Langsung ke konten utama

Jarimah Hudud dan Macam-Macamnya


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
bahaya bagi agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal. Sebagian fuqaha menggunakan kata jinayah untuk perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan sebagainya. Dengan demikian istilah fiqh jinayah sama dengan hukum pidana.
Untuk mempersempit pembahasan maka disisni pemakalah hanya akan membahas masalah yang berkenan dengan hudud Jarimah hudud adalah tindak pidana yang diancam hukuman had, yakni hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlah (berat-ringan) sanksinya yang menjadi hak Allah SWT, dan tidak dapat diganti dengan macam hukuman lain atau dibatalkan sama sekali oleh manusia. Ada tujuh macam perbuatan jarimah hudud yaitu, zina, menuduh orang lain berbuat zina (qazaf), meminum minuman keras, mencuri, menggangu keamanan (hirabah), murtad, dan pemberontakan (al-bagyu). Adapun jarimah ta’zir Secara bahasa ta’zir merupakan mashdar (kata dasar) dari ‘azzaro yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan, membantu. Sedangkan menurut istilah ialah tindak pidana yang diancam dengan satu atau beberapa macam hukuman dan sanksinya tidak ditentukan dalam Al-Qur’an melainkan dari hasil ijtihad para ulil amri. Misalnya, tidak melaksanakan amanah,ghasab,menghina atau mencela orang, menjadi saksi palsu dan suap.
B.     Rumusan Masalah.
1.      Apa Pengertian Jarimah Hudud?
2.      Apa saja macam-macam Jarima h Hudud?
C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa itu Jarimah Hudud.
2.      Untuk mengetahui macam-macam Jarimah Hudud.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Jarimah Hudud
Secara etimologis, Hudud yang merupakan bentuk jamak dari kata had yang berarti اللمنع  (larangan, pencegahan).[1]Selain itu, had juga dapat diartikan sebagai batasan sesuatu(منتهي الشئ) sesuatu yang telah ditentukan (الشئ المعين), hukuman (العقوبه) dan marah (الغضب).[2] Sedangkan pengertian hudud secara terminologis adalah : ” Had (hudud) adalah hukuman yang telah ditentukan sebagai hak Allah SWT dan arti ‘uqubah muqaddarah adalah bahwa hukuman telah dibatasi, ditentukan, tidak ada pada hukuman itu batasan terendah dan batasan tertinggi. Artinya bahwa hukuman itu adalah hak Allah SWT dan bahwa hukuman itu tidak bisa digugurkan oleh individu-individu dan tidak pula oleh kelompok.” Hukuman hudud tidak boleh dimaafkan oleh siapa pun. Mereka yang melanggar aturan-aturan hukum Allah, yang telah ditentukan dan ditetapkan Allah/Rasul-Nya yang disebutkan didalam Al-Qur' an/ hadis adalah termasuk dalam golongan orang-orang yang zalim.[3] Sebagaimana firman Allah SWT di dalam surah al-Baqarah (2) ayat 229 yang artinya: Dan siapa yang melanggar aturan-aturan hukum Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Adapun berdasarkan pendapat beberapa ahli hudud, Sebagai berikut :[4]
1.      Al-jurzani mengartikannya sebagai sanksi yang telah ditentukan dan yang wajib di laksanakan secara hak kepada Allah SWT.
2.      Sementara itu, sebagian ahli fiqih yang dikutip oleh Abdul Qadir Audah, berpendapat bahwa had adalah sanksi yang telah ditentukan oleh syara’ .Dengan demikian, had atau hudud mencangkup semua jarimah baik hudud, qishash, maupun diat sebab sanksi keseluruhannya telah ditentukan setelah syara’.
3.      Lebih lengkap dari kedua definisi diatas, Nawawi Al-Bantani mendefinisikan hudud, yaitu sanksi yang telah ditentukan dan wajib diberlakukan kepada seseorang yang melanggar suatu pelanggaran yang akibatnya sanksi itu dituntut, baik dalam rangka memberikan peringatan pelaku maupun dalam rangka memaksanya .
4.      Al-Sayyid Sabiq menejelaskan bahwa had (hudud) secara terminologis iyalah sanksi yang telah ditetapkan untuk melaksanakan hak Allah. Dengan demikian, Ta’zir tidak termasuk ke dalam cakupan definisi ini karena penentuannya diserahkan menurut pendapat hakim setempat. Demikian halnya dengan qishash yang tidak termasuk dalam cangkupan hudud karena merupakan hak sesama manusia untuk menuntut balas dan keadilan.
5.      Abu ya’la sebagaimana mengutip pendapat Al-Mawardi : bahwa Al-Mawardi berkata,” hudud ialah ancaman-ancaman yang ditetapkan Allah untuk mencegah seseorang agar tidak melanggar apa yang dilarang dan tidak meninggalkan apa yang diperintahkan ketika syahwat membuatnya terlena dari ancaman-ancaman siksa diakhirat kelak lantaran mendahulukan kenikmatan sesaat. [5]
Jadi dapat disimpulkan bahwa hudud berarti, sebuah sanksi yang diberlakukan kepada seseorang yang melanggar peraturan atau perintah Allah akibat mengikuti syahwat yang sesaat dan akan mendapatkan ancaman siksa diakhirat.
B.     Macam-macam jarimah Hudud
Ditinjau dari segi dominasi hak, terdapat dua jenis hudud, yaitu sebagai berikut: Pertama,Hudud yang termasuk hak Allah. Menurut Abu Ya’la, hudud jenis ini adalah semua jenis sanksi yang wajib diberlakukan kepada pelaku karena ia meninggalkan semua hal yang diperintahkan, seperti shalat, puasa, zakat dan haji.Kedua, Hudud yang termasuk hak manusia. Hudud jenis ini adalah semua jenis sanksi yang diberlakukan kepada seseorang karena ia melanggar larangan Allah, seperti berzina, mencuri, dan meminum khamar. Hudud jenis ini terbagi menjadi dua: pertama, hudud terbagi menjadi tujuh, yaitu hudud atas jarimah zina, qadzf, meminum minuman keras, pemberontakan, murtad, pencurian, dan perampokan.[6]Macam-macam Jarimah hudud yang termasuk hak manusia, yaitu sebagai berikut:


1.      Jarimah Zina
Abdul Qadir Audah berpendapat bahwa zina ialah hubungan badan yang diharamkan dan disengaja oleh pelakunya.Mengenai kekejian jarimah zina ini, Muhammad Al- Khatib Al-Syarbini mengatakan, zina termasuk dosa-dosa yang paling keji, tidak satu agamapun tidak menghalalkannya.Oleh sebab itu, sanksinya juga sangat berat, karena mengancam kehormatan dan hubungan nasab.
Dalil al-Qur’an yang mengharamkan zina ialah QS. Al-Isra’ ayat 32:
وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَسَآءَ سَبِيلٗا ٣٢
Artinya:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”.
Dalam sebuah hadits disebutkan yang artinya:“Dari Abdullah meriwayatkan,”aku bertanya, wahai Rasulullah, dosa apa yang paling besar disisi Allah? Beliau menjawab,’kamu menjadikan tandingan bagi Allah( berbuat syirik), padahal dialah yang telah menciptakan kamu.’ Lalu aku bertanya lagi,’kemudian dosa apalagi?’ beliau menjawab,’ kamu membunuh anakmu karena takut kalau ia akan makan bersamamu.’Aku bertanya lagi’ kemudian dosa apalagi?’ beliau menjawab’ kamu berzina dengan istri tetanggamu.”( Hadits riwayat al-Bukhari dan Ibnu Hibban)
Dengan demikian, perzinaan adalah hubungan badan yang diharamkan oleh Allah swt. Dan Nabi Muhammad saw. Dalam Al-Qur’an dan Hadits serta disepakati oleh para ulama’ dari berbagai mazhab akan keharamannya.
a)      Macam-macam jarimah zina dan sanksinya
Ada dua jenis jariamh zina, yaitu zina Muhsan dan ghairu muhsan.Zina muhsan ialah zina yang pelakunya berstatus suami, istri, duda atau janda.Artinya, pelaku adalah orang yang masih dalam pernikahan atau pernah menikah secara sah.Adapun zina ghairu muhsan ialah zina yang pelakunya masih berstatus perjaka atau gadis.Artinya, pelaku belum pernah menikah secara sah dan sedang berada dalam ikatan pernikahan. Terhadap kedua jenis jarimah diatas, syari’at Islam memberlakukan dua sanksi yang berlainan yaitu:
1)      Sanksi bagi pelaku zina muhsan adalah hukuman rajam, yaitu pelaku dilempari batu hingga meninggal. Sanksi rajam bagi pelaku zina muhsan tidak secara eksplisit disebutkan didalam al-Qur’an eksistensinya ditetapkan melalui ucapan dan perbuatan Rasulullah saw. Ada sebagian kelompok yang menolak hukuman rajam. Ia menyabut kelompok ini sebagai firqah min ahl al-ahwa’. Menurut mereka, hukuman bagi pelaku jariamah zina apapun jenisnya adalah cambuk.[7] Sedangkan hukuman tambahan untuk pezina yang bukan muhsan ini adalah buang selama satu tahun. Adapun alasan hukum dari adanya buang ini adalah hadits Nabi menurut riwayat Muslim, Abu Daud dan al-Tirmizi yang bunyinya:
jemputlah mereka, Allah telah memberikan jalan: yaitu bujang dengan gadis hukumannya dera seratus kali dan dibuang satu tahun.
Adapun ancaman atau sanksi hukuman terhadap pelaku zina yang muhsan adalah rajam sampai mati. Ketentuan tentang hukuman rajam itu tidak merujuk kepada Firman Allah tetapi berdasarkan kepada hadits Nabi, baik dalam bentuk ucapan langsung dari Nabi atau apa yang dilakukan sendiri oleh Nabi. Adapun ucapan langsung dari Nabi adalah haditsnya menurut riwayat Muslim, Abu Daud dan al-Tirmizi,
Yang merupakan ujung dari hadits yang dikutip di atas, yang bunyinya: “Pezina yang tsayib dengan yang tsaib, hukumannya adalah dera seratus kali dan dirajam dengan batu”
Adapun perbuatan Nabi adalah beberapa riwayat yang menyatakan tindakan Nabi yang merajam pelaku zina muhsan yang mengaku di depan Nabi seperti kasus Ma’iz dan Ghamidiyah; perempuan dari suku Juhainah, dan lain-lain. Yang dimaksud dengan tsayib di atas dengan merujuk kepada pengertian tsayib dalam hukum perkawinan adalah orang yang telah pernah kawin.Dengan memahami hadits Nabi tersebut para ulama sepakat untuk memberlakukan hukum rajam terhadap pezina yang tsayib. Tentang apakah masih diberlakukan hukuman dera di samping raj am sampai mati itu, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Kebanyakan ulama menetapkan tidak ada lagi hukuman dera di samping rajam yang telah disepakati itu. Karena adanya perbedaan yang besar antara hukuman terhadap pezina muhsan dan yang tidak muhsan, perlu diperjelas apa sebenarnya yang dimaksud dengan orang yang sudah muhsan itu. Dari beberapa kata muhsan yang terdapat di dalam al-Quran di antaranya ada yang berarti “orang yang terikat dalam tali perkawinan” atau orang yang sedang kawin. Hal ini terdapat dalam surat al-Nisa ayat 24 yang bunyinya:
۞وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۖ كِتَٰبَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡۚ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمۡ أَن تَبۡتَغُواْ بِأَمۡوَٰلِكُم مُّحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسَٰفِحِينَۚ فَمَا ٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهِۦ مِنۡهُنَّ فَ‍َٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةٗۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا تَرَٰضَيۡتُم بِهِۦ مِنۢ بَعۡدِ ٱلۡفَرِيضَةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا ٢٤
Artinya:
“dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.


