BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
bahaya
bagi agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal. Sebagian fuqaha menggunakan kata
jinayah untuk perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti
membunuh, melukai dan sebagainya. Dengan demikian istilah fiqh jinayah sama
dengan hukum pidana.
Untuk mempersempit
pembahasan maka disisni pemakalah hanya akan membahas masalah yang berkenan
dengan hudud Jarimah hudud adalah tindak pidana yang diancam hukuman had, yakni
hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlah (berat-ringan) sanksinya yang
menjadi hak Allah SWT, dan tidak dapat diganti dengan macam hukuman lain atau
dibatalkan sama sekali oleh manusia. Ada tujuh macam perbuatan jarimah hudud
yaitu, zina, menuduh orang lain berbuat zina (qazaf), meminum minuman keras,
mencuri, menggangu keamanan (hirabah), murtad, dan pemberontakan (al-bagyu).
Adapun jarimah ta’zir Secara bahasa ta’zir merupakan mashdar (kata dasar) dari
‘azzaro yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan,
memuliakan, membantu. Sedangkan menurut istilah ialah tindak pidana yang
diancam dengan satu atau beberapa macam hukuman dan sanksinya tidak ditentukan
dalam Al-Qur’an melainkan dari hasil ijtihad para ulil amri. Misalnya, tidak
melaksanakan amanah,ghasab,menghina atau mencela orang, menjadi saksi palsu dan
suap.
B. Rumusan Masalah.
1. Apa Pengertian Jarimah Hudud?
2. Apa saja macam-macam Jarima h Hudud?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu Jarimah Hudud.
2. Untuk mengetahui macam-macam Jarimah Hudud.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Jarimah Hudud
Secara etimologis, Hudud yang merupakan bentuk
jamak dari kata had yang berarti اللمنع (larangan, pencegahan).[1]Selain itu, had juga dapat diartikan sebagai
batasan sesuatu(منتهي
الشئ) sesuatu yang telah ditentukan (الشئ المعين), hukuman (العقوبه) dan marah (الغضب).[2] Sedangkan pengertian hudud secara
terminologis adalah : ” Had (hudud) adalah hukuman yang telah ditentukan
sebagai hak Allah SWT dan arti ‘uqubah muqaddarah adalah bahwa hukuman telah
dibatasi, ditentukan, tidak ada pada hukuman itu batasan terendah dan batasan
tertinggi. Artinya bahwa hukuman itu adalah hak
Allah SWT dan bahwa hukuman itu tidak bisa digugurkan oleh individu-individu
dan tidak pula oleh kelompok.” Hukuman hudud tidak boleh dimaafkan oleh siapa pun. Mereka yang
melanggar aturan-aturan hukum Allah, yang telah ditentukan dan ditetapkan
Allah/Rasul-Nya yang disebutkan didalam Al-Qur' an/ hadis adalah termasuk dalam
golongan orang-orang yang zalim.[3] Sebagaimana firman Allah SWT di
dalam surah al-Baqarah (2) ayat 229 yang artinya: “Dan siapa yang melanggar aturan-aturan hukum
Allah, maka mereka itulah orang-orang
yang zalim.”
1.
Al-jurzani
mengartikannya sebagai sanksi yang telah ditentukan dan yang wajib di
laksanakan secara hak kepada Allah SWT.
2.
Sementara
itu, sebagian ahli fiqih yang dikutip oleh Abdul Qadir Audah, berpendapat bahwa
had adalah sanksi yang telah ditentukan oleh syara’ .Dengan demikian, had atau
hudud mencangkup semua jarimah baik hudud, qishash, maupun diat sebab sanksi
keseluruhannya telah ditentukan setelah syara’.
3.
Lebih
lengkap dari kedua definisi diatas, Nawawi Al-Bantani mendefinisikan hudud,
yaitu sanksi yang telah ditentukan dan wajib diberlakukan kepada seseorang yang
melanggar suatu pelanggaran yang akibatnya sanksi itu dituntut, baik dalam
rangka memberikan peringatan pelaku maupun dalam rangka memaksanya .
4.
Al-Sayyid
Sabiq menejelaskan bahwa had (hudud) secara terminologis iyalah sanksi yang
telah ditetapkan untuk melaksanakan hak Allah. Dengan demikian, Ta’zir tidak
termasuk ke dalam cakupan definisi ini karena penentuannya diserahkan menurut
pendapat hakim setempat. Demikian halnya dengan qishash yang tidak termasuk
dalam cangkupan hudud karena merupakan hak sesama manusia untuk menuntut balas
dan keadilan.
5.
Abu
ya’la sebagaimana mengutip pendapat Al-Mawardi : bahwa Al-Mawardi berkata,”
hudud ialah ancaman-ancaman yang ditetapkan Allah untuk mencegah seseorang agar
tidak melanggar apa yang dilarang dan tidak meninggalkan apa yang diperintahkan
ketika syahwat membuatnya terlena dari ancaman-ancaman siksa diakhirat kelak
lantaran mendahulukan kenikmatan sesaat. [5]
Jadi
dapat disimpulkan bahwa hudud berarti, sebuah sanksi yang diberlakukan kepada
seseorang yang melanggar peraturan atau perintah Allah akibat mengikuti syahwat
yang sesaat dan akan mendapatkan ancaman siksa diakhirat.
B.
Macam-macam jarimah Hudud
Ditinjau
dari segi dominasi hak, terdapat dua jenis hudud, yaitu sebagai berikut: Pertama,Hudud
yang termasuk hak Allah. Menurut Abu Ya’la, hudud jenis ini adalah semua jenis
sanksi yang wajib diberlakukan kepada pelaku karena ia meninggalkan semua hal
yang diperintahkan, seperti shalat, puasa, zakat dan haji.Kedua, Hudud
yang termasuk hak manusia. Hudud jenis ini adalah semua jenis sanksi yang
diberlakukan kepada seseorang karena ia melanggar larangan Allah, seperti
berzina, mencuri, dan meminum khamar. Hudud jenis ini terbagi menjadi dua:
pertama, hudud terbagi menjadi tujuh, yaitu hudud atas
jarimah zina, qadzf, meminum minuman keras, pemberontakan, murtad, pencurian,
dan perampokan.[6]Macam-macam
Jarimah hudud yang termasuk hak manusia, yaitu sebagai berikut:
1.
Jarimah Zina
Abdul
Qadir Audah berpendapat bahwa zina ialah hubungan badan yang diharamkan dan
disengaja oleh pelakunya.Mengenai kekejian jarimah zina ini, Muhammad Al-
Khatib Al-Syarbini mengatakan, zina termasuk dosa-dosa yang paling keji, tidak
satu agamapun tidak menghalalkannya.Oleh sebab itu, sanksinya juga sangat
berat, karena mengancam kehormatan dan hubungan nasab.
Dalil
al-Qur’an yang mengharamkan zina ialah QS. Al-Isra’ ayat 32:
وَلَا
تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَسَآءَ سَبِيلٗا ٣٢
Artinya:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya
zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”.
Dalam
sebuah hadits disebutkan yang artinya:“Dari Abdullah meriwayatkan,”aku
bertanya, wahai Rasulullah, dosa apa yang paling besar disisi Allah? Beliau
menjawab,’kamu menjadikan tandingan bagi Allah( berbuat syirik), padahal dialah
yang telah menciptakan kamu.’ Lalu aku bertanya lagi,’kemudian dosa apalagi?’
beliau menjawab,’ kamu membunuh anakmu karena takut kalau ia akan makan bersamamu.’Aku
bertanya lagi’ kemudian dosa apalagi?’ beliau menjawab’ kamu berzina dengan
istri tetanggamu.”( Hadits riwayat al-Bukhari dan Ibnu Hibban)
Dengan
demikian, perzinaan adalah hubungan badan yang diharamkan oleh Allah swt. Dan
Nabi Muhammad saw. Dalam Al-Qur’an dan Hadits serta disepakati oleh para ulama’
dari berbagai mazhab akan keharamannya.
a)
Macam-macam
jarimah zina dan sanksinya
Ada
dua jenis jariamh zina, yaitu zina Muhsan dan ghairu muhsan.Zina muhsan ialah
zina yang pelakunya berstatus suami, istri, duda atau janda.Artinya, pelaku
adalah orang yang masih dalam pernikahan atau pernah menikah secara sah.Adapun
zina ghairu muhsan ialah zina yang pelakunya masih berstatus perjaka atau
gadis.Artinya, pelaku belum pernah menikah secara sah dan sedang berada dalam
ikatan pernikahan. Terhadap kedua jenis jarimah diatas, syari’at Islam memberlakukan
dua sanksi yang berlainan yaitu:
1)
Sanksi
bagi pelaku zina muhsan adalah hukuman rajam, yaitu pelaku dilempari batu
hingga meninggal. Sanksi rajam bagi pelaku zina muhsan tidak secara eksplisit
disebutkan didalam al-Qur’an eksistensinya ditetapkan melalui ucapan dan
perbuatan Rasulullah saw. Ada sebagian kelompok yang menolak hukuman rajam. Ia
menyabut kelompok ini sebagai firqah min ahl al-ahwa’. Menurut mereka, hukuman
bagi pelaku jariamah zina apapun jenisnya adalah cambuk.[7] Sedangkan
hukuman tambahan untuk pezina yang bukan muhsan ini adalah buang selama satu
tahun. Adapun alasan hukum dari adanya buang ini adalah hadits Nabi menurut
riwayat Muslim, Abu Daud dan al-Tirmizi yang bunyinya:
“jemputlah
mereka, Allah telah memberikan jalan: yaitu bujang dengan gadis hukumannya dera
seratus kali dan dibuang satu tahun.”
Adapun
ancaman atau sanksi hukuman terhadap pelaku zina yang muhsan adalah rajam
sampai mati. Ketentuan tentang hukuman rajam itu tidak merujuk kepada Firman
Allah tetapi berdasarkan kepada hadits Nabi, baik dalam bentuk ucapan langsung
dari Nabi atau apa yang dilakukan sendiri oleh Nabi. Adapun ucapan langsung
dari Nabi adalah haditsnya menurut riwayat Muslim, Abu Daud dan al-Tirmizi,
Yang
merupakan ujung dari hadits yang dikutip di atas, yang bunyinya: “Pezina
yang tsayib dengan yang tsaib, hukumannya adalah dera seratus kali dan dirajam
dengan batu”
Adapun
perbuatan Nabi adalah beberapa riwayat yang menyatakan tindakan Nabi yang
merajam pelaku zina muhsan yang mengaku di depan Nabi seperti kasus Ma’iz dan
Ghamidiyah; perempuan dari suku Juhainah, dan lain-lain. Yang dimaksud dengan
tsayib di atas dengan merujuk kepada pengertian tsayib dalam hukum perkawinan
adalah orang yang telah pernah kawin.Dengan memahami hadits Nabi tersebut para
ulama sepakat untuk memberlakukan hukum rajam terhadap pezina yang tsayib.
Tentang apakah masih diberlakukan hukuman dera di samping raj am sampai mati
itu, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Kebanyakan ulama menetapkan
tidak ada lagi hukuman dera di samping rajam yang telah disepakati itu. Karena
adanya perbedaan yang besar antara hukuman terhadap pezina muhsan dan yang
tidak muhsan, perlu diperjelas apa sebenarnya yang dimaksud dengan orang yang
sudah muhsan itu. Dari beberapa kata muhsan yang terdapat di dalam al-Quran di
antaranya ada yang berarti “orang yang terikat dalam tali perkawinan” atau
orang yang sedang kawin. Hal ini terdapat dalam surat al-Nisa ayat 24 yang
bunyinya:
۞وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا مَلَكَتۡ
أَيۡمَٰنُكُمۡۖ كِتَٰبَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡۚ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ
ذَٰلِكُمۡ أَن تَبۡتَغُواْ بِأَمۡوَٰلِكُم مُّحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسَٰفِحِينَۚ
فَمَا ٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهِۦ مِنۡهُنَّ فََٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةٗۚ
وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا تَرَٰضَيۡتُم بِهِۦ مِنۢ بَعۡدِ ٱلۡفَرِيضَةِۚ
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا ٢٤
Artinya:
“dan
(diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.
Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri
dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang
telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka
maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi
kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan
mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Dan
tidak ada yang maksudnya sama dengan pengertian tsayib yang terdapat dalam
hadits Nabi. Kalau muhsan diartikan sama dengan tsayib yang terdapat dalam
hadits Nabi, sedangkan pengertian tsayib itu adalah orang yang pernah kawin walaupun
telah putus perkawinannya, maka duda atau janda yang melakukan zina akan
diancam dengan hukuman rajam. Inilah pemahaman ulama pada umumnya tentang
muhsan itu.
Dengan
mengkompromikan pengertian muhsan yang terdapat dalam salah satu pengertian
dalam ayat al-Quran dengan pendapat yang dianut ulama pada umumnya, maka arti
muhsan yang paling tepat adalah “orang yang dapat merasakan hubungan kelamin
dalam perkawinan yang sah”.Dengan begitu janda atau duda yang melakukan zina
tidak termasuk dalam arti muhsan.[8]
2)
Sanksi
bagi pelaku zina ghairu muhsan adalah dicambuk sebanyak seratus kali. Berbeda
dengan rajam yang tidak secara tegas disebutkan didalam al-Qur’an sanksi cambuk
bagi pelaku jarimah zina ghairu muhsan secara ekspelisit di tegaskan dalam
firman Allah swt. didalam QS. al-Nur(24):2:
Artinya:
ٱلزَّانِيَةُ
وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖۖ وَلَا
تَأۡخُذۡكُم بِهِمَا رَأۡفَةٞ فِي دِينِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ
وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۖ وَلۡيَشۡهَدۡ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٞ مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
٢
“Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seseorang dari
keduanya seratus kali dera.”[9]
Walaupun
dalam ayat ini tidak dijelaskan pezina mana yang di dera seratus kali itu,
namun karena ada petunjuk tambahan dari Nabi, maka ulama memahami pezina yang
didera seratus kali itu adalah pezina yang bukan muhsan.Hukuman 100 dera untuk
pezina yang bukan muhsan itu adalah sebagai hukuman pokok yang langsung
ditetapkan dalam Al-Qur'an.
Adanya
perbedaan yang nyata hukuman antara pezina yang bukan muhsan dengan pezina yang
muhsan, dapat dilihat dari sebab-sebab di bawah ini:
a.
