PENDAHULUAN
Seperti kita ketahui, pada
prinsipnya Al-Qur’an merupakan norma-norma dasar. Oleh karena itu, dalam
menentukan hukuman, Al-Qur’an memberikan pola dasar yang umum. Karena bukan
merupakan kitab hukum, AL-Qur’an tidak merinci bentuk-bentuk perilaku kejahatan
serta rincian hukumannya. Pemberian pola dasar yng bersifat umum tersebut
memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk menyesuaikan dengan situasi dan
kondisi masyarakat tersebut. Masyarakat diberi kesempatan mengurus
kepentingannya untuk menciptakan dan mengadakan hukuman yang sesuai dengan
kepentingan masing-masing. Namun demikian, syari’at dalam hal ini menentukan
beberapa jenis perbuatan tertentu yang dianggap sebagai kejahatan. Jenis-jenis kejahatan yang telah ditentukan syari’at
berikut hukumannya itu pada prinsipnya adalah apa yang dikehendaki syari’at
dalam pemeliharaan dan keharusan keberadaannya yang sifatnya sangat urgen.
Kelonggaran Dalam keberadaan jenis-jenis kejahatan tersebut berakibat sangat
fatal bagi kehidupan kemanusiaan. Hal-hal yang sangat dharury itu ditujukan
untuk pemeliharaan terhadap jiwa, akal pikiran, agama harta, dan keturunan.
Semua jenis kejahatan yang telah ditentukan mencerminkan tujuan-tujuan dan
konsistensi syari’at dalam mewujudkan kelestarian lima hal tersebut. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian jarimah ta’zir, untuk mengetahui dasar hukum disyariatkannya jarimah ta’zir, untuk mengetahui hukum sanksi jarimah takzir, untuk mengetahui syarat-syarat sanksi jarimah ta’zir dan tujuannya dan untuk mengetahui macam-macam Sanksi
jarimah ta’zir.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Jarimah Takzir
Takzir
adalah bentuk mashdar dari kata عَزَرَ-يَعْزِرُ yang secara etimologis
berarti الرَّدُّ
وَالمَنْعُ, yaitu menolak dan
mencegah.[1]
Kata ini juga memiliki arti نَصَرَهُ
menolong atau menguatkan. Hal ini seperti
dalam firman Allah Swt berikut.
لِتُوءْمِنُوابِاآلَّلهِ وَرَسُولِهِ،وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَ قِّرُوهُ
بُكْرَةً وَأَ صِيْلاً
Artinya: Supaya kamu sekalian
beriman kepada Allah dan Rasulnya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya, dan
bertasbih kepadanya di waktu pagoi dan petang. (QS. Al-Fath (48:9)
Kata ta’zir dalam ayat ini juga
beararti عَظَّمَهُ وَوَقَّرَهُ
وَأَعَانَهُ وَقَوَاهُ , yaitu membesarkan, memperhatikan,
membantu, dan menguatkan (agama Allah). Sementara it, Al-fayumi dalam Al-misbah
Al Munir mengatkan bahwa Takzir adalah pengajran dan tidak termasuk ke dalam
kelompok had.[2]
Adapun definisi dari takzir itu sendiri menurut para fukaha diantaranya adalah
sebagai berikut
1.
Dalam Jarimah Al-Risyah fi Al-Syari’ah Al-Islamiyah Abdullh bin
Abdul Muhsin Al-Thariqi mengatakan bahwa Ta’zir ialah sanksi hukum yang wajib
diberlakukan sebagai hak Allah atau hak manusia karena melakukan
kemaksiatanyang tidak ada sanksi dan kafaratnya.
2.
Abu Zahrah dalam kitab Al-Jarimah wa Al-Uqubah fi Fiqh Al-Islami .
Ta’zir ialah sanski-sanksi hukum yang mampu menggali hukum, sebagaimana
perkara-perkara yang ditangani oleh hakim-hakim periode awal, seperti Abu Musa
Al-Asy’ari,Syuraih,Ibnu Abi Laila, Ibnu Syibrimah dan lain sebagainya.
3.
Menurut Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam Al-Sultaniyah, takzir ialah
pengajaran(terhadap pelaku) dosa-dosa yang tidak diatur hudud. Status hukumnya
berbeda-beda sesuai dengan keadaan dosa dan pelakunya. Ta’zir sama dengan hudud
dari satu sisi, yaitu sebagai pengajaran (untuk menciptakan) kesejahteraan dan
untuk melaksanakan ancaman-ancaman yang jenis lainnya berbeda-beda sesuai
dengan dosa yang dikerjakan.[3]
4.
