akan menunaikan tugasnya dengan baik atau dapat bertindak sebagai tenaga pengajar yang efektif, jika padanya terdapat berbagai kompetensi keguruan, dan melaksanakan fungsinya sebagai guru. Dalam proses pembelajaran seorang guru membutuhkan metode yang tepat dalam proses belajar mengajar agar mempermudah dalam menyampaikan materi pembelajaran kepada seorang siswa dan tercapainya tujuan belajar yang efektif. Begitu juga dalam proses pembelajaran agama Islam yang memerlukan metodik khusus untuk penyampaian materi belajar tertentu dalam Pendidikan Agama Islam agar siswa dapat mengetahui, memahami, mempergunakan, dengan kata lain dapat menguasai materi pembelajaran dengan cepat. Dalam hal ini kami ingin memaparkan pengertian Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam, ruang lingkup, tujuan dan manfaatnya dalam pendidikan agama Islam. Adapun tujuan dari penilisan makalah ini adalah untuk  mengetahui pengertian MKPAI, u ntuk mengetahui r