Tidak
ada dorongan secara fisis, psikis dan rasional bagi orang yang sedang terikat
dalam perkawinan untuk melakukan perzinaan, karena kenikmatan yang
diharapkannya dari hubungan kelamin yang tidak baik itu telah didapatnya secara
sah dan baik. Lebih dari itu hanyalah keserakahan. Sedangkan bagi yang bukan
muhsan, termasuk janda atau duda, dorongan tersebut ada; karena tidak ada
penyaluran syahwatnya secara sah. Oleh karena itu, sangat rasional bila
hukumanterhadap yang muhsan lebih berat dari yang bukan muhsan. Bahkan sangat
tepat bagi yang muhsan itu hukuman mati dengan rajam.
b.
Perzinaan
yang dilakukan oleh yang bukan muhsan hanya merupakan satu kejahatan yaitu
kejahatan terhadap akibat perzinaan itu sendiri; sedangkan perzinaan yang
dilakukan muhsan di samping kejahatan terhadap zina itu sendiri, juga merupakan
kejahatan terhadap perkawinan dan rumah tangga.
b)
Hakikat
yang merupakan kriteria dari perzinaan itu, yaitu:
1)
Zina
itu perbuatan memasukkan apa yang bernama alat kelamin laki-laki atau zakar ke
dalam apa yang bernama alat kelamin perempuan atau vagina atau faraj. Dalam
arti ini alat apa saja yang dimasukkan selain dari zakar tidak disebut zina.
Begitu pula memasukkan zakar ke lubang mana saja dari tubuh perempuan selain
vagina tidak disebut zina.
2)
Perbuatan hubungan kelamin itu menurut zat
atau substansinya adalah haram. Hal ini mengandung arti bila keharamannya itu
bukan bersifat substansil atau karena faktor luar atau keadaan, tidak disebut
zina.Umpamanya suami haram melakukan hubungan kelamin dengan istrinya yang
sedang menstruasi.Keharaman di sini bukan karena substansinya, tetapi karena
faktor luar.
3)
Perbuatan
hubungan kelamin itu pada dasarnya secara alamiah disenangi, yaitu dengan
manusia yang hidup. Hal ini berarti hubungan kelamin dengan sosok mayat dan
dengan hewan tidak disebut zina.
4)
Perbuatan
hubungan kelamin itu disebut zina dengan segala akibat hukumnya bila pada
perbuatan itu telah bebas dari segala kemungkinan kesamaran atau syubhat
seperti bersetubuh dengan perempuan yang diyakininya istrinya, ternyata orang
lain.
c)
Dari
hakikat zina yang diuraikan di atas para ulama menetapkan unsur-unsur ataurukun
dari perbuatan zina yang berhak atas ancaman yang berat itu sebagai berikut:
1)
Perzinaan
itu adalah hubungan kelamin yang diharamkan. lslam menetapkan prinsip dasar
dari hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan adalah haram Sifat
haram itu hanya dapat dihilangkan atau dihalalkan melalui satu cara yaitu
perkawinan, sehingga disebutlah perkawinan itu sebagai akad yang menghalalkan
hubungan laki-laki perempuan yang asalnya diharamkan itu. Keharaman hubungan
kelamin di sini ' adalah karena hubungan kelamin itu sendiri bukan karena hal
lain seperti haramnya hubungan kelamin antara suami istri dalam masa haid.
2)
Hubungan
kelamin itu dilakukan dengan sengaja dan melawan hukum. Hal ini mengandung arti
bahwa bila hubungan kelamin itu di luar kesengajaan seperti masing-masing
meyakini bahwa pasangan itu adalah pasangan yang sah atau dilakukan atas
paksaan seperti diperkosa, maka perbuatan itu tidak disebut perzinaan.Hubungan
kelamin secara tidak sengaja itu dalam quh disebut syubhat.Adanya sifat syubhat
itu menyebabkan hubungan kelamin tersebut tidak dinamai zina yang diancam
dengan hukuman.
d)
Ancaman
hukuman baru dilakukan terhadap perbuatan zina bila memang perzinaan itu telah
terjadi dengan adanya bukti-bukti yang meyakinkan dan diyakini pula bahwa dalam
hubungan kelamin tidak terdapat unsur-unsur kesamaran yang
disebut syubhal. Adapun pembuktian telah terjadinyaperbuatan zina itu berlaku
dengan cara-cara sebagai berikut:
1)
Kesaksian
empat orang saksi laki-laki muslim yang adil dan dapat dipercaya, ke empatnya
secara meyakinkan melihat langsung hubungan kelamin itu secara bersamaan. Bila
tidak terpenuhi kriteria tersebut tidak sah kesaksian tersebut. Hal ini sesuai
dengan petunjuk Allah dalam alQuran surat al-Nisa ayat 15 :
وَٱلَّٰتِي
يَأۡتِينَ ٱلۡفَٰحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمۡ فَٱسۡتَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِنَّ
أَرۡبَعَةٗ مِّنكُمۡۖ فَإِن شَهِدُواْ فَأَمۡسِكُوهُنَّ فِي ٱلۡبُيُوتِ حَتَّىٰ
يَتَوَفَّىٰهُنَّ ٱلۡمَوۡتُ أَوۡ يَجۡعَلَ ٱللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلٗا ١٥
Dan firman
Allah dalam surat al-Nur ayat 4:
وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ
ثُمَّ لَمۡ يَأۡتُواْ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجۡلِدُوهُمۡ ثَمَٰنِينَ جَلۡدَةٗ
وَلَا تَقۡبَلُواْ لَهُمۡ شَهَٰدَةً أَبَدٗاۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٤
2)
Pengakuan
yang dilakukan oleh pasangan yang melakukan perzinaan, secara jelas dan
bersungguh-sungguh dari orang-orang yang pengakuannya dapat dipercaya, seperti
telah dewasa dan berakal sehat. Hal ini dapat diketahui dari hadits Nabi
tentang kasus pengakuan Ma'iz di hadapan Nabi dan pelaksanaan hukuman oleh Nabi
setelah adanya pengakuan itu. Tentang jumlahnya kebanyakan ulama mencukupkan
satu kali, bila memang dengan satu kali itu telah dapat meyakinkan hakim.
3)
Qarinah
atau tanda dan isyarat yang meyakinkan seperti kehamilanmilan janin seseorang
perempuan yang tidak terikat dalam perkawinan.
4)
Li'an;
yaitu sumpah suami yang menuduh istrinya berzina dan tidak mampu mendatangkan 4
orang saksi, sebanyak 4 kali dan yang ke lima ucapannya bahwa laknat Allah akan
menimpanya bila ia tidak benar dalam tuduhannya; kemudian sumpah li'an si suami
itu tidak ditolak oleh istri dengan li’an balik. Hal ini menjadi bukti bahwa
perzinaan itu memang telah terjadi. Pembuktian terjadinya zina dilakukan di
depan hakim yang diajukan oleh penuntut umum yang mewakili masyarakat yang
tercemar. Adapun adanya kesamaran atau terjadinya Syubhat harus dibuktikan oleh
si pelaku perzinaan.Hal ini perlu diitempuh untuk menghindari pelaksanaan
hukuman yang tidak tepat.Hukum jinayah Islam mempunyai prinsip memperkecil
kemungkinan terjadinya pelaksanaan sanksi hukuman dengan mengemukakan
kesamaran-kesamaran. Hal ini dipahami dari hadits Nabi yang mengatakan: artinya
hindarkanlah pelaksanaan hukuman (hudud) semampu kamu.
e)
Hal-hal
yang dapat ditempatkan sebagai syubhat yang dapat meniadakan hukuman tersebut
menurut pendapat ulama yang berkembang adalah sebagai berikut:
1)
Syubhat
dalam berbuat yaitu hubungan kelamin yang berlangsung antara pasangan yang
meyakini sebagai suami istri, tetapi ternyata kemudian bahwa dia bersetubuh
dengan orang lain.
2)
Syubhat
dalam hukum yaitu hubungan kelamin yang berlangsung antara laki-laki dan
perempuan yang oleh satu pendapat dinyatakan sebagai tidak sah, sedangkan
menurut pendapat lain adalah sah. Umpamanya pernikahan yang tidak memakai wali
yang oleh golongan Syafiiyah dinyatakan tidak sah, sedangkan menurut golongan
Hanafiyah adalah sah.
3)
Hubungan
kelamin antara pasangan yang meyakini sebagai pasangan yang sah tetapi ternyata
kemudian tidak sah. Umpamanya suami istri yang kemudian ketahuan di antara
keduanya adalah bersaudara.
4)
Hubungan
kelamin secara terpaksa. Hal ini hanya berlaku terhadap pihak perempuan yang
mungkin berada dalam keadaan terpaksa dan tidak pada laki-laki yang tidak
mungkin melangsungkan hubungan kelamin sambil dipaksa.
5)
Pengakuan
dari pihak yang melakukan hubungan kelamin bahwa mereka adalah suami istri.
6)
Dapatnya
dibuktikan bahwa si perempuan masih dalam keadaan perawan.[10]
2.
Jarimah Qadzf
a.
Pengertian
qadzf
Secara etimologis, qadzf berasal dari kata قذفا – فيقذ قذف – yang oleh
Lu’is Ma’luf jika dihubungkan dengan kalimat بقولهقذف beartiمن غير ثدبر ولا ثامل ثكام yang berate
berbicara mengawur tanpa berfikir terlebih dahulu.[11]
Dapat juga dkatakan asal makna
Qadzf adalah arramyu (melempar), umpamanya dengan batu atau dengan yang
lainnya. Hal ini bias dilihat dari firman Allah swt. Dalam Al-Qur’an:
Artinya:
(Yaitu)
letakkanlah dia (Musa) didalam peti, kemudian hanyutkanlah dia kesungai
(Nil)…(QS.Thaha’[20]: 39)
Arti
qadzf dalam kaitannya dengan zina dipetik dari arti firman Allah tersebut.
Kemudian, yang dimaksud qadzf zina adalah menuduh zina. Barang siapa menuduh
orang lain berzina dengan cara memfitnah atau melecehkannya, seperti
ucapan,”wahai pezina”.” wahai anak yang tidak punya ayah,”untuk menuduh ibunya
berzina, dan lain-lain, dia dikenakan hukum qadzf, dengan syarat, baligh,
berakal dan orang yang menuduh bukan ayah tidak dihukum qisash jika ia membunuh
anaknya, ia juga tidak dihukumhad dengan menuduh anaknya berbuat zina,
berdasarkan qiyas. Kakek atau nenek dan seterusnya ke atas memiiki hokum yang
sama dengan ayah dalam masalah ini. Lima syarat yang berhubungan dengan orang
yang dituduh yaitu muslim, baligh, berakal, merdeka dan orang yang baik-baik
yang belum pernah dikenai hukuman had zina sebelumnya. Allah swt. berfirman
dalam QS. An-Nur [24]: 4
“Dan orang- orang yang menuduh perempuan-perempuan baik
(berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka
delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk
selama-lamanya mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Seseorang
yang wajib dikenakan hukuman had karena menuduh orang lain berzina yang
kemungkinan besar ia telah berbohong dan mencemarkan nama baik yang dituduh.
Sementara orang yang menuduh orang lain tidak bias menjaga kehormatannya,
kebenaran tuduhannya bias diterima. Hal ini tidak dapat menimbulkan pencemaran
nama baik orang tersebut karena pada awalnya namanya sudah tercemar. Begitu
juga dengan orang kafir karena ia tidak memiliki pencegah untuk menghindari
diri dari perbuatan keji.
Hukuman
had bias gugur apabila terpenuhi salah satu dari tiga hal berikut :
a.
Adanya
saksi yang membenarkan yang ia tuduhkan. Sesuai dengan QS. An-Nur ayat 4 tersebut menerangkan, apabila penuduh dapat mendatangkan empat
orang saksi, ia terbebas dari hukuman had, dan orang yang dituduh dikenai
hukuman zina.
b.
Orang
yang dituduh memaafkan karena had orang yang dituduh disyariatkan untuh
membersihkan nama baik tertuduh.
c.
Sumpah
li’an, jika tuduhan dilakukan suami terhadap istrinya.
b.
Syarat-syarat
Qadzaf
1)
Syarat-syarat
qadzif (yang menuduh zina)
a)
Berakal
b)
Dewasa
c)
Dalam
keadan ikhtiar, yakni tidak dipaksa oleh pihak
Jadi, apabila orang gila, ank kecil, atau orang yang dipaksa
menuduh zina kepada orang lain, mereka tidak dapat dijatuhi hukum dera kecuali
orang tidur sehingga ia bangun, anak kecil sehingga ia dewasa, orang gila
sehingga ia sadar berdasarkan hadist rasulullah saw. Selain itu apabila yang
menuduh zina itu orang yang murahik puber (orang yang hamper dewasa), sekiranya
tuduhan itu menyakitkan ia tidak didera, melainkan dikenai sanksi yang relevan
baginya.
2)
Syarat-syarat
maqdzuf
·
Berakal
; apabila yang berzina itu orang gila, penuduh tidak dapat dijatuhi hukuman
dera karena sesungguhnya hukuman dera itu untuk mencegah terjadinya bahaya yang
diterima dengan sakit hati oleh tertuduh.
·
Dewasa
; pihak yang menuduh zina tidak dapat dijatuhi hukuman dera apabila yang
dituduhnya anak kecil yang belum dewasa. Hokum orang yang menuduh zina kepada
anak perempuan yang belum dewasa tetapi memungkinkan untuk dizinahi disini
mayoritas ulama berpendapat bahwa masalah ini termasuk qadzaf. Karena pihak
perempuan yang belum dewasa tidak bias dijatuhi had. Meskipun demikian,
penuduhnya harus dijatuhi sanksi, bukan dijatuhi had dera. Al imam malik
berpendapat bahwa masalah tersebut termasuk qadzaf dan penuduhnya harus dihad.
·
Islam
; menurut mayoritas ulama’, jika maqdzhuf bukan orang islam, penuduhnya tidak
dapat dijatuhi hukuman dera. Kemudian apabila ada orang nasrani atau yahudi
menuduh zina kepada orang islam yang merdeka, orang nasrani atau yahudi dikenai
hokum dera delapan puluh kali.
·
Merdeka
; apabila maqdzuf itu budak, baik milik qadzifnya maupun bukan, qadzhifnya
tidak dapat dikenai hukuman dera. Karena martabat budak tidak sama dengan
martabat orang yang mardeka, meskipun qadzhaf orang yang mardeka terhadap buda
menuduh zina hukumnya haram.
·
Belum
pernah dan menjauhi zina ; apbila ada orang yang berbuat zina pada awal masa
remajanya, kemudian ia bertaobat dan bertingkah laku baik sampai tua, kemudian
ada yang menuduhnya berzina, orang yang menuduh tersebut tidak dikenai hukuman
dera. Akan tetapi meskipun tidak dikenai hukuman dera, yang menuduh zina
tersebut tetap dikenai hukuman sanksi.
3)
Syarat-syarat
pada maqdzuf bih (tuduhan) :
a.