Dan tidak ada yang maksudnya sama dengan pengertian tsayib yang terdapat dalam hadits Nabi. Kalau muhsan diartikan sama dengan tsayib yang terdapat dalam hadits Nabi, sedangkan pengertian tsayib itu adalah orang yang pernah kawin walaupun telah putus perkawinannya, maka duda atau janda yang melakukan zina akan diancam dengan hukuman rajam. Inilah pemahaman ulama pada umumnya tentang muhsan itu.
Dengan mengkompromikan pengertian muhsan yang terdapat dalam salah satu pengertian dalam ayat al-Quran dengan pendapat yang dianut ulama pada umumnya, maka arti muhsan yang paling tepat adalah “orang yang dapat merasakan hubungan kelamin dalam perkawinan yang sah”.Dengan begitu janda atau duda yang melakukan zina tidak termasuk dalam arti muhsan.[8]
2)      Sanksi bagi pelaku zina ghairu muhsan adalah dicambuk sebanyak seratus kali. Berbeda dengan rajam yang tidak secara tegas disebutkan didalam al-Qur’an sanksi cambuk bagi pelaku jarimah zina ghairu muhsan secara ekspelisit di tegaskan dalam firman Allah swt. didalam QS. al-Nur(24):2:
Artinya:
ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖۖ وَلَا تَأۡخُذۡكُم بِهِمَا رَأۡفَةٞ فِي دِينِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۖ وَلۡيَشۡهَدۡ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٞ مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٢
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seseorang dari keduanya seratus kali dera.”[9]
Walaupun dalam ayat ini tidak dijelaskan pezina mana yang di dera seratus kali itu, namun karena ada petunjuk tambahan dari Nabi, maka ulama memahami pezina yang didera seratus kali itu adalah pezina yang bukan muhsan.Hukuman 100 dera untuk pezina yang bukan muhsan itu adalah sebagai hukuman pokok yang langsung ditetapkan dalam Al-Qur'an.
Adanya perbedaan yang nyata hukuman antara pezina yang bukan muhsan dengan pezina yang muhsan, dapat dilihat dari sebab-sebab di bawah ini:
a.       Tidak ada dorongan secara fisis, psikis dan rasional bagi orang yang sedang terikat dalam perkawinan untuk melakukan perzinaan, karena kenikmatan yang diharapkannya dari hubungan kelamin yang tidak baik itu telah didapatnya secara sah dan baik. Lebih dari itu hanyalah keserakahan. Sedangkan bagi yang bukan muhsan, termasuk janda atau duda, dorongan tersebut ada; karena tidak ada penyaluran syahwatnya secara sah. Oleh karena itu, sangat rasional bila hukumanterhadap yang muhsan lebih berat dari yang bukan muhsan. Bahkan sangat tepat bagi yang muhsan itu hukuman mati dengan rajam.
b.      Perzinaan yang dilakukan oleh yang bukan muhsan hanya merupakan satu kejahatan yaitu kejahatan terhadap akibat perzinaan itu sendiri; sedangkan perzinaan yang dilakukan muhsan di samping kejahatan terhadap zina itu sendiri, juga merupakan kejahatan terhadap perkawinan dan rumah tangga.
b)      Hakikat yang merupakan kriteria dari perzinaan itu, yaitu:
1)      Zina itu perbuatan memasukkan apa yang bernama alat kelamin laki-laki atau zakar ke dalam apa yang bernama alat kelamin perempuan atau vagina atau faraj. Dalam arti ini alat apa saja yang dimasukkan selain dari zakar tidak disebut zina. Begitu pula memasukkan zakar ke lubang mana saja dari tubuh perempuan selain vagina tidak disebut zina.
2)       Perbuatan hubungan kelamin itu menurut zat atau substansinya adalah haram. Hal ini mengandung arti bila keharamannya itu bukan bersifat substansil atau karena faktor luar atau keadaan, tidak disebut zina.Umpamanya suami haram melakukan hubungan kelamin dengan istrinya yang sedang menstruasi.Keharaman di sini bukan karena substansinya, tetapi karena faktor luar.
3)      Perbuatan hubungan kelamin itu pada dasarnya secara alamiah disenangi, yaitu dengan manusia yang hidup. Hal ini berarti hubungan kelamin dengan sosok mayat dan dengan hewan tidak disebut zina.
4)      Perbuatan hubungan kelamin itu disebut zina dengan segala akibat hukumnya bila pada perbuatan itu telah bebas dari segala kemungkinan kesamaran atau syubhat seperti bersetubuh dengan perempuan yang diyakininya istrinya, ternyata orang lain.
c)      Dari hakikat zina yang diuraikan di atas para ulama menetapkan unsur-unsur ataurukun dari perbuatan zina yang berhak atas ancaman yang berat itu sebagai berikut:
1)      Perzinaan itu adalah hubungan kelamin yang diharamkan. lslam menetapkan prinsip dasar dari hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan adalah haram  Sifat haram itu hanya dapat dihilangkan atau dihalalkan melalui satu cara yaitu perkawinan, sehingga disebutlah perkawinan itu sebagai akad yang menghalalkan hubungan laki-laki perempuan yang asalnya diharamkan itu. Keharaman hubungan kelamin di sini ' adalah karena hubungan kelamin itu sendiri bukan karena hal lain seperti haramnya hubungan kelamin antara suami istri dalam masa haid.
2)      Hubungan kelamin itu dilakukan dengan sengaja dan melawan hukum. Hal ini mengandung arti bahwa bila hubungan kelamin itu di luar kesengajaan seperti masing-masing meyakini bahwa pasangan itu adalah pasangan yang sah atau dilakukan atas paksaan seperti diperkosa, maka perbuatan itu tidak disebut perzinaan.Hubungan kelamin secara tidak sengaja itu dalam quh disebut syubhat.Adanya sifat syubhat itu menyebabkan hubungan kelamin tersebut tidak dinamai zina yang diancam dengan hukuman.

d)     Ancaman hukuman baru dilakukan terhadap perbuatan zina bila memang perzinaan itu telah terjadi dengan adanya bukti-bukti yang meyakinkan dan diyakini pula bahwa dalam hubungan kelamin tidak terdapat unsur-unsur kesamaran yang disebut syubhal. Adapun pembuktian telah terjadinyaperbuatan zina itu berlaku dengan cara-cara sebagai berikut:
1)      Kesaksian empat orang saksi laki-laki muslim yang adil dan dapat dipercaya, ke empatnya secara meyakinkan melihat langsung hubungan kelamin itu secara bersamaan. Bila tidak terpenuhi kriteria tersebut tidak sah kesaksian tersebut. Hal ini sesuai dengan petunjuk Allah dalam alQuran surat al-Nisa ayat 15 :
وَٱلَّٰتِي يَأۡتِينَ ٱلۡفَٰحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمۡ فَٱسۡتَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِنَّ أَرۡبَعَةٗ مِّنكُمۡۖ فَإِن شَهِدُواْ فَأَمۡسِكُوهُنَّ فِي ٱلۡبُيُوتِ حَتَّىٰ يَتَوَفَّىٰهُنَّ ٱلۡمَوۡتُ أَوۡ يَجۡعَلَ ٱللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلٗا ١٥
Dan firman Allah dalam surat al-Nur ayat 4:
وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ثُمَّ لَمۡ يَأۡتُواْ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجۡلِدُوهُمۡ ثَمَٰنِينَ جَلۡدَةٗ وَلَا تَقۡبَلُواْ لَهُمۡ شَهَٰدَةً أَبَدٗاۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٤

2)      Pengakuan yang dilakukan oleh pasangan yang melakukan perzinaan, secara jelas dan bersungguh-sungguh dari orang-orang yang pengakuannya dapat dipercaya, seperti telah dewasa dan berakal sehat. Hal ini dapat diketahui dari hadits Nabi tentang kasus pengakuan Ma'iz di hadapan Nabi dan pelaksanaan hukuman oleh Nabi setelah adanya pengakuan itu. Tentang jumlahnya kebanyakan ulama mencukupkan satu kali, bila memang dengan satu kali itu telah dapat meyakinkan hakim.
3)      Qarinah atau tanda dan isyarat yang meyakinkan seperti kehamilanmilan janin seseorang perempuan yang tidak terikat dalam perkawinan.
4)      Li'an; yaitu sumpah suami yang menuduh istrinya berzina dan tidak mampu mendatangkan 4 orang saksi, sebanyak 4 kali dan yang ke lima ucapannya bahwa laknat Allah akan menimpanya bila ia tidak benar dalam tuduhannya; kemudian sumpah li'an si suami itu tidak ditolak oleh istri dengan li’an balik. Hal ini menjadi bukti bahwa perzinaan itu memang telah terjadi. Pembuktian terjadinya zina dilakukan di depan hakim yang diajukan oleh penuntut umum yang mewakili masyarakat yang tercemar. Adapun adanya kesamaran atau terjadinya Syubhat harus dibuktikan oleh si pelaku perzinaan.Hal ini perlu diitempuh untuk menghindari pelaksanaan hukuman yang tidak tepat.Hukum jinayah Islam mempunyai prinsip memperkecil kemungkinan terjadinya pelaksanaan sanksi hukuman dengan mengemukakan kesamaran-kesamaran. Hal ini dipahami dari hadits Nabi yang mengatakan: artinya hindarkanlah pelaksanaan hukuman (hudud) semampu kamu.
e)      Hal-hal yang dapat ditempatkan sebagai syubhat yang dapat meniadakan hukuman tersebut menurut pendapat ulama yang berkembang adalah sebagai berikut:
1)      Syubhat dalam berbuat yaitu hubungan kelamin yang berlangsung antara pasangan yang meyakini sebagai suami istri, tetapi ternyata kemudian bahwa dia bersetubuh dengan orang lain.
2)      Syubhat dalam hukum yaitu hubungan kelamin yang berlangsung antara laki-laki dan perempuan yang oleh satu pendapat dinyatakan sebagai tidak sah, sedangkan menurut pendapat lain adalah sah. Umpamanya pernikahan yang tidak memakai wali yang oleh golongan Syafiiyah dinyatakan tidak sah, sedangkan menurut golongan Hanafiyah adalah sah.
3)      Hubungan kelamin antara pasangan yang meyakini sebagai pasangan yang sah tetapi ternyata kemudian tidak sah. Umpamanya suami istri yang kemudian ketahuan di antara keduanya adalah bersaudara.
4)      Hubungan kelamin secara terpaksa. Hal ini hanya berlaku terhadap pihak perempuan yang mungkin berada dalam keadaan terpaksa dan tidak pada laki-laki yang tidak mungkin melangsungkan hubungan kelamin sambil dipaksa.
5)      Pengakuan dari pihak yang melakukan hubungan kelamin bahwa mereka adalah suami istri.
6)      Dapatnya dibuktikan bahwa si perempuan masih dalam keadaan perawan.[10]


2.      Jarimah Qadzf
a.       Pengertian qadzf
Secara etimologis, qadzf berasal dari kata قذفا فيقذ  قذف – yang oleh Lu’is Ma’luf jika dihubungkan dengan kalimat  بقولهقذف beartiمن غير ثدبر ولا ثامل  ثكام yang berate berbicara mengawur tanpa berfikir terlebih dahulu.[11] Dapat juga dkatakan asal makna Qadzf adalah arramyu (melempar), umpamanya dengan batu atau dengan yang lainnya. Hal ini bias dilihat dari firman Allah swt. Dalam Al-Qur’an:

Artinya:
(Yaitu) letakkanlah dia (Musa) didalam peti, kemudian hanyutkanlah dia kesungai (Nil)…(QS.Thaha’[20]: 39)
Arti qadzf dalam kaitannya dengan zina dipetik dari arti firman Allah tersebut. Kemudian, yang dimaksud qadzf zina adalah menuduh zina. Barang siapa menuduh orang lain berzina dengan cara memfitnah atau melecehkannya, seperti ucapan,”wahai pezina”.” wahai anak yang tidak punya ayah,”untuk menuduh ibunya berzina, dan lain-lain, dia dikenakan hukum qadzf, dengan syarat, baligh, berakal dan orang yang menuduh bukan ayah tidak dihukum qisash jika ia membunuh anaknya, ia juga tidak dihukumhad dengan menuduh anaknya berbuat zina, berdasarkan qiyas. Kakek atau nenek dan seterusnya ke atas memiiki hokum yang sama dengan ayah dalam masalah ini. Lima syarat yang berhubungan dengan orang yang dituduh yaitu muslim, baligh, berakal, merdeka dan orang yang baik-baik yang belum pernah dikenai hukuman had zina sebelumnya. Allah swt. berfirman dalam QS. An-Nur [24]: 4
“Dan orang- orang yang menuduh perempuan-perempuan baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Seseorang yang wajib dikenakan hukuman had karena menuduh orang lain berzina yang kemungkinan besar ia telah berbohong dan mencemarkan nama baik yang dituduh. Sementara orang yang menuduh orang lain tidak bias menjaga kehormatannya, kebenaran tuduhannya bias diterima. Hal ini tidak dapat menimbulkan pencemaran nama baik orang tersebut karena pada awalnya namanya sudah tercemar. Begitu juga dengan orang kafir karena ia tidak memiliki pencegah untuk menghindari diri dari perbuatan keji.
Hukuman had bias gugur apabila terpenuhi salah satu dari tiga hal berikut :
a.       Adanya saksi yang membenarkan yang ia tuduhkan. Sesuai dengan QS. An-Nur ayat 4 tersebut menerangkan, apabila penuduh dapat mendatangkan empat orang saksi, ia terbebas dari hukuman had, dan orang yang dituduh dikenai hukuman zina.
b.      Orang yang dituduh memaafkan karena had orang yang dituduh disyariatkan untuh membersihkan nama baik tertuduh.
c.       Sumpah li’an, jika tuduhan dilakukan suami terhadap istrinya.
b.      Syarat-syarat Qadzaf
1)      Syarat-syarat qadzif (yang menuduh zina)
a)      Berakal
b)      Dewasa
c)      Dalam keadan ikhtiar, yakni tidak dipaksa oleh pihak
Jadi, apabila orang gila, ank kecil, atau orang yang dipaksa menuduh zina kepada orang lain, mereka tidak dapat dijatuhi hukum dera kecuali orang tidur sehingga ia bangun, anak kecil sehingga ia dewasa, orang gila sehingga ia sadar berdasarkan hadist rasulullah saw. Selain itu apabila yang menuduh zina itu orang yang murahik puber (orang yang hamper dewasa), sekiranya tuduhan itu menyakitkan ia tidak didera, melainkan dikenai sanksi yang relevan baginya.
2)      Syarat-syarat maqdzuf
·         Berakal ; apabila yang berzina itu orang gila, penuduh tidak dapat dijatuhi hukuman dera karena sesungguhnya hukuman dera itu untuk mencegah terjadinya bahaya yang diterima dengan sakit hati oleh tertuduh.
·         Dewasa ; pihak yang menuduh zina tidak dapat dijatuhi hukuman dera apabila yang dituduhnya anak kecil yang belum dewasa. Hokum orang yang menuduh zina kepada anak perempuan yang belum dewasa tetapi memungkinkan untuk dizinahi disini mayoritas ulama berpendapat bahwa masalah ini termasuk qadzaf. Karena pihak perempuan yang belum dewasa tidak bias dijatuhi had. Meskipun demikian, penuduhnya harus dijatuhi sanksi, bukan dijatuhi had dera. Al imam malik berpendapat bahwa masalah tersebut termasuk qadzaf dan penuduhnya harus dihad.
·         Islam ; menurut mayoritas ulama’, jika maqdzhuf bukan orang islam, penuduhnya tidak dapat dijatuhi hukuman dera. Kemudian apabila ada orang nasrani atau yahudi menuduh zina kepada orang islam yang merdeka, orang nasrani atau yahudi dikenai hokum dera delapan puluh kali.
·         Merdeka ; apabila maqdzuf itu budak, baik milik qadzifnya maupun bukan, qadzhifnya tidak dapat dikenai hukuman dera. Karena martabat budak tidak sama dengan martabat orang yang mardeka, meskipun qadzhaf orang yang mardeka terhadap buda menuduh zina hukumnya haram.
·         Belum pernah dan menjauhi zina ; apbila ada orang yang berbuat zina pada awal masa remajanya, kemudian ia bertaobat dan bertingkah laku baik sampai tua, kemudian ada yang menuduhnya berzina, orang yang menuduh tersebut tidak dikenai hukuman dera. Akan tetapi meskipun tidak dikenai hukuman dera, yang menuduh zina tersebut tetap dikenai hukuman sanksi.
3)      Syarat-syarat pada maqdzuf bih (tuduhan) :
a.       Secara sharih (jelas), seperti perkataan “ hai orang yang berzina,” atau kata-kata yang dianggap jelas, seperti “ hai kamu lahir tanpa bapak.” Hal ini berarti secara tidak langsung telah menuduh ibu dari anak tersebut berbuat zina.
b.      Dengan kinayah (sindiran), misalnya ada dua orang bertengkar kemudian yang satu berkata, “ walaupun aku jelek seperti ini, aku tidak pernah berbuat zina dan ibu ku juga.” Pernyataan seperti ini merupakan sindiran yang dianggap menuduh zina kepada lawannya dan ibunya.[12]
3.      Jarimah Syurb Al-Khamar
a.       Pengertian asyribah
Kata الخمر berasal dari kata خمر- يخمر- خمرا   yang berarti سثره menutup.  Dalam menjelaskan tentang arti khamr ini, Al-Qurthubi mengemukakan:
Kata khamr berasal dari kata khamara atau satara yang berarti menutup. Oleh karena itu, ada istilah kerudung wanita. Setiap benda yang menutup sesuatu yang lain, selalu disebut khamar, seperti dalam kalimat “jadi, khamar da[pat menutup akal, menyumbat, dan membungkusnya.”[13]
Adapun Asyribah adalah bentuk jamak (plural) dari kat syurbun. Asyribah atau minum minuman keras adalah minuman yang bias memabukkan apapun asalnya. Imam Malik, imam Assyafi’I dan imam Ahmad berpendapat bahwa yang dimaksud khamar adalah minumanyang memabukkan, baik disebut khamar atau dengan nama lain. Adapun imam Abu Hanifah membedakan antara khamr dan mabuk. Khamar diharamkan meminumnya, baik sedikit maupun banyak dan keharamannya terletak pada zatnya. Minuman lain yang bukan khamar, tetapi memabukkan, keharamannya tidak terletak pada minuman itu, tetapi padaminuman terakhir yang menyebabkan mabuk menurut imam Abu Hanifah, minum-minuman memabukkan selain khamar tidak diharamkan.[14]
b.      Sanksi dan batasan syurb Al-Khamr
Sebagaimana menurut pendapat beberapa ulama’ sebagai berikut:
1.      Hanafiah; sebagaimana dipaparkan Al-Zuhaili, membedakan antara sanksi sekedar minum khamar dan sanksi mabuk. Artinya, sedikit atau banyaknya tetap saja haram dan peminum yang tidak mabuk dapat dikenai sanksi hukum. Jika mengonsumsi sudah dapat dikenai sanksi, terlebih lagi sampai mabuk, sanksi yang dikenakan pastilah lebih berat.
2.      Jumhur ulama’; tidak memisahkan antara sanksi sekedar meminum dan sekdar mabuk. Menurut mereka, setiap meminum (memakan) suatu zat yang dalam jumlah besarnya memabukkan maka sedikitnya tetap saja haram, baik mabuk atau tidak.
Mengenai sanksi pidana bagi pemabuk, tidak disebutkan secara jelas dalam rangkaian ayat tentang pengharaman khamar diatas. Adapun perbedaan pendapat mengenai sanksi jraimah cambukan yang harus dikenakan pada pelaku. Apakah cukup diberi sanksi empat puluh kaliu cambukan atau harus elapan puluh kali. Abu Dawaud meriwayatkan hadits sebagai berikut yang artinya:
“Dari Ali ra. Ia berkata,” Nabi mencambuk pelaku jarimah syurb al-khamr sebanyak empat puluh kali demikian juga Abu Bakar. Sementara itu, Umar menyempurnakannya menjadi delapan puluh kali. Kedua-duanya merupakan sunnah. (HR. Abu Dawud)
Dari hadits ini bias kita ketahui bahwa sanksi bagi peminum khamar itu ada dua, yaitu emept puluh kali cambukan dan delapan puluh kali cambukkan. Dari sinilah beberapa fuqaha’ berbeda pendapat; jumhur fuqaha berpendapat sanksinya delapan puluh cambukan berdasarkan kebijakan Umar dan Ali, sedangkankelompok syafi’iyah berpendapat sanksinya empat puluh kali cambukkan. karena Anas bin Malik yang berdasarkan pada Nabi saw dan Abu Bakar yang melaksanakan anksi cambuk sebanyak empat puluh kali. Adapun tambahan empat puluh kali cambukkan diluar itu sebagaimana yang dilakukan Umar bukanlah Hudud melainkan ta’zir dan merupakan kebijakan sendiri yang dilakukan berdasarkan kemashlahatan didalamnya, sedangkan rasulullah dan Abu Bakar tidak menemukan adanya kemashlahatan. Menurut imam Abu Hanifah yang termasuk dalam kategori khamar adalah:
1.      Air anggur yang telah mendidih dan mengeluarkan buih. Akan tetapi menurut Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Al-Syaibani, air anggur ketika telah mendidih sudah menjadi khamr, walaupun tidak mengeluarkan buih.
2.      Air anggur yang telah direbus dan yang tersisa kurang dari dua pertiga telah berubah menjadi khamr, baik basah maupun kering.
3.      Perasan kedelai ketika mendidih dan mengeluarkan buih. Akan tetapi, menurut Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Al-Syaibani, perasan itu telah menjadi khamar meskipun belum mengeluarkan buih.
Dalil yang digunakan Abu Hanifah untuk mendukung pendapatnya adalah hadits berikut:
عن ابي هريرة قال قال رسول الله صلي الله عليه و سلم الخمر من هاثين الشجرثين الكرمة و النخلة
Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata,” aku mendengar Rasulullah saw. Bersabda, ‘khamar itu berasal dari dua pohon, pohon anggur dan kurma.”(HR. Muslim)
Apabila meminum selain dari kedua jenis ini yaitu anggur dan kurma yang dapat memabukkan maka hukumanya adalah cambuk bagi pelakunya. Jadi, tempat perbedaanyaitu, jumhur ulama berpendapat bahwa selain dari perasan anggur dan kurma dapat dikatakan khamar. Sementra itu Abu hanifah berpendapat  bahwa selain perasan anggur dan kurma bukan khamar. Apabila ketika diminum tidak memabukkan dan hukumnya halal dan sebaliknya jika diminum memabukkan maka hukumnya haram.[15]
c.       Menjual belikan benda yang memabukkan
Memperjual belikan benda yang memabukkan haram hukumnya sehingga haram pula uangnya, karena sama dengan mengambil harta dengan jalan batil seperti jual beli khamar dan benda-benda yang memabukkan. Sesuatu yang telah diharamkan dilarang mengambil manfaat atas barang tersebu begitupun dengan menikmati hasil penjualannya.
d.      Syarat-syarat melakukan hukuman bagi peminum khamar
1.      Berakal
2.      Baligh
3.      Sesuai kemauan sendiri. Seseorang yang meminum khamar karena terpaksa atau dipaksa tidak dikenai hukuman, baik ancaman tersebut berupa ancaman pembunuhan atau siksaan fisik atau akan dirampas hartanya melainkan akan menghilangkan dosanya akibat terpaksa.
4.      Mengetahui apa yang diminumnya adalah memabukkan. Apabila ia meminumnya karena tidak tahu bahwa itu memabukkan maka ia tidak dihukum. Tetapi apabila sebelumnya sudah diingatkan bahwa minuman tersebut lalu ia meminumnya maka akan diperkirakan bagi hukumannya.[16]
4.      Jarimah Al-Baghyu
a)      Pengertian Al-baghyu[17]
Al-baghyu secara etimologis berarti mencari, mengusahakan, atau memilih. Pengertian tersebut diambil dari beberapa ayat Al-Quran.
فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
Tetapi barang siapa mencari di balik itu (zina, dan sebagainya), maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-Mu'minin [23]: 7)

 
Dan barang siapa yang mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. (Q.s, Ali 'Imran [3]: 85)
Kata baghyun juga berarti pelanggaran dan penyelewengan.
Secara terminologis, al-baghyu adalah usaha melawan pemerintahan yang sah dengan terang-terangan atau nyata, baik dengan mengangkat senjata maupun tidak mengindahkan ketentuan yang digariskan pemerintah. Asy-Syafi'i mengatakan, pemberontak adalah orang muslim yang menyalahi imam, dengan cara tidak menaatinya dan melepaskan diri dari imam, menolak kewajiban, yang memiliki kekuatan, argumentasi, dan pimpinan.
Pemberontak adalah sekelompok kaum muslim yang tidak menaati pemerintah yang sah. Mereka menolak menjalankan kewajiban yang diperintahkan dan memerangi jemaah kaum muslim yang lain, dengan dalih perbedaan hukum yang mereka pahami dan yakini, mereka mengaku bahwa kebenaran berada di pihaknya dan kekuasaan berada di tangannya. Orang-orang seperti ini wajib diperangi oleh kaum muslim bersama pemerintah yang adil.
b)       Unsur-unsur Pemberontakan
Unsur-unsur pemberontakan adalah melawan pemerintahan yang sah atau melepaskan diri atau keluar dari kekuasaan imam dan kesengajaan atau iktikad tidak baik. Melepaskan diri atau keluar merupakan perbuatan menentang dan mencoba menjatuhkan kekuasaan imam dengan alasan politis. Hal ini karena keluar dari imam tanpa alasan politis, hanya dikategorikan sebagai pengacau keamanan atau perampokan biasa. Adapun dikategorikan pemberontakan adalah mereka yang mempunyai kekuatan, dalam arti banyaknya personel serta persenjataan yang memungkinkan mereka mengadakan perlawanan dan memiliki pimpinan sebagai pengganti imam yang ditinggalkan. Menurut Abu Hanifah, yang dikategorikan sebagai pemberontak walaupun belum ada perlawanan apabila mereka telah berkumpul dan merencanakan tindakan. Mereka yang kembali dan meletakkan senjata, pemerintah tidak boleh memeranginya dan memperlakukan secara adil, seperti warga yang lain.
Syarat memerangi pemberontak ada tiga, yaitu sebagai berikut.
1)      Memiliki kekuatan, yaitu mereka mempunyai kekuatan (bersenjata) yang dapat digunakan untuk melawan pemerintah atau penegak keadilan. Seperti mereka memiliki kelompok lain yang dapat dimintai bantuan, mempunyai benteng pertahanan, atau menguasai salah satu daerah kaum muslim (yang berada dalam kekuasaan pemerintah). Tujuan memeranginya adalah menghindari bahaya yang ditimbulkan. Oleh karena itu, jika tidak memiliki kekuatan seperti yang disebutkan, bahaya keberadaan mereka tidak perlu ditakuti.
2)      Membangkang dari ketaatan terhadap pemimpin, misalnya mengangkat pemimpin sendiri dari kalangan mereka untuk memimpin daerahnya.
3)       Mempunyai pemikiran berbeda dengan pemerintah, yang mungln'n benar, mungkin juga salah. Misalnya, mereka mempunyai pemahaman berbeda dalam memaknai AlQuran atau hadis, yang menyebabkan memperbolehkan kelompoknya untuk membangkang terhadap pemerintah yang sah, atau tidak menunaikan kewajiban yang diperintahkan oleh pemerintah.
c)      Sanksi Hukum bagi Pemberontak
Hukuman bagi yang melakukan pemberontakan terhadap negara atau pemerintahan yang sah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran yang menerangkan kewajiban memerangi pemberontak adalah firmanNya:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
"Dan apabila ada dua golongan mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan bedakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Hujurat [49]: 9)
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukminitu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisiih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al-Hujurat [49]: 10)
Menurut firman Allah, hukum memerangi pemberontak atas perintah imam atau pemimpin hukumnya wajib, jika pemberontakan itu dilakukan oleh segolongan kaum muslim atas segolongan kaum muslim yang lain. Apalagi jika pemberontakan itu ditujukan kepada pemimpin yang sah.
Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa memecah belah persatuan kaum muslim, padahal mereka telah sepakat untuk memilih satu pemimpin dengan maksud menceraiberaikan umat, maka bunuhlah dia."
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa, “Barang siapa memecah belah persatuan umat ini, padahal ia telah menyatu, tebaslah dia dengan pedang di mana pun dia berada." Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang mendatangimu, sedangkan urusanmu berada di tangan mereka (pemimpin mereka) dan mereka ingin merusak kekuasaanmu serta akan memorak-morandakan jemaahmu, maka bunuhlah mereka." (H.R. Muslim)
5.      Jariamh al- Riddah
a)      Pengertian Riddah[18]
Riddah adalah kembali ke jalan asal atau kembalinya orang Islam yang berakal dan dewasa pada kekafiran dengan kehendaknya sendiri. tanpa ada paksaan dari orang lain. Secara etimologis, n'ddah berarti kembali dari sesuatu kepada sesuatu yang lain, sedangkan menurut terminologi fiqh, n'ddah adalah keluarnya seseorang (menjadi kafir) setelah dia memeluk Islam. Perbuatan tersebut dinamai riddah, sedangkan pelakunya dinamai murtad atau orang yang keluar dari agama Islam.
Kemurtadan seseorang bisa dengan perkataan yang menjurus arah kekafiran, memperolok-olok agama, melawan ketentuan atau menolak keabsahan dalil yang disepakati sebagai dalil yang qath'i menghalalkan atau mengharamkan segala sesuatu yang jelas qath-nya, menyangkal adanya pencipta, sengaja mengotori mushaf Al-Quran, beribadah atau sujud kepada selain Allah, dan lain-lain. Unsur yang menjadikannya sebagai jazimah adalah kembalinya dia kepada agama semula atau keluarnya dia dari agama Islam. Di samping itu, seperti pada jarimah lain, adalah adanya kesengajaan atau iktikad jahat pelaku. Bentuk murtad dapat diklasifikasikan dari contoh di atas, dapat berupa ucapan, perbuatan, atau tidak berbuat dengan sengaja menentang dalil dengan iktikad atau keyakinan, seperti keyakinan bahwa Allah sama dengan makhluk, dan sebagainya.
Barang siapa murtad dari agama Islam, dia diminta untuk bertobat sebanyak tiga kali. Jika tidak mau, dia harus dibunuh. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbasia bahwa Rasulullah bersabda, “Barang siapa mengganti agamanya, bunuhlah dia!" Dalam hadis lain, beliau bersabda, "Seorang muslim tidak boleh dibunuh kecuali karena salah satu dari tiga sebab, (karena) meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari jemaah kaum muslimin."
Meminta agar orang yang murtad bertobat hukumnya wajib, sebelum menjatuhkan hukuman mati. Hal ini sejalan dengan hadis riwayat Daruquthni dari Jabir, ia berkata, “Seorang wanita yang bernama Ummu Ruman murtad dari agama Islam. Mendengar itu, Rasulullah memerintahkan agar wanita itu diajak kembali ke dalam ajaran Islam dengan baik-baik, jika tidak mau, ia harus dibunuh.
Sebagian ulama berpandangan bahwa penjatuhan hukuman mati ditangguhkan selama tiga hari. Dalam masa itu, ia harus diminta terusmenerus agar kembali masuk Islam. Hal ini sesuai dengan ucapan Umar tentang seorang laki-laki yang dibunuh karena murtad, tetapi belum diberi masa tenggang tiga hari, ia berkata, “Kenapa kalian tidak menahannya selama tiga hari lebih dahulu, memberinya makan roti setiap hari, dan memintanya bertobat? Mungkin ia sadar dan kembali ke jalan Allah. Akan tetapi, menurut pendapat yang lebih kuat dalam mazhab Syafi'i, hukuman mati tidak perlu ditangguhkan hingga tiga hari, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan Bukhari (6525) dan Muslim (1733) tentang penugasan Abu Musa Al-Asy'ari di daerah Yaman. Dalam penggalan hadis itu tertera, “Muaz bin-Jabal datang menemui Abu Musa. Ketika ia sampai kepadanya, Abu Musa melemparkan bantal, seraya berkata,"Duduklah", tiba-tiba Muaz melihat seorang laki-laki yang diikat di tempat itu, dan ia bertanya, Ada apa ini?" Abu Musa menjawab, "Ini adalah seorang Yahudi yang masuk Islam lalu kembali lagi memeluk agama Yahudi. " "Duduklah!" mkasnya. Muaz menjawab, "Saya tidak akan duduk sebelum orang ini di hukum mati! Ini adalah ketetapan Allah dan Rasul-Nya." Ia mengulang ucapannya tiga kali, Abu Musa pun memerintahkan agar orang itu dibunuh.
Orang murtad yang dieksekusi mati tidak dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dikuburkan di pemakaman kaum muslim karena ia telah keluar dari kelompok orang Islam. Allah SWT berfirman:

.. Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu sampai kamu murtad (keluar) dari agamamu, jika mereka sanggup (QS. Al-Baqarah [2]: 21 7)
Orang yang meninggalkan shalat wajib terbagi menjadi dua. Orang yang meninggalkannya karena berkeyakinan bahwa ia tidak wajib, hukum orang ini sama dengan hukum orang yang murtad dari agama Islam. Oleh karena itu, ia harus bertobat. Sebagai bukti tobatnya, ia harus shalat secara terang-terangan dan mengumumkan bahwa ia telah meyakini kewajiban shalat. Apabila tidak bertobat, ia harus dibunuh dan dihukum sebagai orang kafir. Ia tidak dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dikuburkan di pemakaman kaum muslim.
Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir, ia berkata, ”Aku mendengar Rasulullah bersabda,Yang membedakan antara seorang muslim dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat." Hadis ini khusus bagi orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya. Meninggalkan shalat karena malas dengan tetap berkeyakinan bahwa shalat itu wajib. Orang seperti ini harus diminta bertobat dan shalat baik untuknya. Jika tidak, ia dijatuhi hukuman mati berdasarkan hukuman had dan tetap dianggap gai muslim Bukhari dan Muslim meriwayatkan dan' Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah, selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Apabila mereka mengenakan semua itu, nyawa dan harta mereka telah aman, kecuali berdasarkan ketentuan hukum Islam, dan ganjaran amal mereka ada kepada Allah."
Hadis di atas menerangkan bahwa barang siapa yang telah mengucapkan kalimat syahadat, dia harus dihukum mati jika meninggalkan shalat wajib, tetapi ia tidak dihukum kafir. Hal ini dipertegas dalam hadis lain riwayat Abu Dawud (1420) dari Ubadah bin Shamit, ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah bersabda, 'Ada lima waktu shalat yang Allah wajibkan bagi hamba-hamba-Nya. Barang siapa mengerjakannya dengan tidak meremehkan dan melalaikan tata cara pelaksanaannya, Allah berjanji akan memasukannya ke dalam surga. Barang siapa yang tidak mengerjakannya, Allah tidak memiliki janji dengannya. Jika berkehendak, Allah bisa mengazabnya, (atau jika Allah berkehendak bisa mengampuninya) dan memasukannya ke surga ."
Dalam hadis itu diuraikan bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas tidak dihukum kafir, tepatnya pada sabda Rasulullah SAW, ”Jika berkehendak, Allah bisa mengazabnya (atau mengampuninya) dan memasukkannya ke surga."
Orang kafir tidak akan masuk surga. Oleh karena itu, hadis ini untuk kategori orang yang meninggalkan shalat karena malas. Ketika meninggal, orang ini tetap dimandikan, dikatani, dishalatkan, dan dikuburkan di pemakaman kaum muslim karena termasuk golongan kaum muslimin.
b)      Sanksi Hukum Riddah
Dalam Islam, orang murtad dikenai hukuman berat sebab perbuatannya dapat memorak-morandakan jemaah serta memancing perpecahan masyarakat. Oleh karena itu, demi kelestarian jemaah dan mencegah perpecahan dalam jemaah, pelakunya harus dihukum. Di samping itu, konsekuensi riddah adalah terputusnya hubungan waris dan bubarnya perkawinan. Bahkan, gugurnya semua amal yang telah diperbuat. Asas legalitas jarimah riddah dapat dilihat dalam ketentuan di bawah ini:
"Barang siapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (Q.S. Al-Baqarah [2]: 217)
Rasulullah SAW menyatakan, “Barang siapa yang mengubah agamanya, bunuhlah dia. " (H.R. Bukhari)
Paksaan terhadap orang Islam untuk mengucapkan kalimat kufur tidak bisa mengeluarkan dari agamanya (Islam) sepanjang hatinya tetap teguh memegangi keimanan terhadap iman Islamnya. Mengenai paksaan ini, Ammar bin Yasir juga telah pernah dipaksa Untuk mengucapkan kalimat kufur. Ia ucapkan kalimat itu. Kemudian turunlah firman Allah SWT:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Barang siapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (ia tidak berdosa), tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan mereka akan mendapat azab yang besar. (QS. An-Nahl [16]: 106)
Pada suatu ketika orang-orang kafir menangkap Ammar bin Yasir, ayahnya, ibunya, Shuhaib, Bilal, Khabbab, dan Salim. Mereka disiksa oleh orang-orang kafir. Samiyyah, ibu Ammar, diikat antara dua unta. Kemudian, di depannya dipasang tombak, kepadanya dikatakan, “Engkau masuk Islam karena laki-laki!" Setelah itu, ia dibunuh bersama suaminya. Pada saat itu pula, Ammar dipaksa berikrar untuk masuk kekafiran, Ammar menuruti paksaan mereka. Setelah peristiwa ini, Ammar minta keterangan kepada Rasulullah SAW. Rasul bertanya,“Bagaimana keadaan hatimu?" Jawab Ammar, “Hatiku tetap teguh memegangi keimanan terhadap agama Islam!" Rasulullah SAW. berkata, “Kalau mereka kembali kepadamu, katakanlah seperti tadi!"
Orang Islam jika keluar dari agamanya adalah murtad. Hukum Allah masih berlaku padanya. Akan tetapi, adakah riddah hanya terbatas kepada orang-orang Islam yang keluar dari agamanya? Ataukah riddah mencakup nonmuslim yang keluar dari agamanya dan pindah ke agama non-Islam? Orang kafir yang pindah dari agamanya ke agama non-Islam dinilai menurut agama yang ditinggalkannya dan itu tidak bisa dicegah. Karena ia pindah dari agama yang tidak benar ke agama lain yang juga tidak benar. Perpindahan agama seperti ini tidak bisa disamakan dengan perpindahan agama dari Islam ke agama lain karena sama dengan pindah dari kebenaran ke tempat yang tidak benar. Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
"Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Ali 'Imran [3]: 85)
Dalam hal ini Imam Syafi'i mempunyai dua pendapat.
1)      Apabila orang kafir pindah ke agama lain yang juga kafir, ia tidak dapat diterima, kecuali masuk Islam atau dibunuh. Pendapat ini sesuai dengan salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Ahmad.
2)      Apabila orang kafir pindah ke agama lain yang juga kafir, tetapi sepadan kualitasnya lebih tinggi, kita setuju terhadap hal seperti ini. Apabila ia pindah ke agama lain yang juga kafir, tetapi kualitasnya lebih rendah, kita tidak setuju terhadap hal itu. Dengan demikian, jika seseorang pindah dari Yahudi ke Nasrani, kita setuju. Karena Yahudi itu kualitasnya sama dengan Nasrani, sama-sama agama samawi menurut asalnya, kemudian diubah oleh penganutnya.
Banyak terjadi riddah ditimbulkan oleh keragu-raguan dalam jiwa sehingga mendesak iman untuk keluar. Walaupun demikian. orang yang berbuat riddah diberi kesempatan untuk menghilangkan keraguannya. Ia harus diberi dalil-dalil dan bukti-bukti yang dapat mengembalikan keimanan ke dalam hatinya sehingga ia yakin. Dengan demikian, menganjurkan kepadanya untuk bertobat dan kembali ke dalam Islam termasuk hal yang wajib.
Menurut sebagian ulama, kesempatan yang diberikan kepada orang murtad untuk menghilangkan keraguannya dan kembali lagi ke dalam Islam adalah tiga hari. Sebagian ulama lain mengatakan bahwa orang yang murtad hanya diberi penjelasan dan pandangan secara berulang-ulang sehingga dapat diperkirakan dengan mantap, apakah ia tetap murtad atau kembali ke Islam. Apabila ia tetap murtad, ia dijatuhi had.
Ulama yang mengatakan diberi kesempatan tiga hari, berpegang pada tindakan Umar, ketika datang seorang laki-laki dari Syam kepadanya. Umar bertanya, 'Adakah kabar dari daerah yang jauh?" Jawab laki-laki tersebut, 'Ada, yaitu kabar seorang laki-laki bertindak murtad setelah ia beragama Islam!" Umar bertanya, “Apa yang kau kerjakan?" Jawab laki-laki tersebut, “Dia kudekah' dan kubunuh. " Umar bertanya,“Mengapa tidak kau penjarakan di rumah selama tiga hari; kau beri makan roti setiap harinya dan kau anjurkan bertobat, mungkin ia akan mau dan kembali ke agama Islam? Ya, Tuhan, sungguh aku tidak menyaksikan tindakan laki-laki ini. Aku tidak menyuruhnya. Aku tidak setuju terhadap tindakan ini! Ya, Tuhan, sungguh aku tidak ikut campur terhadap darah yang dialirkannya!" Ibarat ini diriwayatkan oleh Imam Syafi'i.
Adapun ulama yang mempunyai pendapat kedua berpegang pada tindakan Muaz, bahwa pada suatu ketika ia datang ke Yaman dan bertemu Abu Musa Al-Asy'ari. Di samping Abu Musa ada seorang laki-laki yang terikat. Muaz bertanya, ‘Ada apa ini?” Jawab Abu Musa, “Laki-laki ini berasal dari Yahudi. Ia masuk Islam lalu kembali lagi ke agama asalnya, yaitu Yahudi! "
Perlu diketahui bahwa laki-laki yang terikat itu telah dianjurkan bertobat selama 20 malam atau hampir 20 malam sebelum Muaz datang. Muadz berkata, ”Aku tak mau duduk sehingga ia dibunuh. Bunuh itu putusan Rasulullah SAW.!" Muaz mengulangi ucapannya tiga kali sehingga dibunuhlah laki-laki itu.
Apabila orang Islam bertindak murtad, terjadi perubahan berikut.
1)      Hubungan perkawinan
Jika suami atau istri murtad, putus hubungan perkawinannya karena riddahnya salah satu dari suami istri merupakan hal yang mengharuskan pisah. Apabila salah satu dari suami-istri yang murtad itu bertobat dan kembali lagi ke Islam, untuk mengadakan hubungan perkawinan seperti semula, mereka harus memperbaharui lagi akad nikah dan mahar.
2)      Hak waris
Orang murtad tidak boleh mewarisi harta peninggalan kerabat-kerabat muslimnya karena orang murtad adalah orang yang tidak beragama. Jika ia tidak beragama, tentu ia tidak boleh mewarisi harta peninggalan kerabat-kerabat muslimnya. Apabila ia mati atau dibunuh, harta peninggalannya diambil alih oleh para pewarisnya yang beragama Islam karena sejak ia murtad, ia telah dianggap dan dihukum sebagai mayat. Ali pernah didatangi seorang laki-laki tua yang asalnya beragama Nasrani, kemudian masuk agama Islam dan akhirnya kembali lagi ke Nasrani. Ali berkata, “Mungkin kamu murtad hanya untuk mendapatkan harta warisan dan setelah itu kamu kembali lagi ke dalam Islam?" Laki-laki tua itu menjawab, “Tidak!" Ali berkata, atau mungkin kamu melamar seorang perempuan, tetapi orang-orang tidak mau mengawinkanmu dengan perempuan itu. Kemudian kamu murtad untuk dapat mengawininya, dan setelah itu kamu kembali lagi ke dalam Islam?” Laki-laki tua itu menjawab, 'Aku tidak akan kembali ke Islam sehingga aku menemui Almasih!" Laki-laki tua itu pun dipenggal lehernya. Kemudian, harta peninggalannya diserahkan kepada anaknya yang beragama Islam.
3)      Hak kewaliannya
Orang yang murtad tidak mempunyai hak kewalian terhadap orang lain. Ia tak boleh menjadi wali untuk anaknya. Dalam kitab Al-Maswa dijelaskan secara ringkas bahwa orang yang mengingkari dan tidak mau mengakui agama Islam, baik lahir atau batin, disebut kafir. Apabila ia mengakui agama Islam dalam mulut, tapi hatinya ingkar, ia disebut munafik. Apabila ia mengakui agama Islam lahir dan batin. tetapi dalam Islam ia menafsirkan ajaran agama yang telah ditetapkan (secara pasti) dengan tafsiran yang berbeda dengan para sahabat, tabiin, dan konsensus bersama, ia disebut zindiq.
Contohnya riddah Zindiq adalah seseorang yang mengakui bahwa Al-Quran itu benar. Sesuatu yang terkandung di dalamnya -termasuk surga dan neraka-, juga benar. Akan tetapi, surga yang disebut dalam Al-Quran ditafsirkan dengan kemewahan yang terjadi disebabkan memiliki harta benda yang banyak. Neraka ditafsirkan dengan kesengsaraan yang terjadi karena kemelaratan dan kemiskinan. Dengan demikian, surga dan neraka tidak ada di akhirat. Surga dan neraka hanya suatu perasaan senang dan sengsara. Orang yang punya tafsiran seperti ini dinamakan Zindiq.
Sebagaimana syara' telah menegakkan hukum bunuh sebagai peringatan bagi orang murtad agar segera kembali ke Islam. Syara' . juga menegakkan hukum bunuh yang merupakan peringatan bagi orang Zindiq agar segera meninggalkan tafsirannya yang sesat dalam agama.
6.      Jarimah Sariqah
a)      Pengertian Sariqah
Sariqah adalah bentuk mashdar dari kata saraqa-yasriqu-saraqan dan secara etimologis berarti  mengambil harta milik seseorang secara sembunyi-sembunyi dan dengan tipu daya. Sementara itu, secara terminologis definisi sariqah dikemukakan oleh beberapa ahli berikut.
1)      Ali bin Muhammad Al-Jurjani.
Sariqah dalam syariat Islam yang pelakunya harus diberi hukuman potong tangan adalah mengambil sejumlah harta senilai sepuluh dirham yang masih berlaku, disimpan di tempat penyimpanannya atau dijaga dan dilakukan oleh seorang mukallaf secara sembunyi-sembunyi serta tidak terdapat unsur syubhat, sehingga kalau barang itu kurang dari sepuluh dirham yang masih berlaku maka tidak dapat dikategorikan sebagai pencurian yang pelakunya diancam hukuman potong tangan.
2)      Muhammad Al-Khatib Al-Syarbini (ulama mazhab Syafi'i) .
Sariqah secara bahasa berarti mengambil harta (orang lain) Secara sembunyi-sembunyi dan secara istilah syara' adalah mengambil harta (orang lain) secara sembunyi-sembunyi dan zalim, diambil dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan dengan berbagai syarat.
3)      Wahbah Al-Zuhaili.
Sariqah ialah mengambil harta milik orang lain dari tempat penyimpanan. nya yang biasa digunakan untuk menyimpan secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Termasuk dalam kategori mencuri adalah mencuri-curi informasi dan pandangan jika dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.
4)      Abdul Qadir Audah.
Ada dua macam sariqah menurut syariat Islam, yaitu sariqah yang diancam dengan had dan sariqah yang diancam dengan ta'zir. Sariqah yang diancam dengan had dibedakan menjadi dua, yaitu pencurian kecil dan pencurian besar. Pencurian kecil ialah mengambil harta milik orang lain secara diam-diam. Sementara itu, pencurian besar ialah mengambil harta milik orang lain dengan kekerasan. Pencurian jenis ini juga disebut perampokan.
Dari beberapa rumusan definisi sariqah di atas, dapat disimpulkan bahwa sariqah ialah mengambil barang atau harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan barang atau harta kekayaan tersebut.
Melengkapi definisi yang di atas, Abdul Qadir Audah memberikan penjelasan sebagai berikut.