Abdul Aziz Amir dalam Al-ta’zir fi Al-Syari’ah Al-Islamiyah, Ta’zir
ialah sanksi yang tidak ada ketentuannya. Hukumnya wajib sevagai hak Allah atau
manusia karena melakukan kemaksiatan yang tidk termasuk ke dalam sanksi had dan
kafarat. Ta’zir sama dengan hudud dalam hal fungsi, yaitu sebagai pengajran
untuk menciptakan kesejahteraan dan sebagai ancaman.[4]
5.
Abdul Qadir Audah dalam Al-Tasyri Al-Jina’i Al-Islami Muqaranam bi
Al-Qanun Al-wad’i. Ta’zir ialah pengajaran yang tidak diatur oleh hudud dan
merupakan jenis sanksi yang diberlakukan karena melakukan beberapa tindak
pidana yang oleh syariat tidak ditentukan dengan sebuah sanksi hukuman
tertentu.[5]
Dari uraian di atas, dapat kami
simpulkan bahwa ta’zir ialah sanksi yang diberlakukan kepada pelaku jarimah
yang melakukan pelanggaran baik berkaitan dengan hak Allah maupun hak manusia
secara individu dan tidak termasuk ke dalam kategori hukuman hudud atau
kafarat.Karena ta’zir tidak ditentukan secsra langsung oleh Alquran dan hadis,
maka ini menjadi kompetensi penguasa setempat.
B.
Dasar Hukum disyariatkannya Jarimah Ta’zir
Pada jarimah ta’zir al-Qur’an dan
al-Hadits tidak menerapkan secara terperinci, baik dari segi bentuk jarimah
maupun hukumannya.[6]
Dasar hukum disyariatkannya sanksi bagi pelaku jarimah ta’zir adalah at-ta’zir
yadurru ma’a mashlahah artinya, hukum ta’zir didasarkan pada pertimbangan
kemashlahatan dengan tetap mengacu kepada prinsip keadilan dalam masyarakat.[7] Menurut
Syarbini al-Khatib, bahwa ayat al-Qur’an yang dijadikan landasan adanya jarimah
ta’zir adalah Qur’an surat al Fath ayat 8-9 yang artinya :
“Sesungguhnya kami mengutus kamu sebagai
saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Supaya kamu sekalian
beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya,
dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang”.
Adapun Hadits
yang dijadikan dasar adanya jarimah ta’zir adalah sebagai berikut :
1.
Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim yang artinya “
Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi SAW menahan
seseorang karena disangka melakukan kejahatan.
2.
Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abi Burdah yang artinya “Dari
Abu Burdah Al-Anshari RA. Bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda :Tidak
boleh dijilid diatas sepuluh cambuk kecuali didalam hukuman yang telah
ditentukan oleh Allah ta’ala (Muttafaqun Alaih)”.
3.
Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah yang artinya dari Aisyah
Ra. Bahwa nabi bersabda ‘’Ringankanlah hukuman bagi orang-orang yang tidak
pernah melakukan kejahatan atas perbuatan mereka, kecuali dalam jarimah-jarimah
hudud”.
Secara umum ketiga hadits tersebut
menjelaskan tentang eksistensi ta’zir dalam syariat Islam.Hadits pertama
menjelaskan tentang tindakan Nabi yang menahan seseorang yang diduga melakukan
tindak pidana dengan tujuan untuk memudahkan boleh lebih dari sepuluh cambukan
untuk membedakan dengan jarimah hudud. Dengan batas hukuman ini dapatlah
diketahui mana yang termasuk jarimah hudud dan mana yang termasuk jarimah
ta’zir.[8]
C.
Hukum sanksi takzir
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum sanksi
takzir diantaranya yaitu
1. Menurut golongan Malikiyah dan Hanabillah, ta’zir hukumnya wajib
sebagaimana hudud karna merupakan teguran yang disyariatkan untuk menegakkan
hukum Allah dan seseorang kepala negaraatau kepala daerah tidak boleh
mengabaikannya.
2. Menurut mazhab Syafii, ta’zir hukumnya tidak
wajib. Seseorang kepala negara atau kepala daerah boleh meninggalkannya jika
hukum itu tidak menyangkut hak adami.
3.