Secara
sharih (jelas), seperti perkataan “ hai orang yang berzina,” atau kata-kata
yang dianggap jelas, seperti “ hai kamu lahir tanpa bapak.” Hal ini berarti
secara tidak langsung telah menuduh ibu dari anak tersebut berbuat zina.
b.
Dengan
kinayah (sindiran), misalnya ada dua orang bertengkar kemudian yang satu
berkata, “ walaupun aku jelek seperti ini, aku tidak pernah berbuat zina dan
ibu ku juga.” Pernyataan seperti ini merupakan sindiran yang dianggap menuduh
zina kepada lawannya dan ibunya.[12]
3.
Jarimah Syurb Al-Khamar
a.
Pengertian
asyribah
Kata
الخمر berasal dari kata خمر- يخمر- خمرا yang berarti سثره menutup. Dalam menjelaskan tentang arti khamr ini,
Al-Qurthubi mengemukakan:
Kata khamr berasal dari kata khamara atau satara yang
berarti menutup. Oleh karena itu, ada istilah kerudung wanita. Setiap benda
yang menutup sesuatu yang lain, selalu disebut khamar, seperti dalam kalimat
“jadi, khamar da[pat menutup akal, menyumbat, dan membungkusnya.”[13]
Adapun Asyribah
adalah bentuk jamak (plural) dari kat syurbun. Asyribah atau minum minuman
keras adalah minuman yang bias memabukkan apapun asalnya. Imam Malik, imam
Assyafi’I dan imam Ahmad berpendapat bahwa yang dimaksud khamar adalah
minumanyang memabukkan, baik disebut khamar atau dengan nama lain. Adapun imam
Abu Hanifah membedakan antara khamr dan mabuk. Khamar diharamkan meminumnya,
baik sedikit maupun banyak dan keharamannya terletak pada zatnya. Minuman lain
yang bukan khamar, tetapi memabukkan, keharamannya tidak terletak pada minuman
itu, tetapi padaminuman terakhir yang menyebabkan mabuk menurut imam Abu
Hanifah, minum-minuman memabukkan selain khamar tidak diharamkan.[14]
b.
Sanksi
dan batasan syurb Al-Khamr
Sebagaimana
menurut pendapat beberapa ulama’ sebagai berikut:
1.
Hanafiah;
sebagaimana dipaparkan Al-Zuhaili, membedakan antara sanksi sekedar minum
khamar dan sanksi mabuk. Artinya, sedikit atau banyaknya tetap saja haram dan
peminum yang tidak mabuk dapat dikenai sanksi hukum. Jika mengonsumsi sudah
dapat dikenai sanksi, terlebih lagi sampai mabuk, sanksi yang dikenakan
pastilah lebih berat.
2.
Jumhur
ulama’; tidak memisahkan antara sanksi sekedar meminum dan sekdar mabuk.
Menurut mereka, setiap meminum (memakan) suatu zat yang dalam jumlah besarnya
memabukkan maka sedikitnya tetap saja haram, baik mabuk atau tidak.
Mengenai sanksi pidana bagi pemabuk, tidak disebutkan secara jelas
dalam rangkaian ayat tentang pengharaman khamar diatas. Adapun perbedaan
pendapat mengenai sanksi jraimah cambukan yang harus dikenakan pada pelaku.
Apakah cukup diberi sanksi empat puluh kaliu cambukan atau harus elapan puluh
kali. Abu Dawaud meriwayatkan hadits sebagai berikut yang artinya:
“Dari Ali ra. Ia berkata,” Nabi mencambuk pelaku jarimah syurb
al-khamr sebanyak empat puluh kali demikian juga Abu Bakar. Sementara itu, Umar
menyempurnakannya menjadi delapan puluh kali. Kedua-duanya merupakan sunnah.
(HR. Abu Dawud)
Dari hadits ini bias kita ketahui bahwa sanksi bagi peminum khamar
itu ada dua, yaitu emept puluh kali cambukan dan delapan puluh kali cambukkan.
Dari sinilah beberapa fuqaha’ berbeda pendapat; jumhur fuqaha berpendapat
sanksinya delapan puluh cambukan berdasarkan kebijakan Umar dan Ali,
sedangkankelompok syafi’iyah berpendapat sanksinya empat puluh kali cambukkan.
karena Anas bin Malik yang berdasarkan pada Nabi saw dan Abu Bakar yang
melaksanakan anksi cambuk sebanyak empat puluh kali. Adapun tambahan empat
puluh kali cambukkan diluar itu sebagaimana yang dilakukan Umar bukanlah Hudud
melainkan ta’zir dan merupakan kebijakan sendiri yang dilakukan berdasarkan
kemashlahatan didalamnya, sedangkan rasulullah dan Abu Bakar tidak menemukan
adanya kemashlahatan. Menurut imam Abu Hanifah yang termasuk dalam kategori
khamar adalah:
1.
Air
anggur yang telah mendidih dan mengeluarkan buih. Akan tetapi menurut Abu Yusuf
dan Muhammad bin Hasan Al-Syaibani, air anggur ketika telah mendidih sudah
menjadi khamr, walaupun tidak mengeluarkan buih.
2.
Air
anggur yang telah direbus dan yang tersisa kurang dari dua pertiga telah
berubah menjadi khamr, baik basah maupun kering.
3.
Perasan
kedelai ketika mendidih dan mengeluarkan buih. Akan tetapi, menurut Abu Yusuf
dan Muhammad bin Hasan Al-Syaibani, perasan itu telah menjadi khamar meskipun
belum mengeluarkan buih.
Dalil yang digunakan Abu Hanifah untuk mendukung pendapatnya adalah
hadits berikut:
عن ابي هريرة قال قال رسول الله صلي الله عليه و سلم الخمر من هاثين
الشجرثين الكرمة و النخلة
Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata,” aku
mendengar Rasulullah saw. Bersabda, ‘khamar itu berasal dari dua pohon, pohon
anggur dan kurma.”(HR. Muslim)
Apabila meminum selain dari kedua jenis ini
yaitu anggur dan kurma yang dapat memabukkan maka hukumanya adalah cambuk bagi
pelakunya. Jadi, tempat perbedaanyaitu, jumhur ulama berpendapat bahwa selain
dari perasan anggur dan kurma dapat dikatakan khamar. Sementra itu Abu hanifah
berpendapat bahwa selain perasan anggur
dan kurma bukan khamar. Apabila ketika diminum tidak memabukkan dan hukumnya
halal dan sebaliknya jika diminum memabukkan maka hukumnya haram.[15]
c. Menjual belikan benda yang memabukkan
Memperjual belikan benda yang memabukkan haram
hukumnya sehingga haram pula uangnya, karena sama dengan mengambil harta dengan
jalan batil seperti jual beli khamar dan benda-benda yang memabukkan. Sesuatu
yang telah diharamkan dilarang mengambil manfaat atas barang tersebu begitupun
dengan menikmati hasil penjualannya.
d. Syarat-syarat melakukan hukuman bagi
peminum khamar
1. Berakal
2. Baligh
3. Sesuai kemauan sendiri. Seseorang yang
meminum khamar karena terpaksa atau dipaksa tidak dikenai hukuman, baik ancaman
tersebut berupa ancaman pembunuhan atau siksaan fisik atau akan dirampas
hartanya melainkan akan menghilangkan dosanya akibat terpaksa.
4. Mengetahui apa yang diminumnya adalah
memabukkan. Apabila ia meminumnya karena tidak tahu bahwa itu memabukkan maka
ia tidak dihukum. Tetapi apabila sebelumnya sudah diingatkan bahwa minuman
tersebut lalu ia meminumnya maka akan diperkirakan bagi hukumannya.[16]
4.
Jarimah Al-Baghyu
a)
Pengertian
Al-baghyu[17]
Al-baghyu secara etimologis berarti mencari, mengusahakan, atau
memilih. Pengertian tersebut diambil dari beberapa ayat Al-Quran.
فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
“Tetapi
barang siapa mencari di balik itu (zina, dan sebagainya), maka mereka itulah
orang-orang yang melampaui batas.”
(QS. Al-Mu'minin [23]: 7)
“Dan barang siapa yang mencari agama selain Islam, dia tidak akan
diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.”
(Q.s, Ali 'Imran [3]: 85)
Kata baghyun juga berarti pelanggaran dan penyelewengan.
Secara terminologis, al-baghyu adalah usaha melawan pemerintahan
yang sah dengan terang-terangan atau nyata, baik dengan mengangkat senjata
maupun tidak mengindahkan ketentuan yang digariskan pemerintah. Asy-Syafi'i
mengatakan, pemberontak adalah orang muslim yang menyalahi imam, dengan cara
tidak menaatinya dan melepaskan diri dari imam, menolak kewajiban, yang
memiliki kekuatan, argumentasi, dan pimpinan.
Pemberontak adalah sekelompok kaum muslim yang tidak menaati
pemerintah yang sah. Mereka menolak menjalankan kewajiban yang diperintahkan
dan memerangi jemaah kaum muslim yang lain, dengan dalih perbedaan hukum yang
mereka pahami dan yakini, mereka mengaku bahwa kebenaran berada di pihaknya dan
kekuasaan berada di tangannya. Orang-orang seperti ini wajib diperangi oleh
kaum muslim bersama pemerintah yang adil.
b)
Unsur-unsur Pemberontakan
Unsur-unsur pemberontakan adalah melawan pemerintahan yang sah atau
melepaskan diri atau keluar dari kekuasaan imam dan kesengajaan atau iktikad
tidak baik. Melepaskan diri atau keluar merupakan perbuatan menentang dan
mencoba menjatuhkan kekuasaan imam dengan alasan politis. Hal ini karena keluar
dari imam tanpa alasan politis, hanya dikategorikan sebagai pengacau keamanan
atau perampokan biasa. Adapun dikategorikan pemberontakan adalah mereka yang
mempunyai kekuatan, dalam arti banyaknya personel serta persenjataan yang
memungkinkan mereka mengadakan perlawanan dan memiliki pimpinan sebagai
pengganti imam yang ditinggalkan. Menurut Abu Hanifah, yang dikategorikan
sebagai pemberontak walaupun belum ada perlawanan apabila mereka telah
berkumpul dan merencanakan tindakan. Mereka yang kembali dan meletakkan
senjata, pemerintah tidak boleh memeranginya dan memperlakukan secara adil, seperti
warga yang lain.
Syarat memerangi pemberontak ada tiga, yaitu sebagai berikut.
1)
Memiliki
kekuatan, yaitu mereka mempunyai kekuatan (bersenjata) yang dapat digunakan
untuk melawan pemerintah atau penegak keadilan. Seperti mereka memiliki
kelompok lain yang dapat dimintai bantuan, mempunyai benteng pertahanan, atau
menguasai salah satu daerah kaum muslim (yang berada dalam kekuasaan
pemerintah). Tujuan memeranginya adalah menghindari bahaya yang ditimbulkan.
Oleh karena itu, jika tidak memiliki kekuatan seperti yang disebutkan, bahaya
keberadaan mereka tidak perlu ditakuti.
2)
Membangkang
dari ketaatan terhadap pemimpin, misalnya mengangkat pemimpin sendiri dari
kalangan mereka untuk memimpin daerahnya.
3)
Mempunyai pemikiran berbeda dengan pemerintah,
yang mungln'n benar, mungkin juga salah. Misalnya, mereka mempunyai pemahaman
berbeda dalam memaknai AlQuran atau hadis, yang menyebabkan memperbolehkan
kelompoknya untuk membangkang terhadap pemerintah yang sah, atau tidak
menunaikan kewajiban yang diperintahkan oleh pemerintah.
c) Sanksi Hukum bagi Pemberontak
Hukuman bagi yang melakukan pemberontakan terhadap negara atau
pemerintahan yang sah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran yang menerangkan
kewajiban memerangi pemberontak adalah firmanNya:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا
بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي
تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا
بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
"Dan apabila ada dua golongan mukmin berperang, maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim
terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim
itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu
telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan
adil, dan bedakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku
adil." (QS. Al-Hujurat
[49]: 9)
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang mukminitu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu
(yang berselisiih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al-Hujurat [49]: 10)
Menurut firman Allah, hukum memerangi pemberontak atas perintah
imam atau pemimpin hukumnya wajib, jika pemberontakan itu dilakukan oleh
segolongan kaum muslim atas segolongan kaum muslim yang lain. Apalagi jika
pemberontakan itu ditujukan kepada pemimpin yang sah.
Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah, ia
berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa memecah belah
persatuan kaum muslim, padahal mereka telah sepakat untuk memilih satu pemimpin
dengan maksud menceraiberaikan umat, maka bunuhlah dia."
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa, “Barang siapa memecah belah
persatuan umat ini, padahal ia telah menyatu, tebaslah dia dengan pedang di
mana pun dia berada." Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang
mendatangimu, sedangkan urusanmu berada di tangan mereka (pemimpin mereka) dan
mereka ingin merusak kekuasaanmu serta akan memorak-morandakan jemaahmu, maka
bunuhlah mereka." (H.R. Muslim)
5.
Jariamh al- Riddah
a)
Pengertian
Riddah[18]
Riddah adalah kembali ke jalan asal atau kembalinya orang Islam
yang berakal dan dewasa pada kekafiran dengan kehendaknya sendiri. tanpa ada
paksaan dari orang lain. Secara etimologis, n'ddah berarti kembali dari sesuatu
kepada sesuatu yang lain, sedangkan menurut terminologi fiqh, n'ddah adalah
keluarnya seseorang (menjadi kafir) setelah dia memeluk Islam. Perbuatan
tersebut dinamai riddah, sedangkan pelakunya dinamai murtad atau orang yang keluar
dari agama Islam.
Kemurtadan seseorang bisa dengan perkataan
yang menjurus arah kekafiran, memperolok-olok agama, melawan ketentuan atau
menolak keabsahan dalil yang disepakati sebagai dalil yang qath'i menghalalkan
atau mengharamkan segala sesuatu yang jelas qath-nya, menyangkal adanya
pencipta, sengaja mengotori mushaf Al-Quran, beribadah atau sujud kepada selain
Allah, dan lain-lain. Unsur yang
menjadikannya sebagai jazimah adalah kembalinya dia kepada agama semula atau
keluarnya dia dari agama Islam. Di samping itu, seperti pada jarimah lain,
adalah adanya kesengajaan atau iktikad jahat pelaku. Bentuk murtad dapat
diklasifikasikan dari contoh di atas, dapat berupa ucapan, perbuatan, atau
tidak berbuat dengan sengaja menentang dalil dengan iktikad atau keyakinan,
seperti keyakinan bahwa Allah sama dengan makhluk, dan sebagainya.