Perbedaan antara pencurian kecil dan pencurian besar; pencurian kecil ialah pengambilan harta kekayaan yang tidak disadari oleh korban dan dilakukan tanpa izin. Pencurian kecil ini harus memenuhi dua unsur tersebut secara bersamaan. Kalau salah satu dari kedua unsur tersebut tidak ada, tidak dapat disebut pencurian kecil. Jika ada seseorang yang mencuri harta benda dari sebuah rumah dengan disaksikan si pemilik dan pencuri tidak menggunakan kekuatan fisik dan kekerasan, maka kasus seperti ini tidak termasuk pencurian kecil, tetapi penjarahan. Demikian juga seseorang yang merebut harta orang lain, tidak masuk dalam jenis pencurian kecil, tetapi pemalakan atau perampasan. Baik penjarahan, penjambretan, maupun perampasan; semuanya termasuk ke dalam lingkup pencurian. Meskipun demikian, jarimah itu tidak dikenakan hukuman had (tetapi hukuman ta’zir) . Seseorang yang mengambil harta dari sebuah rumah dengan direlakan pemiliknya dan tanpa disaksikan olehnya, tidak dapat dianggap pencuri.
Dari penjelasan ini, dapat diketahui bahwa jenis dan modus operandi Pentiurian kecil itu beragam. Selain itu, pengklasifikasian jarimah ini juga Penting untuk menentukan jenis sanksi yang akan dijatuhkan. Selanjutnya, Abdul Qadir Audah menjelaskan mengenai pencurian besar.
Adapun pencurian besar dilakukan dengan sepengetahuan korban, tetapi ia tidak mengizinkan hal itu terjadi sehingga terjadi kekerasan. Kalau di dalamnya tidak terdapat unsur kekerasan, disebut penjarahan, penjambretan, atau perampasan; di mana unsur kerelaan pemilik harta tidak terpenuhi.
Jadi, jenis pencurian itu bertingkat-tingkat. Kalau diurutkan dari tingkat terendah sampai tertinggi berdasarkan cara melakukannya adalah penjarahan, penjambretan, perampasan, dan perampokan.
b)      Dalil, Nisab Barang Curian, Dan Sanksi Terhadap Pencuri
Ulama menyatakan bahwa pencurian termasuk salah satu dari tujuh jenis jarimah hudud. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 38 sebagai berikut.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
  Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana


Di dalam ayat ini Allah menyatakan secara tegas bahwa laki-laki pencuri dan perempuan pencuri harus dipotong tangannya. Ulama telah sepakat dengan hal ini, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai batas minimal (nisab) barang curian dan tangan sebelah mana yang harus dipotong. Sehubungan dengan hal itu, Al-Qurthubi mengemukakan pendapatnya sebagai berikut.
Allah memulai ayat (tentang hukum potong tangan) dengan kata sebelum kata yang merupakan kebalikan dari susunan ayat tentang zina yang nanti akan kami jelaskan di bagian akhir bab. Sejak zaman jahiliah, pencuri telah diancam dengan hukuman potong tangan. Orang pertama yang memberi keputusan hukuman ini adalah Al-Walid bin Al-Mughirah. Kemudian Allah memerintahkan untuk memberlakukan hukuman ini dalam Islam. Laki-laki pencuri pertama yang tangannya dipotong oleh Rasulullah adalah Al-hiyar bin Adi bin Naufal bin Abdi Manaf. Perempuan pencuri pertama yang dihukum potong tangan adalah Murrah binti Sufyan bin Abdi Al-Asad dari Bani Mahzum. Abu Bakar pernah memotong tangan kanan seorang pencuri kalung dan Umar memotong tangan Ibnu Samurah, saudara Abdurrahman bin Samurah. Hal ini telah disepakati bersama. Sepintas ayat ini bersifat Umum, setiap pencuri harus dihukum potong tangan. Akan tetapi ternyata tidak demikian, sebab terdapat sabda Rasulullah , Tangan pencuri akan dipotong jika mencari sesuatu yang harganya seperempat dinar atau lebih. Jadi jelaslah bahwa hukuman ini hanya berlaku pada sebagian pencuri, bukan setiap pencuri. Pencurian kurang dari seperempat dinar tidak terkena hukuman potong tangan. Inilah pendapat Umar bin AlKhaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Abdul Aziz, Al-Laits,Al-Syafi'i, dan Abu Saur. Imam Malik berkata, “Tangan pencuri dipotong juga karena mencuri seperempat dinar atau tiga dirham. Kalau mencuri sesuatu seharga dua dirham yang senilai seperempat dinar, karena selisih nilai tukarnya; tangan pencuri tersebut tidak boleh dipotong.”
Dengan demikian, ayat tentang potong tangan harus dihubungkan dengan hadis Nabi. Berikut ini versi lengkap dari hadis tersebut.
Dari Aisyah ra., ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tangan pencuri akan dipotong jika mencuri seharga seperempat dinar atau lebih.” (HR. Muttafaq 'Alaih) “Tangan pencuri dipotang karena mencuri seperempat dinar atau lebih” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Dan  Aisyah, “Potonglah tangan pencuri yang mencuri seperempat dinar dan jangan dipotong pada pencurian yang kurang dari itu.” (HR. Ahmad)
Walaupun dalam hadis dinyatakan secara jelas bahwa nisab barang curian yang tangan pelakunya dapat dipotong adalah seperempat dinar atau tiga dirham, ulama masih berbeda pendapat. Mengenai hal ini, Al-San'ani berkomentar:
Jumhur ulama berbeda pendapat mengenai nisab. Setelah mereka sepakat mensyaratkan (harus mencapai nisab) bagi pencuri yang dapat dihukum potong tangan, muncul keberagaman pendapat hingga berjumlah dua puluh.
Selanjutnya, Al-Qurthubi mengemukakan pendapat Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bin Hasan Al-Syaibani. Abu Hanifah dan dua orang sahabatnya (Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Al-Syaibani) berpendapat bahwa tangan pencuri tidak harus dipotong, kecuali ia mencuri sesuatu senilai sepuluh dirham, baik berupa takaran, uang dinar, maupun timbangan. Selain itu, tangan pencuri juga tidak harus dipotong sebelum ia mengeluarkan barang berharga dari kepemilikan seseorang. Alasan mereka adalah hadis Ibnu Abbas yang mengatakan, “Perisai yang pencurinya dihukum potong tangan oleh Nabi SAW adalah perisai yang senilai sepuluh dirham.” Di samping itu, hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, “Harga sebuah perisai pada saat itu sebesar sepuluh dirham.” (Hadis ini di-takhrij oleh Al-Daraquthni dan lain-lain).
Dengan demikian, pendapat para ulama mengenai nisab barang curian setidaknya terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, ulama Hijaz, Imam Al-Syafi'i, dan lain-lain. Kedua, ulama Irak, Imam Abu Hanifah, dan lain-lain. Dalam masalah ini Al-San'ani tampaknya cenderung kepada kelompok  pertama yang menyatakan bahwa nisabnya seperempat dinar atau tiga dirham, bukan sepuluh dirham sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah dan kawan-kawan, Sehubungan dengan itu, Al-San'ani berkomentar:
Disebutkan didalam kitab Sahih (Al-Bukhci'ri dan Muslim) dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW memotong tangan pencuri sebuah perisai. Sekalipun informasi ini terdapat di dalam kedua kitab Sahih harga perisai tersebut adalah tiga dirham. Riwayat tentang hal ini bertentangan dengan riwayatriwayat lain di dalam kedua kitab Sahih. Oleh karena itu, hukumnya menjadi wajib berhati-hati mengenai diperbolehkannya memotong anggota tubuh orang yang dihormati, kecuali dengan cara yang dibenarkan. Selain itu, wajib berpegangan pada pendapat yang meyakinkan dan inilah pendapat yang mayoritas.
Selanjutnya, Syamsul Haq Azim Abadi memberikan komentar mengenai nisab barang curian. Para ulama berbeda pendapat hingga mencapai dua puluh pendapatsetelah mereka mengajukan syarat mengenai nisab hukum potong tangan. Ada dua pendapat yang didasarkan atas dalil. Pertama, nisab barang curian yang tangan pelakunya harus dipotong adalah seperempat dinar atau tiga dirham. Ini pendapat fuqaha Hijaz, Al-Syafi'i, dan lain-lain. Kedua, nisabnya sepuluh dirham. Ini pendapat ulama Irak. Adapun pendapat yang sahih (kuat) di antara keduanya adalah pendapat pertama. Inilah kesimpulan penulis kitab Subul Al-Salam (Al-San'ani) .
Sementara itu, Al-Syaukani berpendapat bahwa hadis tentang nisab yang dijadikan hujjah bagi Abu Hanifah dan lain-lain berasal dari Ibnu Abbas dan Amr bin Al-Ash yang status hadisnya adalah mu'an'an. Semua hadis itu berasal dari Muhammad bin Ishaq dan menjadi tidak sah apabila bertentangan dengan hadis yang terdapat di dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim. Berikut ini penjelasan Al-Syaukani mengenai hal tersebut.
Terdapat riwayat serupa (yang menguatkan pendapat Al-Syafi’i dan ulama Hijaz) dari Ibnu Al-Arabi yang juga didukung oleh Sufyan (Ibnu Uyainah) dengan kejelasannya. Akan tetapi, riwayat-riwayat dari Ibnu Abbas dan Abdullah bin Amr bin Al-Ash dibantah karena seluruh rangkaian sanadnya berasal dari Muhammad bin Ishaq yang berstatus mu'an'an. Riwayat-riwayat tersebut dianggap tidak sah karena bertentangan dengan kitab Sahih (Al-Bukhari dan Muslim) dari Ibnu Umar dan Aisyah. Pendapat serupa dikemukakan oleh Imam Al-Nawawi dalam Syarh Sahih Muslimnya.
Pendapat yang benar adalah apa yang dikemukakan oleh Al-Syafi'i dan ulama-ulama yang sependapat dengannya karena Nabi SAW menyebutkan tentang nisab sebesar seperempat dinar dalam beberapa hadis dengan berbagai redaksinya. Oleh karena itu, semua informasi yang berbeda dengan ukuran ini tidak dapat diterima, sebab bertentangan dengan hadis-hadis tersebut.
Adapun mengenai nilai tukar dinar terhadap rupiah, harga jual satu gram emas per 27 Agustus 2007 adalah 199.500 rupiah dan harga belinya adalah 202.000 rupiah. Selanjutnya, diambil rata-rata per gram sehingga menjadi 200.000 rupiah dan seperempatnya adalah 50.000 rupiah. Angka tersebut tidaklah fantastis jika tangan si pencuri harus dipotong. Untuk tahun 2013 ini harga emas per gram lebih kurang 600.000 rupiah. Seperempatnya adalah 200.000 rupiah. Hal sebaliknya dikemukakan oleh Shalih Al-Utsaimin. Ia berpendapat: Riwayat yang dikemukakan oleh pengarang sudah sangat jelas. Tangan pencuri harus dipotong jika mencuri seperempat dinar atau lebih. Jatuhkan sanksi potong tangan karena mencuri seperempat dinar dan batalkan sanksi itu kalau yang dicuri kurang dari seperempat dinar. Hal ini sangat jelas. Selanjutnya, kalau ada yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW memberlakukan hukum potong tangan karena mencuri seperempat dinar dinilai besar. Saat itu harga seekor kambing adalah satu dinar, sedangkan untuk saat ini seperempat dinar nilainya sedikit sekali. Jawabannya bukan, bukan begitu. Pemikiran seperti ini tidak dapat diterima. Sebab sesuatu yang telah ditetapkan oleh syariat harus diambil begitu saja. Padanannya adalah zakat unta pada zaman Rasulullah SAW sebanyak dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Saat ini kalau diminta mengeluarkan zakat sebanyak beberapa dirham, maka kita akan memberikan dua puluh dirham.
Dengan melihat paparan Al-Utsaimin, dapat dimengerti bahwa tidak terlalu penting untuk mengontekstualisasikan ajaran Islam dari sisi angka. Menurutnya yang terpenting adalah menerima sepenuhnya ajaran Islam tanpa harus mempertanyakan lebih lanjut. Prinsip Shalih Al-Utsaimin seperti ini membuat semangat intelektualitas seseorang menjadi konservatif. lvleskiput1 demikian, hal yang menarik adalah mengenai zakat. Orang tidak begitu mempermasalahkan angka dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Akantetapi jika menyangkut nisab barang curian, orang cenderung meributkannya. Sementara itu ulama kharismatik Mesir, Syaikh Mutawalli Al-Sya'rawi,berpandangan sebagai berikut.
Bagaimana kita memberi nilai angka seperempat dinar untuk saat ini? Kalau seperempat dinar tidak cukup untuk hidup, maka wajib menaikkan nilai nisab tersebut sampai pada nilai tertentu yang dinilai cukup untuk membiayai kebutuhan hidup. Dinar pada zaman dahulu berupa emas sehingga angka seperempat nilainya sangat tinggi. Dulu harga satu gram emas sama dengan 790,5 qursy, tetapi sekarang harga per gram emas sama dengan dua ratus tujuh puluh pound Mesir. Terkadang ada seseorang yang terpaksa mencuri karena memang sangat butuh atau kelaparan. Oleh karena itu, syariat Islam menentukan sebuah ukuran yang tidak melebihi keperluan untuk keberlangsungan hidup pelaku dan orang yang di bawah tanggungannya, yaitu berupa dirham. Mencuri satu dirham tidak dikenai hukuman had seakan-akan tidak berdosa. Demikian itu ketika cara-cara yang disyariatkan dilaksanakan untuk mendapatkan kebutuhan pokok. Kita juga mengetahui bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan satu dirham kepada seseorang, lalu bersabda, “Belilah makanan untukmu dan keluargamu.” Satu dirham seperti yang kami katakanpada saat itu cukup (banyak). Satu dirham merupakan bagian terkecil dari uang senilai dua belas dinar. Jadi, seperempat dinar sama dengan tiga dirham. Satu dirham pada saat sekarang ini sama dengan dua puluh pound Mesir.
Sebagai seorang ulama besar kharismatik yang sangat populer di Mesir. Al-Sya'rawi tampak lebih dinamis dibandingkan dengan Shalih Al-Utsaimin Hal ini terlihat dari cara Al-Sya'rawi menjelaskan konsep seperempat dinar yang nilainya sama dengan tiga dirham dan bahkan ia mencoba mengontekstualisasikan persoalan ini ke zaman sekarang. Memang masalah ini harus dipahami tidak hanya melalui pendekatan ekonomis-matematis, tetapi juga harus melibatkan aspek sosiologis-historis. Artinya, makna nilai yang seperempat dinar pada zaman Nabi SAW harus dilihat juga dari sisi kondisi ekonomi ketika itu. Hal seperti ini penting dilakukan mengingat nilai mata uang sangat fluktuatif. Mengenai nilai yang diajukan Al-Sya'rawi, menurut penulis, juga tidak fantastis. Ia menyebutkan satu dirham sama dengan dua puluh pound Mesir. ]adi, nisab barang curian yang sudah wajib dipotong tangannya hanya sekitar 20 X 3 = 60 pound Mesir.
Untuk dapat mengetahui berapa nilai tiga dirham dalam kurs rupiah, harus diukur dengan dolar Amerika Serikat. Satu dolar Amerika Serikat sama dengan 5,7 pound Mesir. Dengan demikian, tiga puluh pound Mesir sama dengan 10,52 dolar Amerika Serikat. Jika satu dolar Amerika Serikat sama dengan 9500 rupiah, maka 10,52 dolar Amerika Serikat sama dengan 99.940 rupiah dan dapat dibulatkan menjadi 100.000 rupiah. Inilah perkiraan seperempat dinar atau tiga dirham, yaitu 100.000 rupiah.Di samping persoalan nisab barang curian sebagai penjabaran dari tafsif kalimat persoalan lain yang juga diperdebatkan oleh ulama adalah penafsiran kata  kedua tangan pencuri (baik laki-laki maupun perempuan). Dalam menafsirkan makna ini, Muhammad Ali Al-Sabuni berpendapat sebagai berikut. Kandungan hukum kelima adalah batas pemotongan tangan pencuri. Firman Allah yang menunjukkan sanksi potong tangan dalam pencurian hukumnya wajib. Fuqaha sepakat bahwa tangan yang harus dipotong adalah tangan kanan. Hal ini didasarkan atas bacaan lbnu Mas'ud yakni (potonglah tangan kanan keduanya). Kemudian ulama berselisih pendapat mengenai batasan makna tangan. Fuqaha berpendapat bahwa yang dipotong itu sebatas pergelangan tangan, bukan sebatas siku atau pundak. Namun kelompok Al-khawarij berpendapat, hingga pundak. Sementara itu, kelompok lain memahami cukup sampai bagian jari saja.
Perbedaan pendapat tentang batasan tangan ini terjadi karena semua batasan yang mereka sebutkan termasuk ke dalam cakupan makna  tangan; baik jari, pergelangan, siku, maupun sampai bagian pundak. Selanjutnya mengenai prosedur, Al-Qurthubi menjelaskan sebagai berikut.
Tidak diperselisihkan (oleh ulama) bahwa tangan kananlah yang pertama kali harus dipotong. Akan tetapi, ulama berbeda pendapat jika pencuri itu mencuri lagi. Imam Malik, penduduk Madinah, Imam Al-Syafi'i, Abu Tsaur, dan lain-lain berpendapat dipotong kaki kirinya. Kemudian untuk ketiga kalinya dipotong tangan kirinya. Kemudian untuk keempat kalinya dipotong kaki kanannya. Kemudian untuk kelima kalinya (karena kedua tangan dan kaki telah buntung) maka dihukum ta’zir dan ditawan. Syariat Islam terkesan sangat keras, Islam juga mengedepankan aspek yuridis formal dan memperhatikan hak-hak terdakwa. Untuk mengeksekusi pelaku, diperhatikan terlebih dahulu syarat dan rukun sebuah jarimah. Berkaitan dengan masalah perlindungan hak terdakwa, Rasulullah memberikan saran setelah tangan pencuri dipotong dlberikan layanan perawatan agar tidak mengalami infeksi. Dalam hal ini, Ibnu Al-Munzir seperti dikutip oleh Al-Qurthubi, berkata: Ibnu Al-Munzir berkata, “Kami meriwayatkan dari Nabi SAWbahwa beliau pernah memerintahkan agar memotong tangan seorang pencuri seraya berkata, 'Panasilah tangan yang telah dipotong itu.'" Sementara itu, Al-Qurthubi berkata bahwa sanad hadis ini dipertanyakan. Meskipun demikian, sekelompok besar ulama, antara lain Al-Syafi'i, Abu Tsaur, dan lain-lain menganggap bahwa dipanasinya tangan yang telah dipotong itu sebagai suatu hal yang baik dan dapat membantu proses penyembuhan agar tidak meninggal (karena darahnya terus mengalir) .
Dari pernyataan Ibnu Al-Mundzir yang dikutip oleh Al-Qurthubi di atas, dapat diketahui bahwa sekalipun sanksi tegas diberlakukan kepada pencuri, haknya tetap diperhatikan. Memang kalau tidak dipahami secara baik maksud dipanasinya tangan yang telah dipotong tentu saja akan terkesan sangat keras, bahkan mengerikan. Sudah dipotong masih juga dipanasi.
Adapun kata  membakar, Tangan yang telah dipotong itu dipanasi agar darah yang mengalir deras dapat segera berhenti sehingga tidak terinfeksi. Menurut penulis, para dokter ahli bedah memiliki andil yang sangat besar dalam masalah ini. Mereka dapat menemukan cara yang lebih baik untuk mengatasinya tanpa mengubah syariat
.
c)      Syarat Dan Rukun Jarimah Sariqah
Dalam memberlakukan sanksi potong tangan, harus diperhatikan aspek-aspek penting yang berkaitan dengan syarat dan rukunnya. Dalam masalah ini Shalih Sa’id Al-Haidan, dalam bukunya Hal Al-Muttaham fi Majlis Al-Qada' mengemukakan lima syarat untuk dapat diberlakukannya hukuman ini, yaitu sebagai berikut.
a.       Pelaku telah dewasa dan berakal sehat. Kalau pelakunya sedang tidur, anak kecil, orang gila, dan orang dipaksa tidak dapat dituntut.
b.      Pencurian tidak dilakukan karena pelakunya sangat terdesak oleh kebutuhan hidup. Contohnya adalah kasus seorang hamba sahaya milik Hatib bin Abi Balta'ah yang mencuri dan menyembelih seekor unta milik seseorang yang akhirnya dilaporkan kepada Umar bin Al-Khaththab. Namun, Umar justru membebaskan pelaku karena ia terpaksa melakukannya.
c.       Tidak terdapat hubungan kerabat antara pihak korban dan pelaku, seperti anak mencuri harta milik ayah atau sebaliknya.
d.      Tidak terdapat unsur syubhat dalam hal kepemilikan, seperti harta yang dicuri itu menjadi milik bersama antara pencuri dan pemilik.
e.       Pencurian tidak terjadi pada saat peperangan di jalan Allah. Pada saat seperti itu, Rasulullah tidak memberlakukan hukuman potong tangan. Meskipun demikian, jarimah ini dapat diberikan sanksi dalam bentuk lain, seperti dicambuk atau dipenjara.
Itulah syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memberlakukan hukuman potong tangan. Di samping itu, hukuman ini baru dapat dilaksanakan setelah memenuhi beberapa rukun. Abdul Qadir Audah mengemukakan rukun-rukun tersebut sebagai berikut.
Kami mendefinisikan sariqah sebagaimana uraian di atas bahwa sariqah ialah mengambil harta milik orang lain secara sembunyi-sembunyi. Dari definisi ini dapat diketahui bahwa rukun sariqah ada empat, yaitu mengambil secara sembunyi-sembunyi, barang yang diambil berupa harta, harta yang diambil tersebut milik orang lain, dan melawan hukum.
1)      Mengambil Secara Sembunyi-sembunyi
Proses pengambilan ini harus sempurna, tidak cukup hanya dengan adanya pelaku yang berada di dekat barang curian. Perihal mengambil barang orang lain ini harus memenuhi tiga syarat. Pertama, pencuri mengambil barang curian itu dari tempat penyimpanan. Kedua, barang curian tersebut dikeluarkan dari pemeliharaan pihak korban. Ketiga, barang curian berpindah tangan dari pihak korban kepada pihak pelaku. Kalau syarat-syarat ini tidak terpenuhi maka proses pencurian dinilai tidak sempurna dan hukumannya berupa ta’zir, bukan potong tangan.
2)      Barang yang Diambil Berupa Harta
Konsep harta dalam Islam tampaknya terjadi pergeseran makna antara sebelum dan sesudah dihapuskannya perbudakan oleh PBB. Dulu pada saat perbudakan masih eksis, hamba sahaya laki-laki atau perempuan dianggap sebagai harta kekayaan sehingga orang yang mencuri budak, dapat dikenai sanksi hukum potong tangan. Namun sejak adanya kesepakatan PBB tentang dihapuskannya perbudakan, hamba sahaya tidak lagi dianggap sebagai harta. Akibatnya, penculikan atau perdagangan manusia tidak masuk ke dalam lingkup pembahasan mengenai pencurian. Namun, kini human trafficking (perdagangan manusia) menjadi salah satu bentuk tindak pidana modern yang harus dicermati dan ditangani dengan baik.
Selanjutnya, agar pelaku pencurian dapat dikenai hukuman potong tangan, harus memenuhi beberapa persyaratan seperti yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah berikut.
Harta yang dicuri harus memenuhi beberapa syarat agar pelaku dapat dihukum potong tangan. Syarat-syarat dimaksud adalah (1) berupa harta yang bergerak, (2) berupa benda berharga, (3) disimpan di tempat penyimpanan, dan (4) harus mencapai nisab.
Perihal harta yang dicuri, yaitu berupa benda berharga dan mencapai nisab, penulis telah mengemukakannya. Adapun perihal harta yang berupa benda  bergerak dan disimpan di tempat penyimpanan, dijelaskan oleh Abdul Qadir Audah. Menurutnya, harta yang berupa benda bergerak adalah benda yang memungkinkan untuk dipindahtangankan dan tidak harus berupa benda yang secara fisik dapat dilihat mata. Oleh karena itu, seseorang yang mencuri aliran listrik atau pulsa telepon dianggap sebagai pencuri karena benda benda tersebut walaupun tidak kasat mata, tetap bernilai nominal dan dapat diidentifikasi harganya. Sementara itu perihal tempat penyimpanan, Abdul Qadir Audah berkata:
“Sesungguhnya unsur penting dalam jarimah pencurian adalah mengambil (sesuatu) dengan cara sembunyi-sembunyi, sedangkan mengambil (sesuatu) bukan dari tempat penyimpanannya tidak perlu sembunyi-sembunyi sehingga unsur terpenting dalam pencurian tidak terealisasi apabila tidak diambil dari tempat penyimpanannya.”