Menurut mazhab Hanafiyah ta’zir hukumnya wajib
apabila berkaitan dengan hak adami, tidak ada pemberian maaf dari hakim karena
hak hamba tidak dapat digugurkan, kecuali oleh yang memiliki hak itu. Adapun
jika berkenaan dengan hak Allah, keputusannya terserah hakim.[9]
Dari uraian di atas dapat kita pahami
bahwa ta’zir dilakukan untuk menegur atau memberikan pelajaran. Oleh karena
itu, keringanan dalam cambukan hanya terdapat pada jumlahnya, bukan
meniadakannya sama sekali.
D. Syarat-Syarat Sanksi Ta’zir dan Tujuannya
Adapun syarat-syarat sanksi takzir yaitu
1. Berakal sehat
2. Tidak ada perbedaan
laki-laki/perempuan/anak-anak atau kafir maupun muslim.
Jadi dapat kita pahami bahwa setiap orang yang
melakukan kemungkaran atau mengganggu pihak lain dengan alasan yang tidak
dibenarkan baik dengan perbuatan, ucapan, atau isyarat perlu diberi sanksi
ta’zir agar tidak mengulangi perbuatannya.
Sedangkan tujuan diberlakukannya sanksi ta’zir
adalah sebagai berikut
1. Preventif(pencegahan). Ditujukan bagi orang lain yang belum melakukan
jarimah.
2. Refresif (membuat pelaku jera). Dimaksudkan agar pelaku tidak mengulangi
perbuatan jarimah di kemudian hari.
3. Kuratif (islah), ta’zir harus mampu membawa perbaikan prilaku terpidana di
kemudian hari.
4. dukatif (pendidikan) diharapkan dapat mengubah pola hidupnya ke arah yang
lebih baik.
E.
Macam-macam Sanksi jarimah
Ta’zir
Adapun macam-macam sanksi jarimah ta’zir
itu sendiri dibagi menjadi beberapa bagian yaitu sanksi ta’zir yang berkaitan
dengan anggota badan, sanksi ta’zir yang berkaitan dengan kemerdekaan
seseorang, hukuman ta’zir yang berkaitan dengan harta, dan sanksi ta’zir
lainnya.
1.
Sanksi ta’zir yang berkaitan dengan badan
Adapun sanksi
yang berkaitan dengan anggota badan, dibedakan menjadi dua yaitu:
a.
Hukuman mati
Ulama yang
membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir beralsan dengan hal-hal sebagai
berikut:
1. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad Al-Dailami Al-Hamiri ia
menceritakan, saya berkata kepada rasulullah SAW ‘’ya
rasulullah kami berada di suatu daerah untuk melepaskan suatu tugas yang
beratdan kami membuat minuman dari perasan gandum untuk kekeuatan akmi dalam
melaksanakan pekerjaan yang berat itu, Rasulillah bertanya apakah minuman itu
memabukkan? Saya menjawab,
‘’ya’’ Nabi berturtur, kalau demikian jauhilah, saya berujar, akan tetapi,
orang-orang tidak meninggalkannya.rasulullahbersabda, apabila tidak mau
meninggalkannya, perangilah mereka
2.
Orang yang melakukan kerusakan di muka bumi
apabila tidak ada jalan lain lagi, boleh dihukum mati.
3.
Hadits yang menunjukkan adanya humukan mati
selain hudud yaitu berdasarkan hadis nabi yang artinya jika ada seseorang yang
mendatangi kalian, ketika kalian berada dalam suatu kepemimpinan (yang sah)
lalu orang tersebut ingin merusak tongkat (persatuan) atau memecah belah
kalian, maka bunuhlah orang tersebut (HR. Muslim).[10]
Adapun menurut kalangan Hanafiyah membolehkan
kepada ulil amri untuk menerapkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam
jarimah-jarimah yang jenisnya diancam dengan hukuman mati apabila jarimah
tersebut dilakukan berulang-ulang. Contohnya pencurian yang berulang-ulang dan
menghina nabi beberapa kali yang dilakukan oleh kafir dzimmi, meskipun setelah
itu ia masuk islam.Malikiyah juga membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir untuk
jarimah ta’zir tertentu, seperti spionese dan melakukan kerusakan dimuka
bumi.Pendapat ini juga dikemukakan oleh sebagian fuqaha Hanabilah, Seperti Imam
ibn Uqail. Sedangkan Sebagian
fuqaha Syafi’iyah membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam kasus
penyebaran aliran-aliran sesat yang menyimpang dari ajaran al-qur’an dan
assunah. Hukuman mati bisa diterpkan
kepada pelaku homoseksual (liwath), peminum khamar untuk ke empat kalinya.[11]sedangkan Sebagian fuqaha Syafi’iyah membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir
dalam kasus penyebaran aliran-aliran sesat yang menyimpang dari ajaran Alquran
dan assunah. Demikian pula hukuman mati bisa diterapkan kepada pelaku untuk
jarimah ta’zir, hanya dilaksanakan dalam jarimah-jarimah yang sangat berat dan
berbahaya.[12]
Adapun syarat-syarat hukuman mati untuk jarimah ta’zir adalah sebagai
berikut
1. Jika terhukum adalah residivis di mana hukuman-hukuman sebelumnya tidak
memberi dampak apa-apa baginya.