Barang siapa murtad dari agama Islam, dia diminta untuk bertobat
sebanyak tiga kali. Jika tidak mau, dia harus dibunuh. Imam Bukhari
meriwayatkan dari Ibnu Abbasia bahwa Rasulullah bersabda, “Barang siapa
mengganti agamanya, bunuhlah dia!" Dalam hadis lain, beliau bersabda,
"Seorang muslim tidak boleh dibunuh kecuali karena salah satu dari tiga
sebab, (karena) meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari jemaah kaum
muslimin."
Meminta agar orang yang murtad bertobat hukumnya wajib, sebelum
menjatuhkan hukuman mati. Hal ini sejalan dengan hadis riwayat Daruquthni dari
Jabir, ia berkata, “Seorang wanita yang bernama Ummu Ruman murtad dari agama
Islam. Mendengar itu, Rasulullah memerintahkan agar wanita itu diajak kembali
ke dalam ajaran Islam dengan baik-baik, jika tidak mau, ia harus dibunuh.
Sebagian ulama berpandangan bahwa penjatuhan hukuman mati
ditangguhkan selama tiga hari. Dalam masa itu, ia harus diminta terusmenerus
agar kembali masuk Islam. Hal ini sesuai dengan ucapan Umar tentang seorang
laki-laki yang dibunuh karena murtad, tetapi belum diberi masa tenggang tiga
hari, ia berkata, “Kenapa kalian tidak menahannya selama tiga hari lebih
dahulu, memberinya makan roti setiap hari, dan memintanya bertobat? Mungkin ia
sadar dan kembali ke jalan Allah. Akan tetapi, menurut pendapat yang lebih kuat
dalam mazhab Syafi'i, hukuman mati tidak perlu ditangguhkan hingga tiga hari,
sesuai dengan hadis yang diriwayatkan Bukhari (6525) dan Muslim (1733) tentang
penugasan Abu Musa Al-Asy'ari di daerah Yaman. Dalam penggalan hadis itu
tertera, “Muaz bin-Jabal datang menemui Abu Musa. Ketika ia sampai kepadanya,
Abu Musa melemparkan bantal, seraya berkata,"Duduklah", tiba-tiba
Muaz melihat seorang laki-laki yang diikat di tempat itu, dan ia bertanya, Ada
apa ini?" Abu Musa menjawab, "Ini adalah seorang Yahudi yang masuk Islam
lalu kembali lagi memeluk agama Yahudi. " "Duduklah!" mkasnya.
Muaz menjawab, "Saya tidak akan duduk sebelum orang ini di hukum mati! Ini
adalah ketetapan Allah dan Rasul-Nya." Ia mengulang ucapannya tiga kali,
Abu Musa pun memerintahkan agar orang itu dibunuh.
Orang murtad yang dieksekusi mati tidak
dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dikuburkan di pemakaman kaum muslim
karena ia telah keluar dari kelompok orang Islam. Allah SWT berfirman:
“.. Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu sampai kamu murtad
(keluar) dari agamamu, jika mereka sanggup”
(QS. Al-Baqarah [2]: 21 7)
Orang yang meninggalkan shalat wajib terbagi menjadi dua. Orang
yang meninggalkannya karena berkeyakinan bahwa ia tidak wajib, hukum orang ini
sama dengan hukum orang yang murtad dari agama Islam. Oleh karena itu, ia harus
bertobat. Sebagai bukti tobatnya, ia harus shalat secara terang-terangan dan
mengumumkan bahwa ia telah meyakini kewajiban shalat. Apabila tidak bertobat,
ia harus dibunuh dan dihukum sebagai orang kafir. Ia tidak dimandikan, tidak
dishalatkan, dan tidak dikuburkan di pemakaman kaum muslim.
Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir, ia berkata, ”Aku mendengar
Rasulullah bersabda,Yang membedakan antara seorang muslim dengan kemusyrikan
dan kekafiran adalah meninggalkan shalat." Hadis ini khusus bagi orang
yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya. Meninggalkan shalat
karena malas dengan tetap berkeyakinan bahwa shalat itu wajib. Orang seperti
ini harus diminta bertobat dan shalat baik untuknya. Jika tidak, ia dijatuhi hukuman
mati berdasarkan hukuman had dan tetap dianggap gai muslim Bukhari dan Muslim
meriwayatkan dan' Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda, “Aku diperintahkan
untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak
disembah, selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat dan
menunaikan zakat. Apabila mereka mengenakan semua itu, nyawa dan harta mereka
telah aman, kecuali berdasarkan ketentuan hukum Islam, dan ganjaran amal mereka
ada kepada Allah."
Hadis di atas menerangkan bahwa barang siapa
yang telah mengucapkan kalimat syahadat, dia harus dihukum mati jika
meninggalkan shalat wajib, tetapi ia tidak dihukum kafir. Hal ini dipertegas dalam hadis lain riwayat Abu Dawud (1420) dari
Ubadah bin Shamit, ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah bersabda, 'Ada
lima waktu shalat yang Allah wajibkan bagi hamba-hamba-Nya. Barang siapa
mengerjakannya dengan tidak meremehkan dan melalaikan tata cara pelaksanaannya,
Allah berjanji akan memasukannya ke dalam surga. Barang siapa yang tidak
mengerjakannya, Allah tidak memiliki janji dengannya. Jika berkehendak, Allah
bisa mengazabnya, (atau jika Allah berkehendak bisa mengampuninya) dan
memasukannya ke surga ."
Dalam hadis itu diuraikan bahwa orang yang
meninggalkan shalat karena malas tidak dihukum kafir, tepatnya pada sabda
Rasulullah SAW, ”Jika berkehendak, Allah bisa mengazabnya (atau
mengampuninya) dan memasukkannya ke surga."
Orang kafir tidak akan masuk surga. Oleh karena itu, hadis ini
untuk kategori orang yang meninggalkan shalat karena malas. Ketika meninggal,
orang ini tetap dimandikan, dikatani, dishalatkan, dan dikuburkan di pemakaman
kaum muslim karena termasuk golongan kaum muslimin.
b)
Sanksi
Hukum Riddah
Dalam Islam, orang murtad dikenai hukuman berat sebab perbuatannya
dapat memorak-morandakan jemaah serta memancing perpecahan masyarakat. Oleh
karena itu, demi kelestarian jemaah dan mencegah perpecahan dalam jemaah, pelakunya
harus dihukum. Di samping itu, konsekuensi riddah adalah terputusnya hubungan
waris dan bubarnya perkawinan. Bahkan, gugurnya semua amal yang telah
diperbuat. Asas legalitas jarimah riddah dapat dilihat dalam ketentuan di bawah
ini:
"Barang
siapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka
mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni
neraka, mereka kekal di dalamnya." (Q.S. Al-Baqarah [2]: 217)
Rasulullah SAW menyatakan, “Barang siapa yang mengubah agamanya,
bunuhlah dia. " (H.R. Bukhari)
Paksaan terhadap orang Islam untuk mengucapkan kalimat kufur tidak
bisa mengeluarkan dari agamanya (Islam) sepanjang hatinya tetap teguh memegangi
keimanan terhadap iman Islamnya. Mengenai paksaan ini, Ammar bin Yasir juga
telah pernah dipaksa Untuk mengucapkan kalimat kufur. Ia ucapkan kalimat itu.
Kemudian turunlah firman Allah SWT:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ
وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا
فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Barang siapa
kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali
orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (ia tidak berdosa),
tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah
menimpanya dan mereka akan mendapat azab yang besar. (QS. An-Nahl [16]: 106)
Pada suatu ketika orang-orang kafir menangkap
Ammar bin Yasir, ayahnya, ibunya, Shuhaib, Bilal, Khabbab, dan Salim. Mereka disiksa oleh orang-orang kafir. Samiyyah, ibu Ammar, diikat
antara dua unta. Kemudian, di depannya dipasang tombak, kepadanya dikatakan, “Engkau
masuk Islam karena laki-laki!" Setelah itu, ia dibunuh bersama
suaminya. Pada saat itu pula, Ammar dipaksa berikrar untuk masuk kekafiran,
Ammar menuruti paksaan mereka. Setelah peristiwa ini, Ammar minta keterangan
kepada Rasulullah SAW. Rasul bertanya,“Bagaimana keadaan hatimu?"
Jawab Ammar, “Hatiku tetap teguh memegangi keimanan terhadap agama
Islam!" Rasulullah SAW. berkata, “Kalau mereka kembali kepadamu,
katakanlah seperti tadi!"
Orang Islam jika keluar dari agamanya adalah murtad. Hukum Allah
masih berlaku padanya. Akan tetapi, adakah riddah hanya terbatas kepada
orang-orang Islam yang keluar dari agamanya? Ataukah riddah mencakup nonmuslim
yang keluar dari agamanya dan pindah ke agama non-Islam? Orang kafir yang
pindah dari agamanya ke agama non-Islam dinilai menurut agama yang
ditinggalkannya dan itu tidak bisa dicegah. Karena ia pindah dari agama yang
tidak benar ke agama lain yang juga tidak benar. Perpindahan agama seperti ini
tidak bisa disamakan dengan perpindahan agama dari Islam ke agama lain karena
sama dengan pindah dari kebenaran ke tempat yang tidak benar. Allah SWT
berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ
وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
"Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan
diterima dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Ali 'Imran [3]: 85)
Dalam hal ini Imam Syafi'i mempunyai dua pendapat.
1) Apabila orang kafir pindah ke agama lain yang juga kafir, ia tidak
dapat diterima, kecuali masuk Islam atau dibunuh. Pendapat ini sesuai dengan
salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Ahmad.
2) Apabila orang kafir pindah ke agama lain yang juga kafir, tetapi
sepadan kualitasnya lebih tinggi, kita setuju terhadap hal seperti ini. Apabila
ia pindah ke agama lain yang juga kafir, tetapi kualitasnya lebih rendah, kita
tidak setuju terhadap hal itu. Dengan demikian, jika seseorang pindah dari
Yahudi ke Nasrani, kita setuju. Karena Yahudi itu kualitasnya sama dengan
Nasrani, sama-sama agama samawi menurut asalnya, kemudian diubah oleh
penganutnya.
Banyak terjadi riddah ditimbulkan oleh keragu-raguan dalam jiwa
sehingga mendesak iman untuk keluar. Walaupun demikian. orang yang berbuat
riddah diberi kesempatan untuk menghilangkan keraguannya. Ia harus diberi dalil-dalil
dan bukti-bukti yang dapat mengembalikan keimanan ke dalam hatinya sehingga ia
yakin. Dengan demikian, menganjurkan kepadanya untuk bertobat dan kembali ke
dalam Islam termasuk hal yang wajib.
Menurut sebagian ulama, kesempatan yang diberikan kepada orang
murtad untuk menghilangkan keraguannya dan kembali lagi ke dalam Islam adalah
tiga hari. Sebagian ulama lain mengatakan bahwa orang yang murtad hanya diberi
penjelasan dan pandangan secara berulang-ulang sehingga dapat diperkirakan
dengan mantap, apakah ia tetap murtad atau kembali ke Islam. Apabila ia tetap
murtad, ia dijatuhi had.
Ulama yang mengatakan diberi kesempatan tiga
hari, berpegang pada tindakan Umar, ketika datang seorang laki-laki dari Syam
kepadanya. Umar bertanya, 'Adakah kabar dari
daerah yang jauh?" Jawab laki-laki tersebut, 'Ada, yaitu kabar seorang
laki-laki bertindak murtad setelah ia beragama Islam!" Umar bertanya, “Apa
yang kau kerjakan?" Jawab laki-laki tersebut, “Dia kudekah' dan kubunuh.
" Umar bertanya,“Mengapa tidak kau penjarakan di rumah selama tiga hari;
kau beri makan roti setiap harinya dan kau anjurkan bertobat, mungkin ia akan
mau dan kembali ke agama Islam? Ya, Tuhan, sungguh aku tidak menyaksikan
tindakan laki-laki ini. Aku tidak menyuruhnya. Aku tidak setuju terhadap
tindakan ini! Ya, Tuhan, sungguh aku tidak ikut campur terhadap darah yang
dialirkannya!" Ibarat ini diriwayatkan oleh Imam Syafi'i.
Adapun ulama yang mempunyai pendapat kedua
berpegang pada tindakan Muaz, bahwa pada suatu ketika ia datang ke Yaman dan
bertemu Abu Musa Al-Asy'ari. Di samping Abu
Musa ada seorang laki-laki yang terikat. Muaz bertanya, ‘Ada apa ini?” Jawab
Abu Musa, “Laki-laki ini berasal dari Yahudi. Ia masuk Islam lalu kembali lagi
ke agama asalnya, yaitu Yahudi! "
Perlu diketahui bahwa laki-laki yang terikat itu telah dianjurkan
bertobat selama 20 malam atau hampir 20 malam sebelum Muaz datang. Muadz
berkata, ”Aku tak mau duduk sehingga ia dibunuh. Bunuh itu putusan Rasulullah
SAW.!" Muaz mengulangi ucapannya tiga kali sehingga dibunuhlah laki-laki
itu.
Apabila orang Islam bertindak murtad, terjadi perubahan berikut.
1)
Hubungan perkawinan
Jika suami atau istri murtad, putus hubungan
perkawinannya karena riddahnya salah satu dari suami istri merupakan hal yang
mengharuskan pisah. Apabila salah
satu dari suami-istri yang murtad itu bertobat dan kembali lagi ke Islam, untuk
mengadakan hubungan perkawinan seperti semula, mereka harus memperbaharui lagi
akad nikah dan mahar.
2)
Hak
waris
Orang murtad
tidak boleh mewarisi harta peninggalan kerabat-kerabat muslimnya karena orang
murtad adalah orang yang tidak beragama. Jika ia tidak beragama, tentu ia tidak
boleh mewarisi harta peninggalan kerabat-kerabat muslimnya. Apabila ia mati
atau dibunuh, harta peninggalannya diambil alih oleh para pewarisnya yang
beragama Islam karena sejak ia murtad, ia telah dianggap dan dihukum sebagai
mayat. Ali pernah didatangi seorang laki-laki tua yang asalnya beragama
Nasrani, kemudian masuk agama Islam dan akhirnya kembali lagi ke Nasrani. Ali
berkata, “Mungkin kamu murtad hanya untuk mendapatkan harta warisan dan setelah
itu kamu kembali lagi ke dalam Islam?" Laki-laki tua itu menjawab,
“Tidak!" Ali berkata, atau mungkin kamu melamar seorang perempuan, tetapi
orang-orang tidak mau mengawinkanmu dengan perempuan itu. Kemudian kamu murtad
untuk dapat mengawininya, dan setelah itu kamu kembali lagi ke dalam Islam?”