3)       Harta yang Diambil Adalah Milik Orang Lain
Hal ini penting, karena kalau ternyata harta yang diambil itu milik pelaku, sekalipun dilakukan dengan sembunyi-sembunyi tetap tidak dapat disebut pencurian. Demikian pula kalau harta tersebut menjadi milik bersama antara pelaku dan korban, juga tidak termasuk pencurian. Hal serupa juga berlaku antara pelaku dan korban yang memiliki hubungan kekerabatan, seperti ayah yang mengambil harta anak atau --menurut Imam Al-Syaffi dan Ahmad-sebaliknya. Alasannya adalah hadis berikut ini.
Dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya, dari kakeknya; bahwasanya ada seseorang yang mendatangi Nabi SAW untuk memperkarakan ayahnya. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia menginginkan hartaku. ” Rasulullah SAW bersabda, “Kamu dan hartamu adalah milik ayah kamu.” (HR Ahmad dan Ibn Majah)
Hadis lain yang dijadikan alasan bahwa seseorang ayah boleh mengambil dan memanfaatkan harta kekayaan anak adalah sebagai berikut. “Dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya, dari kakeknya; bahwasanya ada seorang Badui yang mendatangi Nabi SAW seraya berkata, “Sungguh saya memiliki harta dan kedua orangtua, tetapi mereka ingin menguasai harta saya ”Beliau bersabda, “Sesungguhnya kamu dan hartamu adalah milik orangtuamu. Sungguh anak-anak kalian termasuk usaha terbaik kalian, maka makanlah dari hasil usaha anak-anak kalian. ” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Al-Nasa'i, dan Ibnu Majah)
Berdasarkan hadis di atas, seseorang yang mengambil harta milik anak kandungnya tidak dihukum potong tangan karena anak/anak dan hartanya dianggap milik ayahnya. Demikian pula kalau kebetulan sang anak tidak memiliki harta, tetapi memiliki penghasilan tetap; ia wajib memberikan hasil usahanya dan menafkahi ayahnya jika memang sang ayah membutuhkan dan tidak ada yang menanggung biaya hidupnya. Mengenai hal ini, Syamsul Haq Azim Abadi mengatakan: Rasulullah bersabda kepada seseorang, “Kamu dan hartamu adalah milik orangtuamu.” Artinya, apabila orangtuamu menginginkan hartamu, ia dapat mengambil harta itu darimu sebatas keperluannya seperti halnya mengambil dari harta miliknya sendiri. Apabila ternyata kamu tidak memiliki harta, tetapi kamu mempunyai usaha; kamu wajib berupaya dan memberikan nafkah kepadanya.
Dari pernyataan Syamsul Haq Azim Abadi ini dapat diketahui bahwa Islam sangat menghargai jasa orangtua dalam mendidik anak. Oleh karena itu, tidak layak kalau ada seorang anak yang memperkarakan ayah kandungnya di depan hakim, lantaran tidak senang kalau ayahnya meminta harta sang anak.
Lain halnya Al-Mawardi yang memahami hadis tersebut sebagai sebuah gambaran kedekatan hubungan antara anak dan ayah yang tidak hanya dari sisi nasab,tetapi juga dari sisi kepemilikan. Mengenai hal ini ia berpendapat: Rasulullah bersabda, “Kamu dan hartamu adalah milik ayahmu. " Hadis ini , mencegah hukuman potong tangan bagi ayah yang mencuri harta anaknya. Sebab, antara ayah dan anak terdapat syubhat dalam masalah kepemilikan harta, yaitu adanya kewajiban memberikan nafkah oleh ayah kepada anak karena adanya konsep perwalian ayah atas harta anaknya. Oleh karena itu, hukuman potong tangan antara keduanya harus dibatalkan. Alasan lain karena eksistensi kebersamaan antara ayah dan anak ini berlaku seperti pada dirinya, artinya seseorang tidak akan dihukum potong tangan karena mengambil harta miliknya sendiri. Kemudian apabila dibandingkan antara harta yang dicuri dan anak, maka anak jauh lebih mulia dan lebih dicintai daripada sekadar harta, maka tidak mungkin berlaku hukuman potong tangan antara ayah dan anak kandungnya. Dengan demikian, ayah yang mengambil harta anaknya tidak dinamakan mencuri, karena'di dalamnya terdapat unsur syubhat. Adapun syubhat tidak boleh ada ketika menjatuhkan hudud. Hal ini sebagaimana hadis Nabi SAW. berikut. Dari Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Hindarilah hudud dari kaum muslimin semampu kalian. Kalau ada kemungkinan jalan keluar (untuk bebas) maka bebaskanlah ia, sebab seorang imam (hakim) kalau ia salah dalam memaafkan (membebaskan tersangka) jauh lebih baik daripada salah dalam menjatuhkan sanksi. ” (HR. Al-Tirmidzi)
4)      Melawan Hukum
Mengenai hal ini, Abdul Qadir Audah berpendapat mengambil secara sembunyi-sembunyi tidak dapat dianggap sebagai mencuri kecuali di dalam benak si pelaku terdapat unsur melawan hukum. Sikap melawan hukum ini dapat terjadi pada saat pelaku mengambil harta orang lain, padahal ia mengetahui bahwa perbuatan itu diharamkan. Hal ini ia lakukan untuk memiliki harta tersebut bagi dirinya (unsur memperkaya diri) tanpa sepengetahuan dan tidak diizinkan oleh pihak korban. Oleh sebab itu seseorang yang mengambil sesuatu dengan keyakinan bahwa hal itu , diperbolehkan atau hal itu akan dibiarkan (tidak akan dituntut) maka ia tidak akan dihukum karena tidak terdapat unsur melawan hukum, sebab ia meyakini bahwa barang tersebut boleh diambil. Demikian pula kalau ada seseorang yang mengambil suatu barang milik orang lain bukan dengan niat untuk memilikinya, melainkan memakai dan akan dikembalikannya atau ia mengambilnya hanya berpura-pura atau ia meyakini bahwa pihak korban dapat menerimanya maka semuanya itu tidak dapat disebut sebagai pencurian, karena tidak ada unsur melawan hukum.
Pencurian masuk ke dalam kategori melawan hukum kalau dilakukan untuk memiliki barang yang dicurinya. Unsur ini sama dengan unsur pokok dalam tindak pidana korupsi yang disebutkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu unsur memperkaya diri sendiri, sebab dengan maksud memiliki atau menguasai berarti pelaku berkeinginan untuk memperkaya diri sendiri. Bahkan menurut Abdul Qadir Audah kalau tujuan mengambil harta tersebut bukan untuk dirinya melainkan untuk orang lain dan diambil agar lenyap dari tempatnya maka tidak termasuk pencurian, tetapi pelaku hanya dianggap menggelapkan sesuatu, secara jelas ia berkata: Disebut sebagai tindak pidana pencurian pada saat pelaku mengambil harta milik orang lain itu harus dengan niat untuk memilikinya. Oleh sebab itu, seseorang yang mengambil sesuatu untuk orang lain dan menggelapkannya dari tempatnya tidak dapat dianggap sebagai pencurian, tetapi hanya sebatas menggelapkan sesuatu.
Berbeda dari Abdul Qadir Audah yang menyatakan rukun pencurian ada empat, Imam Al-Nawawi dalam Raudah Al-thalibin mengemukakan rukun pencurian ada enam, yaitu (1) harta yang dicuri mencapai nisab; (2) harta yang dicuri bukan milik pelaku; (3) harta yang dicuri memiliki nilai nominal; (4) harta dimiliki korban secara sempurna, bukan harta bersama; (5) tidak terdapat unsur syubhat dari sisi kepemilikan antara pelaku dan korban; dan (6) harta disimpan di tempat penyimpanan.
Imam Al-Nawawi hanya menyoroti harta yang dicuri. Mengenai cara pengambilan, apakah sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, tidak dijelaskan; bahkan pada awal pembahasan, tidak terdapat pengertian dan batasan pencurian. Di samping itu, rukun melawan hukum juga tidak dijelaskan. Hal ini dapat dipahami bahwa ulama-ulama klasik, seperti Al-Nawawi, belum terpengaruh oleh konsep ilmu hukum pidana modern, sebagaimana yang dialami oleh Abdul Qadir Audah yang berkebangsaan Mesir dan hidup setelah terjadi interaksi intensif dengan Prancis akibat kolonialisasi.
Dari uraian mengenai jarimah sariqah di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk dapat memberlakukan hukuman potong tangan harus diteliti terlebih dahulu syarat dan rukunnya. Apabila salah satu syarat atau rukun tidak terpenuhi, maka hukuman potong tangan harus dibatalkan dan dialihkan kepada hukum ta'zir.
7.      Jarimah Hirabah
A)    Perbandingan Antara Hirabah Dan Pencurian
Seperti telah dikemukakan dalam uraian yang lalu, hirabah atau perampokan dapat digolongkan kepada tindak pidana pencurian, tetapi bukan dalam arti hakiki, melainkan dalam arti majazi. Secara hakiki pencurian adalah pengambilan harta milik orang lain secara diam-diam, sedangkan perampokan adalah pengambilan secara terang-terangan dan kekerasan. Hanya saja dalam perampokan juga terdapat unsur diam-diam atau sembunyi-sembunyi jika dinisbahkan kepada penguasa atau petugas keamanan. Itulah sebabnya hirabah (perampokan) diistilahkan dengan sirqah kubra atau pencurian berat, untuk membedakan dengan sirqah sughra atau pencurian.
Di samping sirqah kubra dan hirabah, istilah lain yang digunakan untuk jatimah ini adalah qath’u ath-thariq; seperti yang digunakan oleh Hanafiyah. Hal ini karena tindak pidana perampokan selalu diawali dengan memotong jalan orang yang lewat. Dalam pembahasan tentang jarimah hirabah ini, akan dikemukakan beberapa hal yaitu sebagai berikut.
a.       Pengertian atau definisi hirabah
b.      Unsur dan bentuk-bentuk jarimah hirabah.
c.       Pelaku hirabah.
d.      Syaratsyarat hirabah.
e.       Pembuktian untuk jarimah hirabah.
f.       Hukuman atau sanksi hirabah.
1)      Pengertian Hirabah
Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama yang apabila dilihat redaksinya terdapat beberapa perbedaan. Namun, sebenarnya inti persoalannya tetap sama. imam Ahmad dan Syi’ah Zaidiyah memberikan definisi yang sama dengan definisi yang dikemukakan oleh Hanafiyah, sebagaimana telah disebutkan di atas. Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ulama di atas, dapat dikemukakan bahwa inti persoalan tindak pidana perampokan adalah keluarnya sekelompok orang dengan maksud untuk mengambil harta dengan terang-terangan dan kekerasan, apakah dalam realisasinya pengambilan tersebut terjadi atau tidak. Hanya definisi Imam Malik dan Zhahiriyah yang sedikit berbeda. Imam Malik dalam mendefinisikan perampokan lebih mementingkan kekuatan otak, taktik, dan strategi dibandingkan dengan kekuatan fisik. Sedangkan definisi Zhahiriyah sangat  umum, sehingga pencurian pun dapat dimasukkan ke dalam tindak pidana perampokan Meskipun demikian, menurut mereka (Zhahiriyah) apabila tindak pidana pencurian dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, atau kemudian ia berzina (memperkosa), atau membunuh maka hukumannya bukan sebagai perampokan, melainkan dihukum sebagai pencuri, atau pezina, atau pembunuh.
2)      Rukun Dan Bentuk-Bentuk Hirabah
Dari definisi yang dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa unsur j arimah hirabah itu adalah ke luar untuk mengambil harta, baik dalam kenyataannya pelaku tersebut mengambil harta atau tidak.6 Di sini terlihat dengan jelas perbedaan antara perampokan dengan pencurian, karena unsur pencurian adalah mengambil harta itu sendiri, sedangkan perampokan adalah tindakan ke luar dengan tujuan mengambil harta, yang dalam pelaksanaannya mungkin tidak mengambil harta, melainkan tindakan lain, seperti melakukan intimidasi atau membunuh orang.
Di samping itu dari defmisi-defmisi yang dikemukakan oleh para ulama di atas, dapat diketahui bahwa bentuk-bentuk tindak pidana perampokan itu ada empat macam, yaitu sebagai berikut.
a.       Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian pelaku hanya melakukan intimidasi, tanpa mengambil harta dan tanpa membunuh.
b.      Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian ia mengambil harta tanpa membunuh.
c.       Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian ia melakukan pembunuhan tanpa mengambil harta.  4Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian ia mengambil harta dan melakukan pembunuhan.
Apabila seseorang melakukan salah satu dari keempat bentuk tindak pidana Perampokan tersebut maka ia dianggap sebagai perampok selagi ia keluar dengan tujuan mengambil harta dengan kekerasan. Akan tetapi, apabila seseorang keluar dengan tujuan mengambil harta, namun ia tidak melakukan intimidasi, dan tidak mengambil harta, serta tidak melakukan pembunuhan maka ia tidak dianggap sebagai perampok, walaupun perbuatannya itu tetap tidak dibenarkan, dan termasuk maksiat yang dikenakan hukuman ta'zir.
3)      Pelaku Hirabah Dan Syarat-Syaratnya
Hirabah atau perampokan dapat dilakukan baik oleh kelompok, maupun perorangan (individu) yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya. Untuk menunjukkan kemampuan ini, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad mensyaratkan bahwa pelaku tersebut harus memiliki dan menggunakan senjata atau alat lain yang disamakan dengan senjata, seperti tongkat, kayu, atau batu. Akan tetapi Imam Malik, Imam Syafi'i dan Zhahiriyah, serta Syi’ ah Zaidiyah tidak mensyaratkan adanya senjata, melainkan cukup berpegang kepada kekuatan dan kemampuan fisik. Bahkan Imam Malik mencukupkan dengan digunakannya tipu daya, taktik atau strategi, tanpa penggunaan kekuatan, atau dalam keadaan tertentu dengan menggunakan anggota badan, seperti tangan dan kaki.
Para ulama berbeda pendapat mengenai pelaku jarimah hirabah ini. Menurut Hanafiyah, pelaku hirabah adalah setiap orang yang melakukan secara langsung atau tidak langsung perbuatan tersebut. Dengan demikian, menurut mereka (Hanafiyah) orang yang ikut terjun secara langsung dalam mengambil harta, membunuh, atau mengintimidasi termasuk pelaku perampokan. Demikian pula orang yang ikut memberikan bantuan, baik dengan cara permufakatan, suruhan, maupun pertolongan, juga termasuk pelaku perampokan. Pendapat Hanaiiyah ini disepakati oleh Imam Malik, Imam Ahmad, dan Zhahiriyah. Akan tetapi, Imam Syafl’i berpendapat bahwa yang dianggap sebagai pelaku perampokan adalah orang yang secara langsung melakukan perampokan. Sedangkan orang yang tidak ikut terjun melakukan perbuatan, walaupun ia hadir di tempat kejadian, tidak dianggap sebagai pelaku perampokan, melainkan hanya sebagai pembantu yang diancam dengan hukuman ta’zir.
Untuk dapat dikenakan hukuman had, pelaku hirabah disyaratkan harus mukalaf, yaitu balig dan berakal. Hal ini merupakan persyaratan umum yang berlaku untuk semua jarimah, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Iinam Ahmad danAbu Dawud. Dari 'Aisyah ra. ia berkata: ”Telah bersabda Rasulullah saw.: Dihapuskann ketentuan dari tiga hal: dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari orang gila sampai ia sembuh, dan dari anak kecil sampai ia dewasa. (Hadis riwayat Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Ibn Majah, dan Hakim). Di samping itu, Imam Abu Hanifah juga mensyaratkan pelaku hirabah harus laki-laki dan tidak boleh perempuan. Dengan demikian, apabila di antara peserta pelaku hirabah terdapat seorang perempuan maka ia tidak dikenakan hukuman had. Akan tetapi, Imam Ath-Thahawi menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki dalam tindak pidana ini sama statusnya. Dengan demikian, perempuan yang ikut serta dalam melakukan perampokan tetap harus dikenakan hukuman had. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Zhahiriyah, dan Syi’ah Zaidiyah, perempuan yang turut serta melakukan perampokan tetap harus dikenakan hukuman. Dengan demikian, mereka tidak membedakan antara pelaku laki-laki dan perempuan, seperti halnya dalam jarimah hudud yang lain. Persyaratan lain yang menyangkut jarimah hirabah ini adalah persyaratan tentang harta yang diambil. Pada prinsipnya persyaratan untuk harta dalam jarimah hirabah, sama dengan persyaratan yang berlaku dalam jarimah pencurian. Secara global, syarat tersebut adalah barang yang diambil harus tersimpan (muhraz), mutaqawwim, milik orang lain, tidak ada syubhat, dan memenuhi nishab. Hanya saja syarat nishab ini masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Imam Malik berpendapat, dalam jarimah hirabah tidak disyaratkan nishab untuk barang yang diambil. Pendapat ini diikuti oleh sebagian fuqaha Syafl’iyah. Imam Ahmad dan Syi’ah Zaidiyah berpendapat bahwa dalam j arimah hirabah juga berlaku nishab dalam harta yang diambil oleh semua pelaku secara keseluruhan, dan tidak memperhitungkan perolehan perorangan. Dengan demikian, meskipun pembagian harta untuk masing-masing peserta (pelaku) tidak mencapai nishab, semua pelaku tetap harus dikenakan hukuman had. Imam Abu Hanifah dan sebagian Syafl’iyah berpendapat bahwa perhitungan nishab bukan secara keseluruhan pelaku, melainkan secara perorangan. Dengan demikian, apabila harta yang diterima oleh masingmasing peserta itu tidak mencapai nishab maka pelaku tersebut tidak dikenakan hukuman had sebagai pengambil harta. Hanya saja dalam hal ini perlu diingat adanya perbedaan pendapat antara Hanafiyah dan Syafl’iyah mengenai pelaku jarimah hirabah sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian yang lalu.
Di samping itu juga perlu diperhatikan perbedaan antara kedua kelompok tersebut mengenai ukuran nishab pencurian, sebagaimana telah dijelaskan dalam bab pencurian.
Persyaratan lain untuk dapat dikenakannya hukuman had dalam jarimah hirabah adalah menyangkut tempat dilakukannya jarimah hirabah. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut.
a.       Jarimah perampokan harus terjadi di negeri Islam. Pendapat ini dikemukakan oleh Hanaiiyah. Dengan demikian, apabila j arimah hirabah (perampokan) terjadi di luar negeri Islam (dar al-harb) maka pelaku tersebut tidak dikenakan hukuman had. Akan tetapi jumhur ulama yang terdiri atas Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Zhahiriyah tidak mensyaratkan hal ini. Dengan demikian menurut jumhur, pelaku tersebut tetap dikenakan hukuman had, baik jarimah hirabah terjadi di negeri Islam maupun di luar negeri Islam.
b.      Perampokan harus terjadi di luar kota, jauh dari keramaian. Pendapat ini dikemukakan oleh Hanafiyah. Akan tetapi Malikiyah, Syafi'iyah, Hambaliyah, dan Imam Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah tidak mensyaratkan hal ini, Dengan demikian, menurut mereka (jumhur), perampokan yang terj adi di dalam kota dan di luar kota hukumnya sama, yaitu bahwasanya pelaku tetap harus dikenakan hukuman had.
c.       Malikiyah dan Syafl’iyah mensyaratkan adanya kesulitan atau kendala untuk meminta pertolongan. Sulitnya pertolongan tersebut mungkin karena peristiwanya terjadi di luar kota, lemahnya petugas keamanan, atau karena upaya penghadangan oleh para perampok, atau karena korban tidak mau meminta pertolongan kepada pihak keamanan, karena berbagai pertimbangan. Dengan demikian, apabila upaya dan kemungkinan pertolongan mudah dilakukan maka para pelaku tidak dikenakan hukuman.
Selain persyaratan-persyaratan yang telah dikemukakan di atas, terdapat pula persyaratan yang berkaitan dengan korban. Para ulama sepakat, bahwa orang yang menjadi korban perampokan adalah orang yang ma ’shum ad-dam, yaitu orang yang dijamin keselamatan jiwa dan hartanya oleh Islam. Orang tersebut adalah orang muslim atau dzimmi. Orang Islam dijamin karena keislamannya sedangkan kafir dzimmi dijamin berdasarkan perjanjian keamanan. Orang kafir musta'man (mu ’ahad) sebenarnya juga termasuk orang yang mendapatkan jaminan, tetapi karena jaminannya itu tidak mutlak maka hukuman had terhadap pelaku perampokan atas musta ’man ini masih diperselisihkan oleh para fuqaha.Menurut Hanafiyah perampokan terhadap musta'man tidak dikenakan hukuman had.
4)      Pembuktian Untuk Jarimah Hirabah
Jarimah hirabah dapat dibuktikan dengan dua macam alat bukti, yaitu
1. dengan saksi, dan
2. dengan pengakuan.