2. Harus dipertimbangkan betul dampak kemaslahatan umat serta pencegahan
kerusakan yang menyebar di muka bumi.[13]
Dari uraian di atas dapat kami simpulkan bahwa
hukuman mati sebagai sanksi tertinggi hanya diberikan kepada pelaku jarimah
yang berbahaya sekali, berkaitan dengan jiwa, keamanan, dan ketertiban
masyarakat, di samping sanksi hudud tidak lagi memberi pengaruh baginya.
b. Hukuman cambuk
Hukuman jilid merupakan salah satu
hukuman pokok dalam hukum Islam dan hukuman yang ditetapkan untuk hukuman hudud
dan hukuman ta’zir. Dalam jarimah ta’zir , hukuman ini sebenarnya juga ditunjuk
Al-qur’an untuk mengatasi masalah kejahatan atau pelanggaran yang tidak ada sanksinya. Walaupun bentuk hukuman
jilid yang tercantum dalam surat An-Nisa’ :34 ditujukan pada tujuan ta’dib bagi istri yang melakukan
nusyuz kepada suaminya.adapun alat yang
digunakan untuk hukuman jilid yaitu cambuk yang sedang (tidak terlalu besar dan
tidak terlalu kecil) atau tongkat.[14]
Adapun mengenai jumlah maksimal hukuman cambuk dalam jarimah ta’zir,
ulama berbeda pendapat diantaranya yaitu
1. Mazhab hanafi berpendapat bahwa tidak boleh melampaui batas hukuman had.
Hal ini didasarkan pada hadis nabi yang artinya barang siapa yang melampaui
hukuman dalam hal selain hudud, maka ia termasuk melampaui batas (HR Al-Baihaqi
dari Nu’am bin Basyir dan Al-Dhahak)
2. Menurut Abu hanifah tidak boleh
lebih dari 39 kali, karena had bagi peminum khamr adalah dicambuk sebanyak 40
kali.
3. Abu yusuf berpendapat bahwa tidak boleh lebih 79 kali, karena had bagi
pelaku qadzf adalah dicambuk 80 kali.
4. Ulama malikiyah mengatakan bahwa sanksi ta’zir melebihi had selama
mengandung maslahat. Mereka berpedomaan pada keputusan umar bin Al-Khattab yang
mencambuk Ma’an bin Zaidah 100 kali karena memalsukan stempel baitul mal.
5. Ali pernah mencambuk peminum khamr pada siang hari di bulan ramadhan
sebanyak 80 kali dan ditambah 20 kali sebagai ta’zir.
Kemudian
pendapat ulama mengenai jumlah minimal cambukan dalam jarimah ta’zir adalah
sebagai berikut
1. Ulama Hanafiyah yaitu batas terendah ta’zir harus mampu memberi dampak
preventif dan represif.
2. Batas terendah satu kali cambukan.
3. Ibnu Qudamah berpendapat bahwa batas terendah tidak dapat ditentukan,
diserahkan kepada ijtihad hakim sesuai tindak pidana, waktu, dan
pelaksanaannya.
4. Pendapat Ibnu Qudamah lebih baik, tetapi perlu tambahan ketetapan ulil amri
sebagai pegangan semua hakim. Apabila telah ada ketetapan hakim, tidak ada lagi
perbedaan pendapat. Hal ini sesuai dengan kaidah yaitu ‘’keputusan hakim itu
meniadakan perbedaan pendapat’’.[15]
Adapun sifat dari hukuman
cambuk itu sendiri dalam jarimah ta’zir adalah untuk memberikan pelajaran dan
tidak boleh menimbulkan kerusakan,hukuman jilid tidak boleh sampai menimbulkan
cacat dan membahayakan organ-organ tubuh orang yang terhukum, apalagi sampai
membahayakan jiwanya, karena tujuannya adalah memberi pelajaran dan pendidikan
kepadanya. Oleh karena itu, pukulan atau cambukan tidak boleh diarahkan ke
muka, farji, dan kepala, melainkan diarahkan kebagian punggung.