Laki-laki tua itu menjawab, 'Aku tidak akan kembali ke Islam sehingga aku
menemui Almasih!" Laki-laki tua itu pun dipenggal lehernya. Kemudian, harta
peninggalannya diserahkan kepada anaknya yang beragama Islam.
3)
Hak
kewaliannya
Orang yang
murtad tidak mempunyai hak kewalian terhadap orang lain. Ia tak boleh menjadi
wali untuk anaknya. Dalam kitab Al-Maswa dijelaskan secara ringkas bahwa orang
yang mengingkari dan tidak mau mengakui agama Islam, baik lahir atau batin,
disebut kafir. Apabila ia mengakui agama Islam dalam mulut, tapi hatinya
ingkar, ia disebut munafik. Apabila ia mengakui agama Islam lahir dan batin.
tetapi dalam Islam ia menafsirkan ajaran agama yang telah ditetapkan (secara
pasti) dengan tafsiran yang berbeda dengan para sahabat, tabiin, dan konsensus
bersama, ia disebut zindiq.
Contohnya riddah Zindiq adalah
seseorang yang mengakui bahwa Al-Quran itu benar. Sesuatu yang terkandung di
dalamnya -termasuk surga dan neraka-, juga benar. Akan tetapi, surga yang
disebut dalam Al-Quran ditafsirkan dengan kemewahan yang terjadi disebabkan
memiliki harta benda yang banyak. Neraka ditafsirkan dengan kesengsaraan yang
terjadi karena kemelaratan dan kemiskinan. Dengan demikian, surga dan neraka
tidak ada di akhirat. Surga dan neraka hanya suatu perasaan senang dan
sengsara. Orang yang punya tafsiran seperti ini dinamakan Zindiq.
Sebagaimana syara' telah menegakkan hukum bunuh sebagai peringatan
bagi orang murtad agar segera kembali ke Islam. Syara' . juga menegakkan hukum
bunuh yang merupakan peringatan bagi orang Zindiq agar segera meninggalkan
tafsirannya yang sesat dalam agama.
6.
Jarimah Sariqah
a)
Pengertian
Sariqah
Sariqah adalah
bentuk mashdar dari kata saraqa-yasriqu-saraqan dan secara etimologis
berarti mengambil harta milik seseorang secara sembunyi-sembunyi dan
dengan tipu daya. Sementara itu, secara terminologis definisi sariqah
dikemukakan oleh beberapa ahli berikut.
1)
Ali
bin Muhammad Al-Jurjani.
Sariqah dalam syariat Islam yang pelakunya harus diberi hukuman potong tangan
adalah mengambil sejumlah harta senilai sepuluh dirham yang masih berlaku,
disimpan di tempat penyimpanannya atau dijaga dan dilakukan oleh seorang
mukallaf secara sembunyi-sembunyi serta tidak terdapat unsur syubhat, sehingga
kalau barang itu kurang dari sepuluh dirham yang masih berlaku maka tidak dapat
dikategorikan sebagai pencurian yang pelakunya diancam hukuman potong tangan.
2) Muhammad Al-Khatib Al-Syarbini (ulama mazhab Syafi'i) .
Sariqah secara bahasa berarti mengambil harta (orang lain) Secara
sembunyi-sembunyi dan secara istilah syara' adalah mengambil harta (orang lain)
secara sembunyi-sembunyi dan zalim, diambil dari tempat penyimpanannya yang
biasa digunakan untuk menyimpan dengan berbagai syarat.
3) Wahbah Al-Zuhaili.
Sariqah ialah mengambil
harta milik orang lain dari tempat penyimpanan. nya yang biasa digunakan untuk
menyimpan secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Termasuk dalam kategori
mencuri adalah mencuri-curi informasi dan pandangan jika dilakukan dengan
sembunyi-sembunyi.
4) Abdul Qadir Audah.
Ada dua macam
sariqah menurut syariat Islam, yaitu sariqah yang diancam dengan had dan
sariqah yang diancam dengan ta'zir. Sariqah yang diancam dengan had dibedakan
menjadi dua, yaitu pencurian kecil dan pencurian besar. Pencurian kecil ialah
mengambil harta milik orang lain secara diam-diam. Sementara itu, pencurian
besar ialah mengambil harta milik orang lain dengan kekerasan. Pencurian jenis
ini juga disebut perampokan.
Dari beberapa rumusan definisi sariqah di atas, dapat disimpulkan bahwa
sariqah ialah mengambil barang atau harta orang lain secara sembunyi-sembunyi
dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan barang atau
harta kekayaan tersebut.
Melengkapi definisi yang di atas, Abdul Qadir Audah memberikan
penjelasan sebagai berikut.
Perbedaan antara pencurian kecil dan pencurian besar; pencurian
kecil ialah pengambilan harta kekayaan yang tidak disadari oleh korban dan
dilakukan tanpa izin. Pencurian kecil ini harus memenuhi dua unsur tersebut
secara bersamaan. Kalau salah satu dari kedua unsur tersebut tidak ada, tidak
dapat disebut pencurian kecil. Jika ada seseorang yang mencuri harta benda dari
sebuah rumah dengan disaksikan si pemilik dan pencuri tidak menggunakan
kekuatan fisik dan kekerasan, maka kasus seperti ini tidak termasuk pencurian
kecil, tetapi penjarahan. Demikian juga seseorang yang merebut harta orang
lain, tidak masuk dalam jenis pencurian kecil, tetapi pemalakan atau
perampasan. Baik penjarahan, penjambretan, maupun perampasan; semuanya termasuk
ke dalam lingkup pencurian. Meskipun demikian, jarimah itu tidak dikenakan
hukuman had (tetapi hukuman ta’zir) . Seseorang yang mengambil harta dari
sebuah rumah dengan direlakan pemiliknya dan tanpa disaksikan olehnya, tidak
dapat dianggap pencuri.
Dari penjelasan
ini, dapat diketahui bahwa jenis dan modus operandi Pentiurian kecil itu
beragam. Selain itu, pengklasifikasian jarimah ini juga Penting untuk
menentukan jenis sanksi yang akan dijatuhkan. Selanjutnya, Abdul Qadir Audah
menjelaskan mengenai pencurian besar.
Adapun
pencurian besar dilakukan dengan sepengetahuan korban, tetapi ia tidak
mengizinkan hal itu terjadi sehingga terjadi kekerasan. Kalau di dalamnya tidak
terdapat unsur kekerasan, disebut penjarahan, penjambretan, atau perampasan; di
mana unsur kerelaan pemilik harta tidak terpenuhi.
Jadi, jenis
pencurian itu bertingkat-tingkat. Kalau diurutkan dari tingkat terendah sampai
tertinggi berdasarkan cara melakukannya adalah penjarahan, penjambretan,
perampasan, dan perampokan.
b)
Dalil,
Nisab Barang Curian, Dan Sanksi Terhadap Pencuri
Ulama
menyatakan bahwa pencurian termasuk salah satu dari tujuh jenis jarimah hudud.
Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 38 sebagai berikut.
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ
اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan
yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana
Di dalam ayat
ini Allah menyatakan secara tegas bahwa laki-laki pencuri dan perempuan pencuri
harus dipotong tangannya. Ulama telah sepakat dengan hal ini, tetapi mereka
berbeda pendapat mengenai batas minimal (nisab) barang curian dan tangan
sebelah mana yang harus dipotong. Sehubungan dengan hal itu, Al-Qurthubi
mengemukakan pendapatnya sebagai berikut.
Allah memulai
ayat (tentang hukum potong tangan) dengan kata sebelum kata yang merupakan
kebalikan dari susunan ayat tentang zina yang nanti akan kami jelaskan di
bagian akhir bab. Sejak zaman jahiliah, pencuri telah diancam dengan hukuman
potong tangan. Orang pertama yang memberi keputusan hukuman ini adalah Al-Walid
bin Al-Mughirah. Kemudian Allah memerintahkan untuk memberlakukan hukuman ini
dalam Islam. Laki-laki pencuri pertama yang tangannya dipotong oleh Rasulullah
adalah Al-hiyar bin Adi bin Naufal bin Abdi Manaf. Perempuan pencuri pertama yang
dihukum potong tangan adalah Murrah binti Sufyan bin Abdi Al-Asad dari Bani
Mahzum. Abu Bakar pernah memotong tangan kanan seorang pencuri kalung dan Umar
memotong tangan Ibnu Samurah, saudara Abdurrahman bin Samurah. Hal ini telah
disepakati bersama. Sepintas ayat ini bersifat Umum, setiap pencuri harus
dihukum potong tangan. Akan tetapi ternyata tidak demikian, sebab terdapat
sabda Rasulullah , Tangan pencuri akan dipotong jika mencari sesuatu yang
harganya seperempat dinar atau lebih. Jadi jelaslah bahwa hukuman ini hanya
berlaku pada sebagian pencuri, bukan setiap pencuri. Pencurian kurang dari
seperempat dinar tidak terkena hukuman potong tangan. Inilah pendapat Umar bin
AlKhaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Abdul Aziz, Al-Laits,Al-Syafi'i,
dan Abu Saur. Imam Malik berkata, “Tangan pencuri dipotong juga karena
mencuri seperempat dinar atau tiga dirham. Kalau mencuri sesuatu seharga dua
dirham yang senilai seperempat dinar, karena selisih nilai tukarnya; tangan
pencuri tersebut tidak boleh dipotong.”
Dengan
demikian, ayat tentang potong tangan harus dihubungkan dengan hadis Nabi.
Berikut ini versi lengkap dari hadis tersebut.
Dari Aisyah
ra., ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tangan pencuri akan dipotong
jika mencuri seharga seperempat dinar atau lebih.” (HR. Muttafaq 'Alaih) “Tangan pencuri dipotang karena mencuri
seperempat dinar atau lebih” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Dan Aisyah, “Potonglah
tangan pencuri yang mencuri seperempat dinar dan jangan dipotong pada pencurian
yang kurang dari itu.” (HR. Ahmad)
Walaupun dalam
hadis dinyatakan secara jelas bahwa nisab barang curian yang tangan pelakunya
dapat dipotong adalah seperempat dinar atau tiga dirham, ulama masih berbeda
pendapat. Mengenai hal ini, Al-San'ani berkomentar:
Jumhur ulama berbeda pendapat mengenai nisab. Setelah mereka
sepakat mensyaratkan (harus mencapai nisab) bagi pencuri yang dapat dihukum
potong tangan, muncul keberagaman pendapat hingga berjumlah dua puluh.
Selanjutnya,
Al-Qurthubi mengemukakan pendapat Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bin
Hasan Al-Syaibani. Abu Hanifah dan dua orang sahabatnya (Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan
Al-Syaibani) berpendapat bahwa tangan pencuri tidak harus dipotong, kecuali ia
mencuri sesuatu senilai sepuluh dirham, baik berupa takaran, uang dinar, maupun
timbangan. Selain itu, tangan pencuri juga
tidak harus dipotong sebelum ia mengeluarkan barang berharga dari kepemilikan
seseorang. Alasan mereka adalah hadis Ibnu Abbas yang mengatakan, “Perisai
yang pencurinya dihukum potong tangan oleh Nabi SAW adalah perisai yang senilai
sepuluh dirham.” Di samping itu, hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin Syu’aib
dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, “Harga sebuah perisai pada saat itu
sebesar sepuluh dirham.” (Hadis ini di-takhrij oleh Al-Daraquthni dan
lain-lain).
Dengan
demikian, pendapat para ulama mengenai nisab barang curian setidaknya terbagi
menjadi dua kelompok. Pertama, ulama Hijaz, Imam Al-Syafi'i, dan lain-lain.
Kedua, ulama Irak, Imam Abu Hanifah, dan lain-lain. Dalam masalah ini
Al-San'ani tampaknya cenderung kepada kelompok pertama yang menyatakan bahwa nisabnya seperempat dinar atau tiga
dirham, bukan sepuluh dirham sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah dan
kawan-kawan, Sehubungan dengan itu, Al-San'ani berkomentar:
Disebutkan
didalam kitab Sahih (Al-Bukhci'ri dan Muslim) dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW
memotong tangan pencuri sebuah perisai. Sekalipun informasi ini terdapat di
dalam kedua kitab Sahih harga perisai tersebut adalah tiga dirham. Riwayat
tentang hal ini bertentangan dengan riwayatriwayat lain di dalam kedua kitab Sahih.
Oleh karena itu, hukumnya menjadi wajib berhati-hati mengenai diperbolehkannya
memotong anggota tubuh orang yang dihormati, kecuali dengan cara yang
dibenarkan. Selain itu, wajib berpegangan pada pendapat yang meyakinkan dan
inilah pendapat yang mayoritas.
Selanjutnya,
Syamsul Haq Azim Abadi memberikan komentar mengenai nisab barang curian. Para
ulama berbeda pendapat hingga mencapai dua puluh pendapatsetelah mereka
mengajukan syarat mengenai nisab hukum potong tangan. Ada dua pendapat yang
didasarkan atas dalil. Pertama, nisab barang curian yang tangan pelakunya harus
dipotong adalah seperempat dinar atau tiga dirham. Ini pendapat fuqaha Hijaz,
Al-Syafi'i, dan lain-lain. Kedua, nisabnya sepuluh dirham. Ini pendapat ulama
Irak. Adapun pendapat yang sahih (kuat) di antara keduanya adalah pendapat
pertama. Inilah kesimpulan penulis kitab Subul Al-Salam (Al-San'ani) .
Sementara itu,
Al-Syaukani berpendapat bahwa hadis tentang nisab yang dijadikan hujjah bagi
Abu Hanifah dan lain-lain berasal dari Ibnu Abbas dan Amr bin Al-Ash yang
status hadisnya adalah mu'an'an. Semua hadis itu berasal dari Muhammad bin
Ishaq dan menjadi tidak sah apabila bertentangan dengan hadis yang terdapat di
dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim. Berikut ini penjelasan Al-Syaukani
mengenai hal tersebut.
Terdapat
riwayat serupa (yang menguatkan pendapat Al-Syafi’i dan ulama Hijaz) dari Ibnu
Al-Arabi yang juga didukung oleh Sufyan (Ibnu Uyainah) dengan kejelasannya.
Akan tetapi, riwayat-riwayat dari Ibnu Abbas dan Abdullah bin Amr bin Al-Ash
dibantah karena seluruh rangkaian sanadnya berasal dari Muhammad bin Ishaq yang
berstatus mu'an'an. Riwayat-riwayat tersebut dianggap tidak sah karena
bertentangan dengan kitab Sahih (Al-Bukhari dan Muslim) dari Ibnu Umar dan
Aisyah. Pendapat serupa dikemukakan oleh Imam Al-Nawawi dalam Syarh Sahih
Muslimnya.