a.  Pembuktian dengan Saksi
Seperti halnya jarimah-j arimah yang lain, untuk jarimah hirabah saksi merupakan alat bukti yang kuat. Seperti halnya jarimah pencurian, saksi untuk jarimah hirabah ini minimal dua orang saksi laki-laki yang memenuhi syarat-syarat persaksian, yang rinciannya sudah diuraikan dalam bab-bab yang lalu. Saksi tersebut bisa diambil dari para korban, dan bisa juga dari orang-orang yang ikut terlibat dalam tindak pidana perampokan tersebut. Apabila saksi laki-laki tidak ada maka bisa juga digunakan seorang saksi laki-laki dan dua orang perempuan, atau empat orang saksi perempuan.
b. Pembuktian dengan Pengakuan
Pengakuan seorang pelaku perampokan dapat digunakan sebagai alat bukti. Persyaratan untuk pengakuan ini sama dengan persyaratan pengakuan dalam tindak pidana pencurian. Jumhur ulama menyatakan pengakuan itu cukup satu kali saja, tanpa diulang-ulang. Akan tetapi menurut Hanabilah dan Imam Abu Yusuf, pengakuan itu harus dinyatakan minimal dua kali.
5)      Hukuman Atau Sanksi Hirabah
Para ulama berbeda pendapat tentang hukuman untuk jarimah hirabah. Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafl’i, Imam Ahmad, dan Syi’ah Zaidiyah, hukuman untuk pelaku perampokan itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan jenis perbuatan yang dilakukannya. Sebagaimana telah diuraikan di atas. Bentuk-bentuk jarimah hirabah itu ada empat macam, yaitu :
1. menakut-nakuti orang yang lewat, tanpa membunuh dan mengambil harta;
2. mengambil harta tanpa membunuh;
3. membunuh tanpa mengambil harta;
4. mengambil harta dan membunuh orangnya.
Menurut mereka, untuk masing-masing perbuatan tersebut diterapkan hukuman tertentu yang diambil dari alternatif hukuman yang tercantum dalam Surah Al-Maaidah ayat 33. Menurut Imam Malik dan Zhahiriyah, hukuman untuk pelaku perampokan itu diserahkan kepada hakim untuk memilih hukuman mana yang lebih sesuai dengan tersebut. Hanya saja Imam Malik memb atasi pilihan hukuman tersebut untuk selain pembunuhan. Untuk tindak pidana pembunuhan maka pilihannya hanya dibunuh atau disalib. Sementara Zhahiriyah memberikan kebebasan penuh kep ada hakim untuk memilih hukuman apa saja yang sesuai menurut pandangannya dengan perbuatan apa pun dari keempat jenis perbuatan tersebut.














BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Jarimah hudud adalah tindak pidana yang diancam hukuman had, yakni hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlah (berat-ringan) sanksinya yang menjadi hak Allah SWT, dan tidak dapat diganti dengan macam hukuman lain atau dibatalkan sama sekali oleh manusia. Ada tujuh macam perbuatan jarimah hudud yaitu, zina, menuduh orang lain berbuat zina (qazaf), meminum minuman keras, mencuri, menggangu keamanan (hirabah), murtad, dan pemberontakan (al-bagyu).
            Zinah yaitu ialah hubungan badan yang diharamkan dan disengaja oleh pelakunya. Qazaf ialah menuduh seseorang melakukan perbuatan zinah tanpa adanya bukti yang membenarkan. meminum minuman keras ialah meminum sesuatu yang dapat mendatangkan   hilangnya akal  seperti khamr dan sejenisnya. mencuri ialah suatu perbuatan pemindahan barang yang bukan haknya dengan tanpa pengetahuan dan persetujuan pemilik sahnya. hirobah ialah mengganggu keamanan yang dapat meresahkan warga setempat. murtad ialah keluarnya seorang penganut agama dari agama yang di anutnya dan berpindah ke agama lain. sedangkan pemberontakan ialah suatu tindakan yang dilakukan atas dasar ketidaksepakataan terhadap suatu tindakan ataupun ketetapan .
     Jadi      Dalam menetukan sebuah hukum tidak boleh dilakukan secara instan, langsung memutuskan si A atau si B yang bersalah, tetapi harus dibarengi dengan adanya saksi, bukti, serta pengakuan. Dan harus sesuai dengan hukum yang berlaku, tidak boleh menghukum pelaku kejahatan dengan semena-mena.




           























DAFTAR PUSTAKA
Mardani. 2012. Hadist Ahkam.Jakarta: Rajawali Pers.
Irfan Nurul ,Masyrofah.2015. Fiqih Jinayah.Jakarta: Amzah.
Lubis Zulkarnain, Bakti Ritonga. 2016. Dasar-dasar Hukum Acara Jinayah. Jakarta: Prenadamedia Group.
Syarifuddin Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqh . Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup.
Hasan Mustofa,Beni Ahmad Syaebani. 2013. Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah.Bandung: CV Pustaka Setia.
Hasan Mustofa. 2013. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Bandung: CV Pustaka Setia.


[1] Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 15
[2]Mardani, Hadist Ahkam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h 366
[3] Zulkarnain Lubis, Bakti Ritonga. Dasar-dasar Hukum Acara Jinayah. (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), h.3
[4] Nurul irfan, h. 13-16
[5] Ibid, h. 15-16
[6] Ibid, h. 16-17
[7] Nurul irfan, Op. Cit, h 20
[8] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh (Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup, 2003) h.274-284
[9] Nurul irfan, Op. Cit, h. 20
[10]Amir Syarifuddin, 0p. Cit, h.274-284

[11] Nurul irfan, Op. Cit, h. 41
[12] Mustofa hasan dan Beni Ahmad Syaebani, Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), h.  260-266
[13] Nurul irfan, Op. Cit, h. 51
[14] Mustofa hasan, Op. Cit, h. 413-414
[15] Nurul irfan, Op. Cit, h.  51-58
[16] Mustofa hasan, Op. Cit, h.  432-435
[17] Ibid, h.453
[18] Mustofa Hasan, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), h.441-460

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Subjek dan Objek Evaluasi Pendidikan

PENDAHULUAN A.     Latar Belakang      Setiap usaha atau kegiatan yang telah dilakukan sebaiknya diikuti dengan tindak lanjut, atau kegiatan evaluasi, terutama pada dunia pendidikan. Menurut UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peseta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam dunia pendidikan evaluasi ini sangat penting utuk dilakukan agar kegiatan baru yang akan dilakukan bisa berjalan lancar tanpa mengulangi kesalahan yang pernah terjadi atau sesuai dengan tujuan pendidikan. Evaluasi dalam kegiatan belajar mengajar atau pengajaran adalah penilaian/penaksiran terhadap pertumbuhan dan kemajuan peserta didik ke arah tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam hukum. Hasil p

Pengertian Metodik Khusus PAI

PENDAHULUAN            A.     Latar Belakang Guru akan menunaikan tugasnya dengan baik atau dapat bertindak sebagai tenaga pengajar yang efektif, jika padanya terdapat berbagai kompetensi keguruan, dan melaksanakan fungsinya sebagai guru. Dalam proses pembelajaran seorang guru membutuhkan metode yang tepat dalam proses belajar mengajar agar mempermudah dalam menyampaikan materi pembelajaran kepada seorang siswa dan tercapainya tujuan belajar yang efektif. Begitu juga dalam proses pembelajaran agama Islam yang memerlukan metodik khusus untuk penyampaian materi belajar tertentu dalam Pendidikan Agama Islam agar siswa dapat mengetahui, memahami, mempergunakan, dengan kata lain dapat menguasai materi pembelajaran dengan cepat. Dalam hal ini kami ingin memaparkan pengertian Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam, ruang lingkup, tujuan dan manfaatnya dalam pendidikan agama Islam. Adapun tujuan dari penilisan makalah ini adalah untuk  mengetahui pengertian MKPAI, u ntuk mengetahui r