2. Sanksi ta’zir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang
a. Hukuman penjara
Hukuman penjara dalam syari’at islam dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1)
Hukuman penjara yang dibatasi waktunya.
Hukuman penjara
terbatas adalah hukuman penjara yang lama waktunya dibatasi secara tegas.
Hukuman penjara terbatas ini diterapkan untuk jarimah penghinaan, penjual
khamar, pemakan riba, melanggar kehormatan bulan suci ramadan dengan berbuka
pada siang hari tanpa uzur, mengairi ladang dengan air dari saluran tetangga
tanpa izin, dan saksi palsu.
Adapun lamanya hukuman penjara ini
tidak ada batas yang pasti untuk dijadikan pedoman umum, dan hal tersebutt
diserahkan kepada ijtihad hakim dengan memperhatikan perbedaan kondisi jarimah,
pelaku, tempat, waktu, dan situasi ketika jarimah itu terjadi.
2)
Hukuman Penjara Yang Tidak Dibatasi Waktunya.
Hukuman
penjara tidak terbatas tidak dibatasi waktunya, melainkan berlangsung terus
sampai orang yang terhukum mati, atau sampai ia bertobat. Dalam istilah lain
bisa disebut hukuman penjara seumur hidup.
Hukuman penjara seumur hidup
dikenakan kepada penjahat yang sangat berbahaya, misalnya seorang yang menahan
orang lain untuk dibunuh oleh orang ketiga,
atau seperti orang yang mengikat orang lain, kemudian melemparkannya ke
depan seekor harimau. Menurut Imam Abu Yusuf, apabila orang tersebut mati
dimakan harimau maka pelaku dikenakan hukuman penjara seumur hidup (sampai ia
mati dipenjara).
b. Hukuman pengasingan
Hukuman pengasingan termasuk hukuman had yang
diterapkan untuk pelaku tindak pidana hirabah (perampokan) berdasarkan surat Al-Maidah
ayat 33 yang artinya ‘’Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasulnya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah mereka
dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal-balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya)’’. (QS. Al-Maidah : 33).
Meskipun hukuman pengasingan itu
merupakan hukuman had, namun dalam praktinya, hukuman tersebut diterapkan juga
sebagai hukuman ta’zir. Hukuman pengasingan ini dijatuhkan kepada pelaku
jarimah yang dikhawatirkan berpengaruh kepada orang lain sehingga pelakunya
harus dibuang (diasingkan) untuk menghindarkan pengaruh-pengaruh tersebut,
Diantaranya jarimah ta’zir yang dikenakan hukuman pengasingan (buang) adalah orang yang berperilaku waria,
yang pernah dilaksanakan oleh Nabi dengan mengasingkannya keluar dari madinah.
3. Hukuman Ta’zir yang Berkaitan dengan Harta
Para ulama berpendapat tentang
dibolehkannya hukuman ta’zir dengan cara mengambil harta. Pendapat ini di
bolehkan apabila dipandang membawa maslahat.Pengambilan harta ini bukan semata
untuk diri hakim atau untuk kas umum (Negara), melainkan hanya menahannya untuk
sementara waktu.Adapun apabila pelaku tidak bisa di harapkan untuk bertobat
maka hakim dapat men-tasarufkan harta tersebut untuk kepentingan yang
mengandung maslahat.
Imam Ibn Taimiyah membagi hukuman
ta’zir berupa harta ini kepada tiga bagian, dengan memperhatikan atsar
(pengaruhya) terhadap harta, yaitu:
a.
Menghancurkannya (Al-Itlaafu)
b.
Mengubahnya (At-Tauyiiru)
c.
Memilikinya (At-Tamliiku)
Penghancuran terhadap
barang sebagai hukuman ta’zir berlaku dalam barang-barang dan perbuatan/sifat
yang mungkar. Contohnya seperti:
a.
Penghancuran patung milik orang islam.
b.
Penghancuran alat-alat musik/permainan yang mengandung kemaksiatan.
c.
Penghancuran alat dan tempat minum khamr.
d.
Khalifah umar pernah menumpahkan susu yang bercampur dengan air
untuk dijual,karena apabila susu dicampur dengan air maka sulit mengetahui kadar
susu dari airnya.