Pendapat yang
benar adalah apa yang dikemukakan oleh Al-Syafi'i dan ulama-ulama yang
sependapat dengannya karena Nabi SAW menyebutkan tentang nisab sebesar
seperempat dinar dalam beberapa hadis dengan berbagai redaksinya. Oleh karena
itu, semua informasi yang berbeda dengan ukuran ini tidak dapat diterima, sebab
bertentangan dengan hadis-hadis tersebut.
Adapun mengenai
nilai tukar dinar terhadap rupiah, harga jual satu gram emas per 27 Agustus
2007 adalah 199.500 rupiah dan harga belinya adalah 202.000 rupiah.
Selanjutnya, diambil rata-rata per gram sehingga menjadi 200.000 rupiah dan
seperempatnya adalah 50.000 rupiah. Angka tersebut tidaklah fantastis jika
tangan si pencuri harus dipotong. Untuk tahun 2013 ini harga emas per gram
lebih kurang 600.000 rupiah. Seperempatnya adalah 200.000 rupiah. Hal
sebaliknya dikemukakan oleh Shalih Al-Utsaimin. Ia berpendapat: Riwayat yang
dikemukakan oleh pengarang sudah sangat jelas. Tangan pencuri harus dipotong
jika mencuri seperempat dinar atau lebih. Jatuhkan sanksi potong tangan karena
mencuri seperempat dinar dan batalkan sanksi itu kalau yang dicuri kurang dari
seperempat dinar. Hal ini sangat jelas. Selanjutnya, kalau ada yang mengatakan
bahwa Rasulullah SAW memberlakukan hukum potong tangan karena mencuri
seperempat dinar dinilai besar. Saat itu harga seekor kambing adalah satu
dinar, sedangkan untuk saat ini seperempat dinar nilainya sedikit sekali.
Jawabannya bukan, bukan begitu. Pemikiran seperti ini tidak dapat diterima.
Sebab sesuatu yang telah ditetapkan oleh syariat harus diambil begitu saja.
Padanannya adalah zakat unta pada zaman Rasulullah SAW sebanyak dua ekor
kambing atau dua puluh dirham. Saat ini kalau diminta mengeluarkan zakat sebanyak
beberapa dirham, maka kita akan memberikan dua puluh dirham.
Dengan melihat
paparan Al-Utsaimin, dapat dimengerti bahwa tidak terlalu penting untuk
mengontekstualisasikan ajaran Islam dari sisi angka. Menurutnya yang terpenting
adalah menerima sepenuhnya ajaran Islam tanpa harus mempertanyakan lebih
lanjut. Prinsip Shalih Al-Utsaimin seperti ini membuat semangat intelektualitas
seseorang menjadi konservatif. lvleskiput1 demikian, hal yang menarik adalah
mengenai zakat. Orang tidak begitu mempermasalahkan angka dua puluh dirham atau
dua ekor kambing. Akantetapi jika menyangkut nisab barang curian, orang
cenderung meributkannya. Sementara itu ulama kharismatik Mesir, Syaikh
Mutawalli Al-Sya'rawi,berpandangan sebagai berikut.
Bagaimana kita memberi nilai angka seperempat dinar untuk saat ini?
Kalau seperempat dinar tidak cukup untuk hidup, maka wajib menaikkan nilai
nisab tersebut sampai pada nilai tertentu yang dinilai cukup untuk membiayai
kebutuhan hidup. Dinar pada zaman dahulu berupa emas sehingga angka seperempat
nilainya sangat tinggi. Dulu harga satu gram emas sama dengan 790,5 qursy,
tetapi sekarang harga per gram emas sama dengan dua ratus tujuh puluh pound
Mesir. Terkadang ada seseorang yang terpaksa mencuri karena memang sangat butuh
atau kelaparan. Oleh karena itu, syariat Islam menentukan sebuah ukuran yang
tidak melebihi keperluan untuk keberlangsungan hidup pelaku dan orang yang di
bawah tanggungannya, yaitu berupa dirham. Mencuri satu dirham tidak dikenai
hukuman had seakan-akan tidak berdosa. Demikian itu ketika cara-cara yang
disyariatkan dilaksanakan untuk mendapatkan kebutuhan pokok. Kita juga
mengetahui bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan satu dirham kepada seseorang,
lalu bersabda, “Belilah makanan untukmu dan keluargamu.” Satu dirham seperti
yang kami katakanpada saat itu cukup (banyak). Satu dirham merupakan bagian
terkecil dari uang senilai dua belas dinar. Jadi, seperempat dinar sama dengan
tiga dirham. Satu dirham pada saat sekarang ini sama dengan dua puluh pound
Mesir.
Sebagai seorang
ulama besar kharismatik yang sangat populer di Mesir. Al-Sya'rawi tampak lebih
dinamis dibandingkan dengan Shalih Al-Utsaimin Hal ini terlihat dari cara
Al-Sya'rawi menjelaskan konsep seperempat dinar yang nilainya sama dengan tiga
dirham dan bahkan ia mencoba mengontekstualisasikan persoalan ini ke zaman
sekarang. Memang masalah ini harus dipahami tidak hanya melalui pendekatan
ekonomis-matematis, tetapi juga harus melibatkan aspek sosiologis-historis.
Artinya, makna nilai yang seperempat dinar pada zaman Nabi SAW harus dilihat
juga dari sisi kondisi ekonomi ketika itu. Hal seperti ini penting dilakukan
mengingat nilai mata uang sangat fluktuatif. Mengenai nilai yang diajukan
Al-Sya'rawi, menurut penulis, juga tidak fantastis. Ia menyebutkan satu dirham
sama dengan dua puluh pound Mesir. ]adi, nisab barang curian yang sudah wajib
dipotong tangannya hanya sekitar 20 X 3 = 60 pound Mesir.
Untuk dapat
mengetahui berapa nilai tiga dirham dalam kurs rupiah, harus diukur dengan
dolar Amerika Serikat. Satu dolar Amerika Serikat sama dengan 5,7 pound Mesir.
Dengan demikian, tiga puluh pound Mesir sama dengan 10,52 dolar Amerika
Serikat. Jika satu dolar Amerika Serikat sama dengan 9500 rupiah, maka 10,52
dolar Amerika Serikat sama dengan 99.940 rupiah dan dapat dibulatkan menjadi
100.000 rupiah. Inilah perkiraan seperempat dinar atau tiga dirham, yaitu
100.000 rupiah.Di samping persoalan nisab barang curian sebagai penjabaran dari
tafsif kalimat persoalan lain yang juga diperdebatkan oleh ulama adalah penafsiran
kata kedua tangan pencuri (baik laki-laki maupun perempuan). Dalam
menafsirkan makna ini, Muhammad Ali Al-Sabuni berpendapat sebagai berikut.
Kandungan hukum kelima adalah batas pemotongan tangan pencuri. Firman Allah
yang menunjukkan sanksi potong tangan dalam pencurian hukumnya wajib. Fuqaha
sepakat bahwa tangan yang harus dipotong adalah tangan kanan. Hal ini
didasarkan atas bacaan lbnu Mas'ud yakni (potonglah tangan kanan keduanya).
Kemudian ulama berselisih pendapat mengenai batasan makna tangan. Fuqaha
berpendapat bahwa yang dipotong itu sebatas pergelangan tangan, bukan sebatas
siku atau pundak. Namun kelompok Al-khawarij berpendapat, hingga pundak.
Sementara itu, kelompok lain memahami cukup sampai bagian jari saja.
Perbedaan
pendapat tentang batasan tangan ini terjadi karena semua batasan yang mereka
sebutkan termasuk ke dalam cakupan makna tangan; baik jari, pergelangan,
siku, maupun sampai bagian pundak. Selanjutnya mengenai prosedur, Al-Qurthubi
menjelaskan sebagai berikut.
Tidak diperselisihkan
(oleh ulama) bahwa tangan kananlah yang pertama kali harus dipotong. Akan
tetapi, ulama berbeda pendapat jika pencuri itu mencuri lagi. Imam Malik,
penduduk Madinah, Imam Al-Syafi'i, Abu Tsaur, dan lain-lain berpendapat
dipotong kaki kirinya. Kemudian untuk ketiga kalinya dipotong tangan kirinya.
Kemudian untuk keempat kalinya dipotong kaki kanannya. Kemudian untuk kelima
kalinya (karena kedua tangan dan kaki telah buntung) maka dihukum ta’zir dan
ditawan. Syariat Islam terkesan sangat keras, Islam juga mengedepankan aspek
yuridis formal dan memperhatikan hak-hak terdakwa. Untuk mengeksekusi pelaku,
diperhatikan terlebih dahulu syarat dan rukun sebuah jarimah. Berkaitan dengan
masalah perlindungan hak terdakwa, Rasulullah memberikan saran setelah tangan
pencuri dipotong dlberikan layanan perawatan agar tidak mengalami infeksi.
Dalam hal ini, Ibnu Al-Munzir seperti dikutip oleh Al-Qurthubi, berkata: Ibnu
Al-Munzir berkata, “Kami meriwayatkan dari Nabi SAWbahwa beliau pernah
memerintahkan agar memotong tangan seorang pencuri seraya berkata, 'Panasilah
tangan yang telah dipotong itu.'" Sementara itu, Al-Qurthubi berkata bahwa
sanad hadis ini dipertanyakan. Meskipun demikian, sekelompok besar ulama,
antara lain Al-Syafi'i, Abu Tsaur, dan lain-lain menganggap bahwa dipanasinya
tangan yang telah dipotong itu sebagai suatu hal yang baik dan dapat membantu
proses penyembuhan agar tidak meninggal (karena darahnya terus mengalir) .
Dari pernyataan Ibnu Al-Mundzir yang dikutip oleh Al-Qurthubi di atas,
dapat diketahui bahwa sekalipun sanksi tegas diberlakukan kepada pencuri,
haknya tetap diperhatikan. Memang kalau
tidak dipahami secara baik maksud dipanasinya tangan yang telah dipotong tentu
saja akan terkesan sangat keras, bahkan mengerikan. Sudah dipotong masih juga
dipanasi.
Adapun
kata membakar, Tangan yang telah dipotong itu dipanasi agar darah yang
mengalir deras dapat segera berhenti sehingga tidak terinfeksi. Menurut
penulis, para dokter ahli bedah memiliki andil yang sangat besar dalam masalah
ini. Mereka dapat menemukan cara yang lebih baik untuk mengatasinya tanpa
mengubah syariat
.
c)
Syarat
Dan Rukun Jarimah Sariqah
Dalam
memberlakukan sanksi potong tangan, harus diperhatikan aspek-aspek penting yang
berkaitan dengan syarat dan rukunnya. Dalam masalah ini Shalih Sa’id Al-Haidan,
dalam bukunya Hal Al-Muttaham fi Majlis Al-Qada' mengemukakan lima syarat untuk
dapat diberlakukannya hukuman ini, yaitu sebagai berikut.
a.
Pelaku
telah dewasa dan berakal sehat. Kalau pelakunya sedang tidur, anak kecil, orang
gila, dan orang dipaksa tidak dapat dituntut.
b.
Pencurian
tidak dilakukan karena pelakunya sangat terdesak oleh kebutuhan hidup.
Contohnya adalah kasus seorang hamba sahaya milik Hatib bin Abi Balta'ah yang
mencuri dan menyembelih seekor unta milik seseorang yang akhirnya dilaporkan
kepada Umar bin Al-Khaththab. Namun, Umar justru membebaskan pelaku karena ia
terpaksa melakukannya.
c.
Tidak
terdapat hubungan kerabat antara pihak korban dan pelaku, seperti anak mencuri
harta milik ayah atau sebaliknya.
d.
Tidak
terdapat unsur syubhat dalam hal kepemilikan, seperti harta yang dicuri itu
menjadi milik bersama antara pencuri dan pemilik.
e.
Pencurian
tidak terjadi pada saat peperangan di jalan Allah. Pada saat seperti itu,
Rasulullah tidak memberlakukan hukuman potong tangan. Meskipun demikian,
jarimah ini dapat diberikan sanksi dalam bentuk lain, seperti dicambuk atau
dipenjara.
Itulah syarat
yang harus dipenuhi untuk dapat memberlakukan hukuman potong tangan. Di samping
itu, hukuman ini baru dapat dilaksanakan setelah memenuhi beberapa rukun. Abdul
Qadir Audah mengemukakan rukun-rukun tersebut sebagai berikut.
Kami
mendefinisikan sariqah sebagaimana uraian di atas bahwa sariqah ialah mengambil
harta milik orang lain secara sembunyi-sembunyi. Dari definisi ini dapat diketahui
bahwa rukun sariqah ada empat, yaitu mengambil secara sembunyi-sembunyi, barang
yang diambil berupa harta, harta yang diambil tersebut milik orang lain, dan
melawan hukum.
1)
Mengambil
Secara Sembunyi-sembunyi
Proses
pengambilan ini harus sempurna, tidak cukup hanya dengan adanya pelaku yang
berada di dekat barang curian. Perihal mengambil barang orang lain ini harus
memenuhi tiga syarat. Pertama, pencuri mengambil barang curian itu dari tempat
penyimpanan. Kedua, barang curian tersebut dikeluarkan dari pemeliharaan pihak
korban. Ketiga, barang curian berpindah tangan dari pihak korban kepada pihak
pelaku. Kalau syarat-syarat ini tidak terpenuhi maka proses pencurian dinilai
tidak sempurna dan hukumannya berupa ta’zir, bukan potong tangan.
2)
Barang
yang Diambil Berupa Harta
Konsep harta
dalam Islam tampaknya terjadi pergeseran makna antara sebelum dan sesudah
dihapuskannya perbudakan oleh PBB. Dulu pada saat perbudakan masih eksis, hamba
sahaya laki-laki atau perempuan dianggap sebagai harta kekayaan sehingga orang
yang mencuri budak, dapat dikenai sanksi hukum potong tangan. Namun sejak
adanya kesepakatan PBB tentang dihapuskannya perbudakan, hamba sahaya tidak
lagi dianggap sebagai harta. Akibatnya, penculikan atau perdagangan manusia
tidak masuk ke dalam lingkup pembahasan mengenai pencurian. Namun, kini human
trafficking (perdagangan manusia) menjadi salah satu bentuk tindak pidana
modern yang harus dicermati dan ditangani dengan baik.
Selanjutnya,
agar pelaku pencurian dapat dikenai hukuman potong tangan, harus memenuhi
beberapa persyaratan seperti yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah berikut.
Harta yang
dicuri harus memenuhi beberapa syarat agar pelaku dapat dihukum potong tangan.
Syarat-syarat dimaksud adalah (1) berupa harta yang bergerak, (2) berupa benda
berharga, (3) disimpan di tempat penyimpanan, dan (4) harus mencapai nisab.
Perihal harta
yang dicuri, yaitu berupa benda berharga dan mencapai nisab, penulis telah
mengemukakannya. Adapun perihal harta yang berupa benda bergerak dan disimpan di tempat penyimpanan, dijelaskan oleh Abdul
Qadir Audah. Menurutnya, harta yang berupa benda bergerak adalah benda yang
memungkinkan untuk dipindahtangankan dan tidak harus berupa benda yang secara
fisik dapat dilihat mata. Oleh karena itu, seseorang yang mencuri aliran
listrik atau pulsa telepon dianggap sebagai pencuri karena benda benda tersebut
walaupun tidak kasat mata, tetap bernilai nominal dan dapat diidentifikasi
harganya. Sementara itu perihal tempat penyimpanan, Abdul Qadir Audah berkata:
“Sesungguhnya
unsur penting dalam jarimah pencurian adalah mengambil (sesuatu) dengan cara
sembunyi-sembunyi, sedangkan mengambil (sesuatu) bukan dari tempat
penyimpanannya tidak perlu sembunyi-sembunyi sehingga unsur terpenting dalam
pencurian tidak terealisasi apabila tidak diambil dari tempat penyimpanannya.”
3)
Harta yang Diambil Adalah Milik Orang Lain
Hal ini
penting, karena kalau ternyata harta yang diambil itu milik pelaku, sekalipun
dilakukan dengan sembunyi-sembunyi tetap tidak dapat disebut pencurian.
Demikian pula kalau harta tersebut menjadi milik bersama antara pelaku dan
korban, juga tidak termasuk pencurian. Hal serupa juga berlaku antara pelaku
dan korban yang memiliki hubungan kekerabatan, seperti ayah yang mengambil
harta anak atau --menurut Imam Al-Syaffi dan Ahmad-sebaliknya. Alasannya adalah
hadis berikut ini.
Dari Amr bin
Syu'aib dari ayahnya, dari kakeknya; bahwasanya ada seseorang yang mendatangi
Nabi SAW untuk memperkarakan ayahnya. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya
ia menginginkan hartaku. ” Rasulullah SAW bersabda, “Kamu dan hartamu adalah
milik ayah kamu.” (HR Ahmad dan Ibn Majah)
Hadis lain yang
dijadikan alasan bahwa seseorang ayah boleh mengambil dan memanfaatkan harta
kekayaan anak adalah sebagai berikut. “Dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya, dari
kakeknya; bahwasanya ada seorang Badui yang mendatangi Nabi SAW seraya berkata,
“Sungguh saya memiliki harta dan kedua orangtua, tetapi mereka ingin menguasai
harta saya ”Beliau bersabda, “Sesungguhnya kamu dan hartamu adalah milik
orangtuamu. Sungguh anak-anak kalian termasuk usaha terbaik kalian, maka
makanlah dari hasil usaha anak-anak kalian. ” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Al-Nasa'i,
dan Ibnu Majah)
Berdasarkan
hadis di atas, seseorang yang mengambil harta milik anak kandungnya tidak
dihukum potong tangan karena anak/anak dan hartanya dianggap milik ayahnya.
Demikian pula kalau kebetulan sang anak tidak memiliki harta, tetapi memiliki
penghasilan tetap; ia wajib memberikan hasil usahanya dan menafkahi ayahnya
jika memang sang ayah membutuhkan dan tidak ada yang menanggung biaya hidupnya.
Mengenai hal ini, Syamsul Haq Azim Abadi mengatakan: Rasulullah bersabda kepada
seseorang, “Kamu dan hartamu adalah milik orangtuamu.” Artinya, apabila
orangtuamu menginginkan hartamu, ia dapat mengambil harta itu darimu sebatas
keperluannya seperti halnya mengambil dari harta miliknya sendiri. Apabila
ternyata kamu tidak memiliki harta, tetapi kamu mempunyai usaha; kamu wajib
berupaya dan memberikan nafkah kepadanya.
Dari pernyataan
Syamsul Haq Azim Abadi ini dapat diketahui bahwa Islam sangat menghargai jasa
orangtua dalam mendidik anak. Oleh karena itu, tidak layak kalau ada seorang
anak yang memperkarakan ayah kandungnya di depan hakim, lantaran tidak senang
kalau ayahnya meminta harta sang anak.
Lain halnya
Al-Mawardi yang memahami hadis tersebut sebagai sebuah gambaran kedekatan hubungan antara anak dan ayah yang
tidak hanya dari sisi nasab,tetapi juga dari sisi kepemilikan. Mengenai hal ini ia berpendapat: Rasulullah bersabda, “Kamu dan
hartamu adalah milik ayahmu. " Hadis ini , mencegah hukuman potong
tangan bagi ayah yang mencuri harta anaknya. Sebab, antara ayah dan anak
terdapat syubhat dalam masalah kepemilikan harta, yaitu adanya kewajiban
memberikan nafkah oleh ayah kepada anak karena adanya konsep perwalian ayah
atas harta anaknya. Oleh karena itu, hukuman potong tangan antara keduanya
harus dibatalkan. Alasan lain karena eksistensi kebersamaan antara ayah dan
anak ini berlaku seperti pada dirinya, artinya seseorang tidak akan dihukum
potong tangan karena mengambil harta miliknya sendiri. Kemudian apabila
dibandingkan antara harta yang dicuri dan anak, maka anak jauh lebih mulia dan
lebih dicintai daripada sekadar harta, maka tidak mungkin berlaku hukuman
potong tangan antara ayah dan anak kandungnya. Dengan demikian,
ayah yang mengambil harta anaknya tidak dinamakan mencuri, karena'di dalamnya
terdapat unsur syubhat. Adapun syubhat tidak boleh ada ketika menjatuhkan
hudud. Hal ini sebagaimana hadis Nabi SAW. berikut. “Dari
Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Hindarilah hudud dari kaum
muslimin semampu kalian. Kalau ada kemungkinan jalan keluar (untuk bebas) maka
bebaskanlah ia, sebab seorang imam (hakim) kalau ia salah dalam memaafkan
(membebaskan tersangka) jauh lebih baik daripada salah dalam menjatuhkan
sanksi. ” (HR. Al-Tirmidzi)
4)
Melawan
Hukum
Mengenai hal ini, Abdul Qadir Audah berpendapat mengambil secara
sembunyi-sembunyi tidak dapat dianggap sebagai mencuri kecuali di dalam benak
si pelaku terdapat unsur melawan hukum. Sikap
melawan hukum ini dapat terjadi pada saat pelaku mengambil harta orang lain,
padahal ia mengetahui bahwa perbuatan itu diharamkan. Hal ini ia lakukan untuk
memiliki harta tersebut bagi dirinya (unsur memperkaya diri) tanpa
sepengetahuan dan tidak diizinkan oleh pihak korban. Oleh sebab itu seseorang
yang mengambil sesuatu dengan keyakinan bahwa hal itu , diperbolehkan atau hal
itu akan dibiarkan (tidak akan dituntut) maka ia tidak akan dihukum karena
tidak terdapat unsur melawan hukum, sebab ia meyakini bahwa barang tersebut
boleh diambil. Demikian pula kalau ada seseorang yang mengambil suatu barang
milik orang lain bukan dengan niat untuk memilikinya, melainkan memakai dan
akan dikembalikannya atau ia mengambilnya hanya berpura-pura atau ia meyakini
bahwa pihak korban dapat menerimanya maka semuanya itu tidak dapat disebut
sebagai pencurian, karena tidak ada unsur melawan hukum.
Pencurian masuk ke dalam kategori melawan hukum kalau dilakukan untuk
memiliki barang yang dicurinya. Unsur ini sama dengan unsur pokok dalam tindak
pidana korupsi yang disebutkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu unsur memperkaya diri sendiri, sebab
dengan maksud memiliki atau menguasai berarti pelaku berkeinginan untuk
memperkaya diri sendiri. Bahkan menurut Abdul Qadir Audah kalau tujuan
mengambil harta tersebut bukan untuk dirinya melainkan untuk orang lain dan
diambil agar lenyap dari tempatnya maka tidak termasuk pencurian, tetapi pelaku
hanya dianggap menggelapkan sesuatu, secara jelas ia berkata: Disebut sebagai
tindak pidana pencurian pada saat pelaku mengambil harta milik orang lain itu
harus dengan niat untuk memilikinya. Oleh sebab itu, seseorang yang mengambil
sesuatu untuk orang lain dan menggelapkannya dari tempatnya tidak dapat dianggap
sebagai pencurian, tetapi hanya sebatas menggelapkan sesuatu.
Berbeda dari Abdul Qadir Audah yang menyatakan rukun pencurian ada empat,
Imam Al-Nawawi dalam Raudah Al-thalibin mengemukakan rukun pencurian ada enam,
yaitu (1) harta yang dicuri mencapai nisab; (2) harta yang dicuri bukan milik
pelaku; (3) harta yang dicuri memiliki nilai nominal; (4) harta dimiliki korban
secara sempurna, bukan harta bersama; (5) tidak terdapat unsur syubhat dari
sisi kepemilikan antara pelaku dan korban; dan (6) harta disimpan di tempat
penyimpanan.
Imam Al-Nawawi hanya menyoroti harta yang dicuri. Mengenai cara
pengambilan, apakah sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, tidak dijelaskan;
bahkan pada awal pembahasan, tidak terdapat pengertian dan batasan pencurian.
Di samping itu, rukun melawan hukum juga tidak dijelaskan. Hal ini dapat
dipahami bahwa ulama-ulama klasik, seperti Al-Nawawi, belum terpengaruh oleh
konsep ilmu hukum pidana modern, sebagaimana yang dialami oleh Abdul Qadir
Audah yang berkebangsaan Mesir dan hidup setelah terjadi interaksi intensif
dengan Prancis akibat kolonialisasi.
Dari uraian mengenai jarimah sariqah di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk
dapat memberlakukan hukuman potong tangan harus diteliti terlebih dahulu syarat
dan rukunnya. Apabila salah satu syarat atau rukun tidak terpenuhi, maka
hukuman potong tangan harus dibatalkan dan dialihkan kepada hukum ta'zir.
7.
Jarimah Hirabah
A) Perbandingan Antara Hirabah Dan Pencurian
Seperti telah
dikemukakan dalam uraian yang lalu, hirabah atau perampokan dapat digolongkan
kepada tindak pidana pencurian, tetapi bukan dalam arti hakiki, melainkan dalam
arti majazi. Secara hakiki pencurian adalah pengambilan harta milik orang lain
secara diam-diam, sedangkan perampokan adalah pengambilan secara terang-terangan
dan kekerasan. Hanya saja dalam perampokan juga terdapat unsur diam-diam atau
sembunyi-sembunyi jika dinisbahkan kepada penguasa atau petugas keamanan.
Itulah sebabnya hirabah (perampokan) diistilahkan dengan sirqah kubra atau
pencurian berat, untuk membedakan dengan sirqah sughra atau pencurian.
Di samping sirqah kubra dan hirabah, istilah lain yang digunakan untuk
jatimah ini adalah qath’u ath-thariq; seperti yang digunakan oleh Hanafiyah. Hal ini karena tindak pidana perampokan selalu diawali dengan
memotong jalan orang yang lewat. Dalam pembahasan tentang jarimah hirabah ini,
akan dikemukakan beberapa hal yaitu sebagai berikut.
a. Pengertian atau definisi hirabah
b. Unsur dan bentuk-bentuk jarimah hirabah.
c. Pelaku hirabah.
d. Syaratsyarat hirabah.
e. Pembuktian untuk jarimah hirabah.
f. Hukuman atau sanksi hirabah.
1) Pengertian Hirabah
Ada beberapa
definisi yang dikemukakan oleh para ulama yang apabila dilihat redaksinya
terdapat beberapa perbedaan. Namun, sebenarnya inti persoalannya tetap sama.
imam Ahmad dan Syi’ah Zaidiyah memberikan definisi yang sama dengan definisi
yang dikemukakan oleh Hanafiyah, sebagaimana telah disebutkan di atas. Dari
definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ulama di atas, dapat dikemukakan
bahwa inti persoalan tindak pidana perampokan adalah keluarnya sekelompok orang
dengan maksud untuk mengambil harta dengan terang-terangan dan kekerasan,
apakah dalam realisasinya pengambilan tersebut terjadi atau tidak. Hanya definisi
Imam Malik dan Zhahiriyah yang sedikit berbeda. Imam Malik dalam mendefinisikan
perampokan lebih mementingkan kekuatan otak, taktik, dan strategi dibandingkan
dengan kekuatan fisik. Sedangkan definisi Zhahiriyah sangat umum, sehingga pencurian pun dapat dimasukkan ke dalam tindak
pidana perampokan Meskipun demikian, menurut mereka (Zhahiriyah) apabila tindak
pidana pencurian dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, atau kemudian ia berzina
(memperkosa), atau membunuh maka hukumannya bukan sebagai perampokan, melainkan
dihukum sebagai pencuri, atau pezina, atau pembunuh.
2)
Rukun Dan Bentuk-Bentuk Hirabah
Dari definisi yang dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa unsur j
arimah hirabah itu adalah ke luar untuk mengambil harta, baik dalam
kenyataannya pelaku tersebut mengambil harta atau tidak.6 Di sini terlihat
dengan jelas perbedaan antara perampokan dengan pencurian, karena unsur
pencurian adalah mengambil harta itu sendiri, sedangkan perampokan adalah
tindakan ke luar dengan tujuan mengambil harta, yang dalam pelaksanaannya
mungkin tidak mengambil harta, melainkan tindakan lain, seperti melakukan
intimidasi atau membunuh orang.
Di samping itu dari defmisi-defmisi yang dikemukakan oleh para ulama di
atas, dapat diketahui bahwa bentuk-bentuk tindak pidana perampokan itu ada
empat macam, yaitu sebagai berikut.
a. Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian pelaku hanya
melakukan intimidasi, tanpa mengambil harta dan tanpa membunuh.
b. Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian ia mengambil harta
tanpa membunuh.
c. Keluar untuk mengambil harta secara
kekerasan, kemudian ia melakukan pembunuhan tanpa mengambil harta. 4Keluar untuk mengambil harta secara
kekerasan, kemudian ia mengambil harta dan melakukan pembunuhan.
Apabila
seseorang melakukan salah satu dari keempat bentuk tindak pidana Perampokan
tersebut maka ia dianggap sebagai perampok selagi ia keluar dengan tujuan
mengambil harta dengan kekerasan. Akan tetapi, apabila seseorang keluar dengan
tujuan mengambil harta, namun ia tidak melakukan intimidasi, dan tidak
mengambil harta, serta tidak melakukan pembunuhan maka ia tidak dianggap
sebagai perampok, walaupun perbuatannya itu tetap tidak dibenarkan, dan
termasuk maksiat yang dikenakan hukuman ta'zir.