Wujud dari pemilikan harta itu
adalah denda atau Gharamah. Hukuman
denda juga merupakan hukuman pokok yang berdiri sendiri dan dapat pula
digabungkan dengan hukum pokok lainnya.Seperti, penjatuhan hukuman denda
terhadap orang yang duduk-duduk dibar tempat minuman keras, atau denda terhadap
orang yang mencuri buah-buahan dari pohonnya. Penjatuhan hukuman denda
bersama-sama dengan hukuman yang lain bukan merupakan hal yang dilarang bagi
seorang hakim yang mengadili perkara jarimah ta’zir, karena hakim diberi
kebebasan yang penuh dalam dalam masalah ini.
Selain denda, hukuman ta’zir yang
berupa harta adalah penyitaan atau perampasan harta.Namun hukuman ini
diperselisihkan oleh para fuqaha.Jumhur ulama’ membolehkannya apabila
persyaratan untuk mendapat jaminan atas harta tidak dipenuhi. Syarat-syarat
tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Harta diperoleh dengan cara yang halal
b.
Harta itu digunakan sesuai dengan fungsinya.
c.
Penggunaan harta itu tidak menggangu hak orang lain.[16]
Apabila persyaratan tersebut tidak
dipenuhi, misalnya harta didapat dengan jalan yang tidak halal, atau tidak
digunakan sesuai dengan fungsinya makna dalam keadaan demikian ulil amri berhak
untuk menerapkan hukum ta’zir berupa penyitaan atau perampasan sebagai sanksi
terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.
KESIMPULAN
Ta’zir ialah sanksi yang
diberlakukan kepada pelaku jarimah yang melakukan pelanggaran baik berkaitan
dengan hak Allah maupun hak manusia secara individu dan tidak termasuk ke dalam
kategori hukuman hudud atau kafarat. Pada jarimah ta’zir al-Qur’an dan
al-Hadits tidak menerapkan secara terperinci, baik dari segi bentuk jarimah
maupun hukumannya dan para fuqaha juga berbeda pendapat tentang hukum dari
ta’zir itu sendiri. Adapun
syarat-syarat sanksi takzir yaitu berakal sehat dan tidak ada perbedaan antara
laki-laki/perempuan/anak-anak atau kafir maupun muslim. Adapun macam-macam sanksi jarimah Ta’zir itu dibedakan menjadi empat
bagian yaitu: sanksi yang berkaitan dengan anggota badan, sanksi ta’zir yang
berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, hukuman ta’zir yang berkaitan dengan
harta, dan sanksi ta’zir lainnya.
[1] Ibrahim Anis,dkk., Al-Mu’jam Al-Wasit (Mesir: Majma’
Al-Lughah Al-Arabiyyah, 1972), cet. Ke-2, hlm. 598.
[2]
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fikih Jinayah (Jakarta: AMZAH,2015), hlm. 136.
[3] Ibid.,hlm. 137.
[4]Abdul
Aziz Amir, Al-ta’zir fi Al-Syari’ah Al-Islamiyah (Kairo:Dar Al-Fikr
Al-Arabi 1954), hlm. 52.
[5]Abdul
Qadir Audah, Al-Tasyri Al-Jina Al-Islami Muqarranan bi Al-qanun Al-Wad’i
(Beirut: Muassasah Al-Risalah, 1992), Jilid 11, hlm.685.
[6] Mubarak,
Jaih, kaidah-kaidah fiqih jinayah ( Bandung: Pustaka bani quraisy,2004),
hlm. 47.
[7] Makhrus munajat, Reaktualisasi Pemikiran Hukum Pidana Islam
(Yogyakarta: Cakrawala, 2006), hlm. 14.
[8] Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia (Yogyakarta:
Teras, 2009), hlm. 182-185.
[9]Nurul
Irfan dan Masyrofah, Fikih Jinayah(Jakarta: AMZAH,2015), hlm.145.
[10]
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fikih Jinayah (Jakarta: AMZAH,2015), hlm. 148
[11] Achmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam(Jakarta: Sinar Grafika,
2005), hlm. 258.
[12] Zuhaili, Wahbah,fikih Imam Syafii (Jakarta: Al-Mahira, 2010), hlm.
[13]
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fikih Jinayah (Jakarta: AMZAH,2015), hlm. 149
[14]Rahmat hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2000), hlm. 142.
[15]
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fikih Jinayah (Jakarta: AMZAH,2015), hlm. 150-151.
[16] Rahmat hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2000), hlm. 144.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan baik, bijak dan konstruktif !