3)
Pelaku Hirabah Dan Syarat-Syaratnya
Hirabah atau
perampokan dapat dilakukan baik oleh kelompok, maupun perorangan (individu)
yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya. Untuk menunjukkan kemampuan ini,
Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad mensyaratkan bahwa pelaku tersebut harus
memiliki dan menggunakan senjata atau alat lain yang disamakan dengan senjata,
seperti tongkat, kayu, atau batu. Akan tetapi Imam Malik, Imam Syafi'i dan
Zhahiriyah, serta Syi’ ah Zaidiyah tidak mensyaratkan adanya senjata, melainkan
cukup berpegang kepada kekuatan dan kemampuan fisik. Bahkan Imam Malik
mencukupkan dengan digunakannya tipu daya, taktik atau strategi, tanpa
penggunaan kekuatan, atau dalam keadaan tertentu dengan menggunakan anggota
badan, seperti tangan dan kaki.
Para ulama
berbeda pendapat mengenai pelaku jarimah hirabah ini. Menurut Hanafiyah, pelaku
hirabah adalah setiap orang yang melakukan secara langsung atau tidak langsung
perbuatan tersebut. Dengan demikian, menurut mereka (Hanafiyah) orang yang ikut
terjun secara langsung dalam mengambil harta, membunuh, atau mengintimidasi
termasuk pelaku perampokan. Demikian pula orang yang ikut memberikan bantuan,
baik dengan cara permufakatan, suruhan, maupun pertolongan, juga termasuk
pelaku perampokan. Pendapat Hanaiiyah ini disepakati oleh Imam Malik, Imam Ahmad,
dan Zhahiriyah. Akan tetapi, Imam Syafl’i berpendapat bahwa yang dianggap
sebagai pelaku perampokan adalah orang yang secara langsung melakukan
perampokan. Sedangkan orang yang tidak ikut terjun melakukan perbuatan,
walaupun ia hadir di tempat kejadian, tidak dianggap sebagai pelaku perampokan,
melainkan hanya sebagai pembantu yang diancam dengan hukuman ta’zir.
Untuk dapat
dikenakan hukuman had, pelaku hirabah disyaratkan harus mukalaf, yaitu balig
dan berakal. Hal ini merupakan persyaratan umum yang berlaku untuk semua
jarimah, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Iinam Ahmad danAbu Dawud. Dari
'Aisyah ra. ia berkata: ”Telah bersabda Rasulullah saw.: Dihapuskann ketentuan
dari tiga hal: dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari orang gila sampai
ia sembuh, dan dari anak kecil sampai ia dewasa. (Hadis riwayat Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Ibn
Majah, dan Hakim). Di samping itu, Imam Abu Hanifah juga mensyaratkan pelaku
hirabah harus laki-laki dan tidak boleh perempuan. Dengan demikian, apabila di antara peserta pelaku hirabah terdapat
seorang perempuan maka ia tidak dikenakan hukuman had. Akan tetapi, Imam Ath-Thahawi
menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki dalam tindak pidana ini sama
statusnya. Dengan demikian, perempuan yang ikut serta dalam melakukan
perampokan tetap harus dikenakan hukuman had. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i,
Imam Ahmad, Zhahiriyah, dan Syi’ah Zaidiyah, perempuan yang turut serta
melakukan perampokan tetap harus dikenakan hukuman. Dengan demikian, mereka
tidak membedakan antara pelaku laki-laki dan perempuan, seperti halnya dalam
jarimah hudud yang lain. Persyaratan lain yang menyangkut jarimah hirabah ini
adalah persyaratan tentang harta yang diambil. Pada prinsipnya persyaratan
untuk harta dalam jarimah hirabah, sama dengan persyaratan yang berlaku dalam
jarimah pencurian. Secara global, syarat tersebut adalah barang yang diambil
harus tersimpan (muhraz), mutaqawwim, milik orang lain, tidak ada syubhat, dan
memenuhi nishab. Hanya saja syarat nishab ini masih diperselisihkan oleh para
fuqaha. Imam Malik berpendapat, dalam jarimah hirabah tidak disyaratkan nishab
untuk barang yang diambil. Pendapat ini diikuti oleh sebagian fuqaha
Syafl’iyah. Imam Ahmad dan Syi’ah Zaidiyah berpendapat bahwa dalam j arimah
hirabah juga berlaku nishab dalam harta yang diambil oleh semua pelaku secara
keseluruhan, dan tidak memperhitungkan perolehan perorangan. Dengan demikian,
meskipun pembagian harta untuk masing-masing peserta (pelaku) tidak mencapai
nishab, semua pelaku tetap harus dikenakan hukuman had. Imam Abu Hanifah dan
sebagian Syafl’iyah berpendapat bahwa perhitungan nishab bukan secara
keseluruhan pelaku, melainkan secara perorangan. Dengan demikian, apabila harta
yang diterima oleh masingmasing peserta itu tidak mencapai nishab maka pelaku
tersebut tidak dikenakan hukuman had sebagai pengambil harta. Hanya saja dalam
hal ini perlu diingat adanya perbedaan pendapat antara Hanafiyah dan Syafl’iyah
mengenai pelaku jarimah hirabah sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian yang
lalu.
Di samping itu
juga perlu diperhatikan perbedaan antara kedua kelompok tersebut mengenai
ukuran nishab pencurian, sebagaimana telah dijelaskan dalam bab pencurian.
Persyaratan
lain untuk dapat dikenakannya hukuman had dalam jarimah hirabah adalah
menyangkut tempat dilakukannya jarimah hirabah. Syarat-syarat tersebut adalah
sebagai berikut.
a.
Jarimah
perampokan harus terjadi di negeri Islam. Pendapat ini dikemukakan oleh
Hanaiiyah. Dengan demikian, apabila j arimah hirabah (perampokan) terjadi di
luar negeri Islam (dar al-harb) maka pelaku tersebut tidak dikenakan hukuman
had. Akan tetapi jumhur ulama yang terdiri atas Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam
Ahmad, dan Zhahiriyah tidak mensyaratkan hal ini. Dengan demikian menurut
jumhur, pelaku tersebut tetap dikenakan hukuman had, baik jarimah hirabah
terjadi di negeri Islam maupun di luar negeri Islam.
b.
Perampokan
harus terjadi di luar kota, jauh dari keramaian. Pendapat ini dikemukakan oleh
Hanafiyah. Akan tetapi Malikiyah, Syafi'iyah, Hambaliyah, dan Imam Abu Yusuf
murid Imam Abu Hanifah tidak mensyaratkan hal ini, Dengan demikian, menurut
mereka (jumhur), perampokan yang terj adi di dalam kota dan di luar kota
hukumnya sama, yaitu bahwasanya pelaku tetap harus dikenakan hukuman had.
c.
Malikiyah
dan Syafl’iyah mensyaratkan adanya kesulitan atau kendala untuk meminta
pertolongan. Sulitnya pertolongan tersebut mungkin karena peristiwanya terjadi
di luar kota, lemahnya petugas keamanan, atau karena upaya penghadangan oleh
para perampok, atau karena korban tidak mau meminta pertolongan kepada pihak
keamanan, karena berbagai pertimbangan. Dengan demikian, apabila upaya dan
kemungkinan pertolongan mudah dilakukan maka para pelaku tidak dikenakan
hukuman.
Selain
persyaratan-persyaratan yang telah dikemukakan di atas, terdapat pula
persyaratan yang berkaitan dengan korban. Para ulama sepakat, bahwa orang yang
menjadi korban perampokan adalah orang yang ma ’shum ad-dam, yaitu orang yang
dijamin keselamatan jiwa dan hartanya oleh Islam. Orang tersebut adalah orang
muslim atau dzimmi. Orang Islam dijamin karena keislamannya sedangkan kafir
dzimmi dijamin berdasarkan perjanjian keamanan. Orang kafir musta'man (mu
’ahad) sebenarnya juga termasuk orang yang mendapatkan jaminan, tetapi karena
jaminannya itu tidak mutlak maka hukuman had terhadap pelaku perampokan atas
musta ’man ini masih diperselisihkan oleh para fuqaha.Menurut Hanafiyah
perampokan terhadap musta'man tidak dikenakan hukuman had.
4)
Pembuktian Untuk Jarimah Hirabah
Jarimah
hirabah dapat dibuktikan dengan dua macam alat bukti, yaitu
1. dengan
saksi, dan
2. dengan pengakuan.
a.
Pembuktian dengan Saksi
Seperti halnya jarimah-j arimah yang lain, untuk jarimah hirabah saksi
merupakan alat bukti yang kuat. Seperti halnya jarimah pencurian, saksi untuk
jarimah hirabah ini minimal dua orang saksi laki-laki yang memenuhi
syarat-syarat persaksian, yang rinciannya sudah diuraikan dalam bab-bab yang
lalu. Saksi tersebut bisa diambil dari para korban, dan bisa juga dari
orang-orang yang ikut terlibat dalam tindak pidana perampokan tersebut. Apabila
saksi laki-laki tidak ada maka bisa juga digunakan seorang saksi laki-laki dan
dua orang perempuan, atau empat orang saksi perempuan.
b. Pembuktian dengan Pengakuan
Pengakuan
seorang pelaku perampokan dapat digunakan sebagai alat bukti. Persyaratan untuk
pengakuan ini sama dengan persyaratan pengakuan dalam tindak pidana pencurian.
Jumhur ulama menyatakan pengakuan itu cukup satu kali saja, tanpa
diulang-ulang. Akan tetapi menurut Hanabilah dan Imam Abu Yusuf, pengakuan itu
harus dinyatakan minimal dua kali.
5)
Hukuman Atau Sanksi Hirabah
Para ulama berbeda pendapat tentang
hukuman untuk jarimah hirabah. Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafl’i, Imam
Ahmad, dan Syi’ah Zaidiyah, hukuman untuk pelaku perampokan itu berbeda-beda
sesuai dengan perbedaan jenis perbuatan yang dilakukannya. Sebagaimana telah
diuraikan di atas. Bentuk-bentuk jarimah hirabah itu ada empat macam, yaitu :
1. menakut-nakuti orang yang lewat, tanpa membunuh dan mengambil
harta;
2. mengambil harta tanpa membunuh;
3. membunuh tanpa mengambil harta;
4. mengambil harta dan membunuh orangnya.
Menurut mereka, untuk masing-masing
perbuatan tersebut diterapkan hukuman tertentu yang diambil dari alternatif
hukuman yang tercantum dalam Surah Al-Maaidah ayat 33. Menurut Imam Malik dan
Zhahiriyah, hukuman untuk pelaku perampokan itu diserahkan kepada hakim untuk memilih
hukuman mana yang lebih sesuai dengan tersebut. Hanya saja Imam Malik memb
atasi pilihan hukuman tersebut untuk selain pembunuhan. Untuk tindak pidana
pembunuhan maka pilihannya hanya dibunuh atau disalib. Sementara Zhahiriyah
memberikan kebebasan penuh kep ada hakim untuk memilih hukuman apa saja yang
sesuai menurut pandangannya dengan perbuatan apa pun dari keempat jenis
perbuatan tersebut.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Jarimah hudud adalah tindak pidana yang diancam hukuman had, yakni hukuman
yang telah ditentukan macam dan jumlah (berat-ringan) sanksinya yang menjadi
hak Allah SWT, dan tidak dapat diganti dengan macam hukuman lain atau
dibatalkan sama sekali oleh manusia. Ada tujuh macam perbuatan jarimah hudud
yaitu, zina, menuduh orang lain berbuat zina (qazaf), meminum minuman keras,
mencuri, menggangu keamanan (hirabah), murtad, dan pemberontakan (al-bagyu).
Zinah
yaitu ialah hubungan badan yang diharamkan dan disengaja oleh pelakunya. Qazaf ialah menuduh seseorang melakukan
perbuatan zinah tanpa adanya bukti yang membenarkan. meminum minuman keras
ialah meminum sesuatu yang dapat mendatangkan
hilangnya akal seperti khamr dan
sejenisnya. mencuri ialah suatu perbuatan pemindahan barang yang bukan haknya
dengan tanpa pengetahuan dan persetujuan pemilik sahnya. hirobah ialah
mengganggu keamanan yang dapat meresahkan warga setempat. murtad ialah
keluarnya seorang penganut agama dari agama yang di anutnya dan berpindah ke
agama lain. sedangkan pemberontakan ialah suatu tindakan yang dilakukan atas
dasar ketidaksepakataan terhadap suatu tindakan ataupun ketetapan .
Jadi Dalam menetukan sebuah hukum tidak
boleh dilakukan secara instan, langsung memutuskan si A atau si B yang
bersalah, tetapi harus dibarengi dengan adanya saksi, bukti, serta pengakuan. Dan harus sesuai dengan hukum
yang berlaku, tidak boleh menghukum pelaku kejahatan dengan semena-mena.
DAFTAR PUSTAKA
Mardani. 2012. Hadist Ahkam.Jakarta:
Rajawali Pers.
Irfan Nurul ,Masyrofah.2015. Fiqih Jinayah.Jakarta: Amzah.
Lubis Zulkarnain, Bakti Ritonga.
2016. Dasar-dasar
Hukum Acara Jinayah. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Syarifuddin Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqh . Jakarta:
Kencana Prenadamedia Grup.
Hasan
Mustofa,Beni Ahmad Syaebani. 2013. Hukum
Pidana Islam Fiqih Jinayah.Bandung: CV
Pustaka Setia.
Hasan Mustofa. 2013. Hukum Pidana Islam (Fiqh
Jinayah). Bandung: CV Pustaka Setia.
[1] Nurul Irfan dan
Masyrofah, Fiqih Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 15
[2]Mardani, Hadist
Ahkam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h 366
[3] Zulkarnain
Lubis, Bakti Ritonga. Dasar-dasar Hukum Acara Jinayah. (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016), h.3
[7] Nurul irfan,
Op. Cit, h 20
[8]
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Grup, 2003) h.274-284
[9] Nurul irfan,
Op. Cit, h. 20
[10]Amir Syarifuddin, 0p. Cit, h.274-284
[11] Nurul irfan, Op.
Cit, h. 41
[12] Mustofa hasan
dan Beni Ahmad Syaebani, Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2013), h. 260-266
[13] Nurul irfan,
Op. Cit, h. 51
[14] Mustofa hasan,
Op. Cit, h. 413-414
[15] Nurul irfan, Op.
Cit, h. 51-58
[16] Mustofa hasan, Op.
Cit, h. 432-435
[18] Mustofa Hasan, Hukum Pidana Islam (Fiqh
Jinayah), (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), h.441-460
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan baik, bijak dan konstruktif !